Oleh Aris Ninu
LAIN dulu lain sekarang. Begitu kalimat yang pas dan cocok untuk menggambarkan kondisi persawahan di Mbay, Kabupaten Nagekeo masa kini. Daerah Mbay telah lama dikenal memiliki potensi pertanian yang subur. Namun nasib para petani di daerah ini tetap saja menderita dan belum ditangani secara serius oleh pemerintah. Hasil panen berlimpah dihargai rendah di pasar dan pendapatan yang diperoleh petani tidak sepadan dengan kerja keras mereka. Inilah kenyataan yang terjadi dan dialami petani di Mbay.
Banyak cerita duka dan kisah yang tak kunjung terselesaikan dan dialami oleh para petani di daerah ini. Ada juga cerita manis dan rasa bangga tentang kejayaan beras Mbay di masa dulu. Tetapi kejayaan itu hanya tidak lama guna mempertahanakan beras Mbay bisa terkenal di Bumi Flobamora tercinta.
Kini, perlahan-lahan aroma khas beras membramo Mbay telah pudar. Jika tidak diperhatikan, persawahan Mbay pun terancam hilang. Siapa yang mau disalahkan dan bertanggung jawab terhadap persoalan ini?
Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, saat melantik Bupati dan Wakil Bupati Nagekeo di Mbay, Oktober lalu, dengan tegas meminta Bupati dan Wabup Nagekeo pilihan masyarakat bisa menjadikan Mbay sebagai lumbung beras di NTT. Apa yang disampaikan Lebu Raya beralasan dan sesuai fakta karena di Mbay sudah ada bendungan yang cukup dikenal yakni Bendungan Sutami. Bendungan ini bisa mengairi semua dataran di Mbay untuk diolah menjadi daerah persawahan. Bahkan Lebu Raya berencana membangun bendungan di Nagekeo guna menjadikan Nagekeo sebagai lumbung beras di NTT.
Apa yang disampaikan Gubernur NTT memang sebuah impian dan cita-cita bersama masyarakat Nagekeo. Namun lain yang terjadi dan dialami petani di Mbay. Banyak petani di Mbay kini angkat kaki dan beralih profesi sebagai tukang ojek, buruh bangunan, wiraswasta dan menjadi tenaga kerja di luar negeri. Dampak dari banyak petani beralih berprofesi telah membuat petani Mbay yang punya persawahan banyak kesulitan mencari tenaga kerja agar bisa mengerjakan sawah. Selain itu, harga pengolahan sawah lebih mahal dari pemasukan yang diperoleh dari bersawah.
Adi Lay, misalnya, kini sangat kesulitan mencari orang Mbay agar bisa bekerja di sawah karena banyak anak-anak muda sudah alih profesi guna mendapat pekerjaan sesaat, seperti jadi buruh proyek, bangunan, ojek dan TKI. Dampak dari Mbay sebagai kabupaten telah membuat pola pikir petani berubah. Ia pun menyarankan pemerintah bisa memberikan pemahaman dan menjaga agar persawahan Mbay tetap dipertahankan.
"Kita khawatir suatu saat persawahan Mbay hilang karena banyak sawah yang tidak dikerjakan dan dijual. Pemerintah perlu mengatur dan menjaga persawahan di Mbay dan menjadikan Mbay bisa unggul di sektor pertanian," kata Lay di pondoknya di persawahan Mbay.
Apa yang disampaikan Lay itu perlu diperhatikan karena dengan kelangkaan pupuk dan biaya pengolahan sawah yang memakan ongkos mahal banyak petani enggan bersawah lagi. "Untuk biaya pengolahan sawah saja, kita perlu tenaga dan mengeluarkan biaya cukup besar. Kalau biaya kerja sudah mahal, kadang hasilnya tidak mencapai atau melebihi ongkos kerja. Pupuk saja langka dan mahal," ujar Lay.
Berbeda dengan Lay, Muhamad Safrudin, petani di Kelurahan Mbay I, berkisah lain. Safrudin mengatakan, persoalan yang sering melanda petani di Mbay yakni masalah hama dan pupuk. "Dari tahun ke tahun saat tanam masalah hama tidak pernah luput. Bukan saja hama, masalah pupuk yang mahal juga sering menjadi persoalan di Mbay. Mahalnya harga pupuk sangat meresahkan petani. Pupuk yang dibutuhkan petani malah tidak ada di Mbay, tapi ada di Ende dan Ruteng. Jika dibeli di Ende harganya beda dengan di Mbay. Kami tidak tahu kenapa bisa begitu. Tetapi memang pupuk sering menjadi masalah, mau tidak beli kita sudah tanam. Kadang habis panen, kita hitung malah kita rugi terlalu besar," kata Safrudin.
