Oleh Romualdus Pius
KETIKA itu saya masih kuliah di Universitas Dr. Soetomo Surabaya. Saya bersama kakakku sedang duduk di kos. Tiba-tiba tetangga membunyikan meriam bambu. Saya bertanya kepada kakakku, "Kae, sao mena nee ata mata", artinya kakak, di rumah sana ada orang meninggal? Kakak mengatakan bahwa itu bukan orang meninggal, melainkan tanda kegembiraan warga merayakan pergantian tahun.
Penjelasan tersebut saya pahami. Namun bunyi meriam bambu menghadirkan kembali kenangan masa kecilku di kampung. Di kampungku ada tradisi membunyikan meriam bambu atau dalam bahasa kampungku disebut bo lengi.
Bo lengi memberi tanda kepada penduduk atau masyarakat sekitar bahwa ada yang meninggal dunia. Tradisi bo lengi ini terdapat hampir di seluruh wilayah Kecamatan Mauponggo, Keo Tengah dan sejumlah kampung di Kecamatan Nangaroro.
Keluarga yang kerabatnya meninggal tentu saja mengalami kesedihan mendalam, namun bagi kami anak-anak kecil kematian menjadi kegembiraan karena bo lengi. Tiga batang bambu bulat berukuran besar dilubangi pada bagian pangkalnya lalu diberi minyak tanah dan disulut api. Campuran minyak panas yang menghasilkan gas akan menimbulkan bunyi menggelegar.
Kampungku bernama Nuanage di Desa Lokalaba, Kecamatan Mauponggo. Letaknya di ketinggian bahkan bisa dikatakan sebagai kampung yang tertinggi di Kecamatan Mauponggo. Bunyi meriam bambu yang menggelegar dengan mudah terdengar di kampung-kampung tetangga.
Tangisan duka keluarga yang ditinggalkan tidak pernah kami hiraukan. Bagi kami yang terpenting adalah membuat meriam bambu, terus menyala dan menggelegar. Bagi kami yang saat itu berusia antara 5 atau 6 tahun yang terpenting happy dengan bunyi meriam bambu.
Waktu terus berlalu. Wajah kampungku memang mulai banyak berubah. Rumah-rumah penduduk yang dulunya beratap rumbia kini mulai berganti dengan seng. Bahkan ada yang telah membangun rumah permanen. Sementara saluran air yang dulunya memakai bambu kini diganti dengan pipa.
Namun, satu hal yang tidak pernah berubah yakni tradisi bo lengi. Kini pun kupahami ternyata bo lengi memiliki filosofi yang sangat mendalam. Selain memberikan tanda bagi kenalan, kerabat dan handai taulan bahwa ada yang meninggal dunia, ternyata bo lengi juga memberikan tanda kepada kerabat bahwa ada keluarga meninggal dunia.
Kegiatan bo lengi dilakukan persis di depan rumah duka. Dengan begitu, orang atau kerabat dapat dengan mudah mengetahui bahwa ada yang meninggal dunia. Dengan mendengar meriam bambu, keluarga dan kerabat mulai berdatangan ke rumah duka untuk melayat. Meriam bambu dibunyikan sepanjang waktu dan hanya jeda ketika dilakukan sembahyang. Bo lengi baru berhenti ketika jenazah kerabat yang meninggal sudah dimakamkan.
Bagi kami yang berasal dari kampung, membunyikan meriam bambu tidak sembarangan, tapi hanya pada saat orang meninggal. Itu pun hanya khusus untuk orang dewasa. Kalau anak kecil yang meninggal, bo lengi tidak dilakukan. Bagi orang dewasa membunyikan meriam bambu suatu keharusan. Untuk para kerabat yang mendengar bunyi meriam bambu, itu berarti tanda bagi mereka untuk menyiapkan berbagai barang adat, seperti emas, parang ataupun kerbau, kuda dan babi yang akan dibawa ketika melayat. Sedangkan bagi mereka yang tidak ada hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, cukup membawa minyak tanah untuk membunyikan meriam bambu, ditambah beras dan gula pasir.
Tradisi bo lengi diwariskan secara turun-temurun. Meskipun sekarang beerbagai fasilitas komunikasi semakin canggih, saya patut berbangga bahwa bo lengi masih tetap eksis. Dia tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Meskipun sinyal handphone sudah masuk ke kampungku, namun dia tidak dapat menggantikan keberadaan meriam bambu sebagai sarana komunikasi untuk memberitakan kematian. (pius_2708@yahoo.com)
Pos Kupang edisi Sabtu, 1 November 2008 halaman 10
KETIKA itu saya masih kuliah di Universitas Dr. Soetomo Surabaya. Saya bersama kakakku sedang duduk di kos. Tiba-tiba tetangga membunyikan meriam bambu. Saya bertanya kepada kakakku, "Kae, sao mena nee ata mata", artinya kakak, di rumah sana ada orang meninggal? Kakak mengatakan bahwa itu bukan orang meninggal, melainkan tanda kegembiraan warga merayakan pergantian tahun.
