MEMANG enak digendong, sungguh asyik dipuja-dimanja, duhai nikmatnya dibelai-buai kekasih sayang. Itu dia, kekuasaan! Perawan tulen sepanjang zaman. Genit penuh pesona. Dikejar-kejar. Diuber-direbut sejak zaman Adam. Tak henti-hentinya. Tak kenal batas. Tergapai, tak terpuaskan. Duduk lupa berdiri. Naik gunung enggan turun ke kali! Digusur baru mau. Malu ah...
Inilah kisah dari tanah kita. Tataplah rakyatmu! Dibentak tak bergerak, dimarah menyerah saja, dipukul pun terserah abang. Dirampas haknya cuma diam. Ditipu membisu, dinista menunduk. Beda pendapat kan terbuang, menghujat kan tersingkirkan. Melawan selalu terkalahkan. Diinjak cuma meringis. Dirayu saat butuh, dipuja jika ada maunya, disanjung-sanjung jika kurindu suaramu.
Dan berkatalah mereka dengan semangat menyala, Aku berjuang demi rakyat, memimpin demi kamu. Kerjaku untuk kesejahteraanmu. Celaka duabelas! Bukankah pembangunan membangunkan kesadaran baru? Bukankah politik membuat orang berani berkotek? Yang tertidur jadi terjaga, yang buta huruf tahu pembual, kaum licik pandir, munafik. Mereka rekam sosok bermanis bibir-berhati musang. Siapa guru, siapa mahaguru penindas. Siapa pengajar, siapa master- masteran.
Gila! Pilkada di nusa Flobamora ternyata untuk sebuah nama, nama- nama tak terkenal. Pilkada memilih jagoan partai kere, kecil, miskin, orang sederhana. Bukan si gemuk, banyak uang, kaya fasilitas. Fenomena apa pula? Ah, Roosevelt benar. Hitler sudah memberi pelajaran. Rakyat, tak ada yang benar-benar tahu isi hatinya. Gampang dicakapkan, tak enteng menjaring aspirasinya. Mudah diraba, sulit amat memeluknya. Enak diucap, rumit nian mencumbuinya. Kerapkali kau terpaksa "memperkosanya" lantaran birahi memuncak ubun, nafsu mengisi batok kepala!
"Ndoe, jangan main-main ame...," gumam anak Flores, sering dalam diamnya. "Sonde apa-apa, beta tunggu lu di bok na...! mengutip ocehan bocah Kolhua. Benar, mereka tunggu di arena pilkada akhir Juni 2005. Rakyat oh...rakyat. Sekali lagi kau mempermalukan kami yang suka dimanja. Kami yang lupa diri. Percaya diri uanglah raja. Kuat-kuasa bisa membeli segalanya. Yang besar terkapar-tak berdaya. Anak pinggiran masuk lingkaran dalam. Dihormati, dikasihi. Terpilih. Olala... Pilkada ini bikin hati gatal.
Sialan! Tidur malam jadi tak nyenyak. Makan pun tak lagi enak. Tersenyum terasa sumbang, tertawa menyungging sumir. Rasanya mau mati saja. Jangan eja.., dunia tak hanya selebar kertas suara! Apa kabar enu..nana. Kraeng tua? Bagaimana no dan oa, ame ka'e, umbu rambu, ina ama? Aihh.. kalian sudah menciptakan sejarah.
Pilih langsung. Tusuk sendiri setelah lama ditipu wakilmu. Sekarang tikam mati pakai hati, paku sendiri, langsung ke jantung pujaan hati. Begitulah cinta sebenar-benarnya. Itulah kasih sejati. Uang membanjir kau sambar. Dolar terbang rendah, kau jamah. Pilih siapa? Bukan urusan Anda. Kau menampik kucing berkarung. Kau lihat sendiri, tawar sendiri, beli sendiri. Itu baru demokrasi!
Wartakan ke ujung bumi, kabarkan ke seluruh penjuru dunia. Pilkada ini sungguh pesta rakyat. Congkasae berjingkrak-jingkrak. Lewotanah bahak membahana. Sujud syukur untukmu Inerie, terima kasih Ebulobo dan Sumba meringkik bangga. Di Mbaru gendang, di Sao ria tenda bewa, rakyat Nusa Nipa mendendangkan sajak cinta: Sudah datang putra sang fajar. Di bumi Sandelwood: Siapa bilang tak ada perubahan? Rinduku pada Sumba, rindu... kejujuran dan kasih sayang.
Untuk para senior, sahabat, om, paman yang segera menikmati empuknya kursi, jangan kapok dan bosan mencuri. Korupsilah, kolusilah, berselingkuhlah! Curilah sebanyak mungkin, rampok hingga lumbungmu penuh, gudang meluap.
Kuraslah sebanyak mungkin harta rakyat. Rampok harta mereka yang tak ternilai ini. Ya, hatinya. Hati anak marhaen. Kalau duit yang Om curi, kalau keadilan yang teman remas, jika asanya Bapak remuk-redamkan, bila nasibnya ente gantung-gantangkan, siap- siaplah. Segala sesuatu ada waktunya. Kini mengantarmu ke istana, tapi ada saat diusir dari gelanggang jika ingkar janji setia.
Jatuhmu tersungkur dengan muka buruk, rupa tak karuan. Pergi tanpa pesan, jejak tak berbekas. Masuk buku sebagai yang tak patut dimuliakan. Itulah jua demokrasi. Tak cuma menawan. Dia pun mengurai air mata.
Untuk apa menjadi kepala daerah? Pemimpin rakyat? Kanis Pari, berkatalah Bung sekali lagi. Siapa tahu ada guna-gananya bagi kami.
Pemimpin besar adalah pemimpin yang dipuja-puja karena tindakan dan perbuatan besar yang jelas kelihatan; sekitarnya ramai, penuh pengikut, tidak kurang teman dan handai, semua tertarik mengambil bagian kebesaran. Pemimpin tenar adalah pemimpin yang disorak- sorai; semua berputar di sekitarnya, berebut secuil ketenaran guna popularitas sendiri kapan-kapan. Pemimpin yang bijaksana bergulat dengan pertimbangan dan tanggung jawab hati nurani sendiri. Ia biasanya salah dimengerti, dinilai keliru! Risiko pemimpin tenar; tenggelam dalam puji, lupa diri, runtuh berderai.
Risiko pemimpin besar; mabuk popularitas, goyang keseimbangan, berantakan. Nasib pemimpin bijak; sahabat yang paling setia cumalah hati nurani sendiri. Berhasil, semua kebagian sorak. Gagal, semua buru-buru cuci tangan! Anda mau yang mana?
Maaf bila ada salah kata, harap maklum bila keliru bertutur. Kiranya mahfum bila tak pas menyapa. Kuatkan hatimu yang gagal ke singgasana. Selamat bekerja para pemenang. Silakan berpesta.
Pesta syukur kepada rakyat dan Tuhanmu. Pesta bir, moke, air kata-kata, poco-poco, patah pinggang, dansa sampai loyo dan bunuh hewan berkandang? Hoe, kita sedang busung lapar. Kurang gizi, miskin merana. Mati kelaparan! Anjing gila menggilas nyawa demi nyawa. Kas daerah ngos-ngosan. Pohon kopi tak lagi berbunga. Belalang akan datang jua. Masa tega nian? Tapi terserahlah. Bukankah bung sudah berkuasa? Telah bertengger di ranjang perawan sepanjang masa? **