Digambarkan Safrudin, ongkos mengolah sawah di Mbay semuanya membutuhkan biaya yang cukup besar mulai dari tanam sampai panen.
"Di Mbay sini sering disebut "Suara Kasih". Yang artinya sore pulang langsung kasih uang. Kita butuh tenaga saat selesai kerja kita langsung bayar. Misalnya satu pekerja Rp 25 ribu sampai 30 ribu kita langsung bayar mereka saat mereka pulang ke rumah. Itu belum biaya makan minum," kata Safrudin.
Dirincikan Safrudin tentang biaya kerja di Mbay yakni biaya bajak 1 Ha Rp 1 juta, biaya kikis Rp 300 ribu, cabut bibit Rp 50 ribu, biaya tanam Rp 25 ribu per orang menggunakan pekerja sebanyak 20 orang, biaya panen Rp 30 ribu perorang berjumlah 30 orang, biaya rontok Rp 30.000 menggunakan tenaga sebanyak lima orang dan biaya pikul usai rontok Rp 50.000,00. Biaya-biaya ini, kata Safrudin belum termasuk makan dan minum.
"Kalau kasarnya kita keluarkan Rp 5 juta belum tentu baliknya Rp 5 juta, paling kita dapat Rp 3 juta. Bagaimana mau dapat hasil kalau ongkos kerja lebih mahal dari produksi," kata Safrudin.
Apa yang digambarkan Safrudin cukup menyedihkan dan memprihatinkan. Betapa tidak, penderitaan para petani di Mbay belum ditanggapi dan ditangani serius oleh pemerintah mulai dari PPL. Petugas penyuluh pertanian pun tidak memberikan kontribusi yang baik, termasuk dinas terkait. Banyak program pertanian yang melayang di udara ketimbang ditanya kepada petani, apa kesulitan yang dialami saat ini.
Kondisi yang lain lagi, petani Mbay yang dulunya memproduksi sawah 1 Ha 7 ton kini hanya mendapat 11 karung dari sawah seluas 1 Ha. Kondisi ini membuat banyak petani patah semangat untuk mengerjakan sawah. Banyak cara dan banyak jalan lain yang bisa ditempuh, tapi dinas terkait belum berperan baik mulai dari PPL-nya sampai pada pimpinannya tidak bisa memberikan pemahaman dan pola pikir petani agar bisa berubah. Petani diajak tidak hanya menanam padi saja tapi menanam palawijaya sebagai tanam pengganti jika hasil panen tidak memuaskan. Di sinilah sebenarnya peran PPL. Banyak PPL pagi ke tempat tugas lalu menghilang d isaat petani mengalami kesusahan.
Berdasarkan data yang diperoleh Pos Kupang, persawahan di Mbay Kanan kini telah dikelola 38 petani pengguna air (P3A) dengan perincian 1 P3A 100 KK.
Tetapi kondisi yang terjadi sekarang, banyak lahan persawahan yang dibiarkan. Ada lagi daerah persawahan telah berubah menjadi pemukiman dengan membangun rumah tembok yang megah di tengah persawahan. Bahkan masih terekam jelas Bupati Ngada, Drs.Piet Jos Nuwa Wea mengatakan, kalau ia merasa heran karena banyak daerah persawahan di Mbay di tengah sawah ada bangunan rumah. Orang nomor satu di Ngada ini mengatakan hal itu saat ia melakukan panen perdana di persawahan Mbay tahun 2007 lalu.
Sekarang ini, tidak ada yang perlu disalahkan. Yang perlu dicari jalan keluarnya hanya satu menjadikan Mbay sebagai daerah beras di NTT. Sawah di dataran Mbay bisa menghidupkan masyarakat NTT tanpa pemerintah mengirim dan membawa beras luar ke NTT lalu merusak harga beras petaninya sendiri. Menjadi Mbay sebagai lumbung beras di NTT pada masa lalu telah dibuktikan. Tetapi kini bisakah pemerintah Nagekeo menjadikan Mbay sebagai penghasil beras? Jawabannya ada di tangan pemerintah. Daerah Mbay telah dikenal sejak dulu sebagai penghasil beras lalu kini mau diteruskan tentunya perlu diperhatikan pemerintah melalui dinas teknis.*
Pos Kupang edisi Minggu, 30 November 2008 halaman 1