Penjelasan tersebut saya pahami. Namun bunyi meriam bambu menghadirkan kembali kenangan masa kecilku di kampung. Di kampungku ada tradisi membunyikan meriam bambu atau dalam bahasa kampungku disebut bo lengi.
Bo lengi memberi tanda kepada penduduk atau masyarakat sekitar bahwa ada yang meninggal dunia. Tradisi bo lengi ini terdapat hampir di seluruh wilayah Kecamatan Mauponggo, Keo Tengah dan sejumlah kampung di Kecamatan Nangaroro.
Keluarga yang kerabatnya meninggal tentu saja mengalami kesedihan mendalam, namun bagi kami anak-anak kecil kematian menjadi kegembiraan karena bo lengi. Tiga batang bambu bulat berukuran besar dilubangi pada bagian pangkalnya lalu diberi minyak tanah dan disulut api. Campuran minyak panas yang menghasilkan gas akan menimbulkan bunyi menggelegar.
Kampungku bernama Nuanage di Desa Lokalaba, Kecamatan Mauponggo. Letaknya di ketinggian bahkan bisa dikatakan sebagai kampung yang tertinggi di Kecamatan Mauponggo. Bunyi meriam bambu yang menggelegar dengan mudah terdengar di kampung-kampung tetangga.
Tangisan duka keluarga yang ditinggalkan tidak pernah kami hiraukan. Bagi kami yang terpenting adalah membuat meriam bambu, terus menyala dan menggelegar. Bagi kami yang saat itu berusia antara 5 atau 6 tahun yang terpenting happy dengan bunyi meriam bambu.
Waktu terus berlalu. Wajah kampungku memang mulai banyak berubah. Rumah-rumah penduduk yang dulunya beratap rumbia kini mulai berganti dengan seng. Bahkan ada yang telah membangun rumah permanen. Sementara saluran air yang dulunya memakai bambu kini diganti dengan pipa.
Namun, satu hal yang tidak pernah berubah yakni tradisi bo lengi. Kini pun kupahami ternyata bo lengi memiliki filosofi yang sangat mendalam. Selain memberikan tanda bagi kenalan, kerabat dan handai taulan bahwa ada yang meninggal dunia, ternyata bo lengi juga memberikan tanda kepada kerabat bahwa ada keluarga meninggal dunia.
Kegiatan bo lengi dilakukan persis di depan rumah duka. Dengan begitu, orang atau kerabat dapat dengan mudah mengetahui bahwa ada yang meninggal dunia. Dengan mendengar meriam bambu, keluarga dan kerabat mulai berdatangan ke rumah duka untuk melayat. Meriam bambu dibunyikan sepanjang waktu dan hanya jeda ketika dilakukan sembahyang. Bo lengi baru berhenti ketika jenazah kerabat yang meninggal sudah dimakamkan.
Bagi kami yang berasal dari kampung, membunyikan meriam bambu tidak sembarangan, tapi hanya pada saat orang meninggal. Itu pun hanya khusus untuk orang dewasa. Kalau anak kecil yang meninggal, bo lengi tidak dilakukan. Bagi orang dewasa membunyikan meriam bambu suatu keharusan. Untuk para kerabat yang mendengar bunyi meriam bambu, itu berarti tanda bagi mereka untuk menyiapkan berbagai barang adat, seperti emas, parang ataupun kerbau, kuda dan babi yang akan dibawa ketika melayat. Sedangkan bagi mereka yang tidak ada hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, cukup membawa minyak tanah untuk membunyikan meriam bambu, ditambah beras dan gula pasir.
Tradisi bo lengi diwariskan secara turun-temurun. Meskipun sekarang beerbagai fasilitas komunikasi semakin canggih, saya patut berbangga bahwa bo lengi masih tetap eksis. Dia tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Meskipun sinyal handphone sudah masuk ke kampungku, namun dia tidak dapat menggantikan keberadaan meriam bambu sebagai sarana komunikasi untuk memberitakan kematian. (pius_2708@yahoo.com)
Pos Kupang edisi Sabtu, 1 November 2008 halaman 10