Oleh Petrus Piter
MEMASUKI usia ke-50 tahun Propinsi Nusa Tenggara Timur dan 50 tahun Kabupaten Sumba Barat, tanggal 3 Desember 2009 mendatang, masih banyak hal belum terasakan seluruh masyarakat NTT dan Sumba Barat khususnya sebagai sebuah daerah merdeka, lepas dari belenggu penjajahan. Pembangunan sebagaimana digalakkan para pemimpin NTT dan Sumba Barat dari periode ke periode belum mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah ini ke arah lebih maju.
Sudah 63 tahun negeri ini merdeka, dan 50 tahun propinsi ini berdiri, masih saja terdapat masyarakat di beberapa wilayah di NTT belum merasakan nikmatnya kemerdekaan. Rakyat belum dapat menikmati jalan raya, air bersih, listrik dan pendidikan memadai serta beberapa sektor pembangunan lainnya.
Pembangunan sebagaimana dicanangkan para pemimpin daerah ini ditengarai belum menyentuh kebutuhan esensi rakyat daerah itu dan lebih menyuguhkan kepuasan pimpinan di atasnya. Sistem pemerintahan sentralistik sebagaimana diterapkan selama kurang lebih 32 tahun oleh pemerintahan Orde Baru hanya menjadikan rakyat sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan.
Walau demikian, harus diakui pula bahwa pembangunan sebagaimana dijalankan pemimpin negeri ini memberi dampak besar terhadap peningkatan kehidupan rakyat meski belum merata di segala bidang kehidupan.
Terkenang benar oleh rakyat Sumba Barat akan program Operasi Nusa Makmur yang dicanangkan Gubernur Propinsi NTT, Ben Mboi, di era tahun 1980-an. Saat itu, masyarakat Kabupaten Sumba Barat menggalakkan penanaman padi dan jagung karena memiliki lahan persawahan irigasi, lahan sawah tadah hujan, lahan padi ladang serta lahan jagung cukup luas.
Hasil yang diperoleh cukup menggembirakan. Bahkan Sumba Barat terkenal di seantero Flobamora sebagai salah satu lumbung padi NTT. Sayangnya, program itu tidak berlangsung lama seiring berakhirnya masa kepemimpinan beliau dan tidak dilanjutkan generasi berikutnya.
Konon rakyat Sumba Barat berkehendak mengembalikan Sumba Barat seperti dulu. Sumba Barat sebagai penghasil padi dan jagung NTT. Rakyat berkeinginan kuat agar pembangunan sektor pertanian terutama padi dan jagung menjadi prioritas. Rakyat memiliki komitmen tetap menjadikan daerah ini sebagai salah satu gudang penghasil padi dan jagung di NTT.
Komitmen itu terbukti dengan lestarinya areal persawahan yang tetap hijau mengelilingi Kota Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat khususnya, dan Sumba Barat pada umumnya hingga sekarang. Rakyat sulit merelakan sepenggal lahan sawahnya untuk pembangunan gedung perkantoran dan pertokoan.
Namun, menjadi pertanyaan, seberapa lamakah petani mempertahankan lahan sawahnya dari rayuan pengusaha berdalih demi pembangunan? Sebab, sadar ataupun tidak sadar, sebagian areal persawahan perlahan-lahan habis terkikis akibat pembangunan.
Tengok saja daerah Wailiang bawah yang dahulu kalah merupakan daerah persawahan. Tapi, sekarang kondisi tersebut tak terlihat karena telah berdiri bangunan perumahan penduduk, nyaris tidak tersisa sejengkal lahan sawah. Rakyat sadar benar, lahan persawahan merupakan sumber utama penopang kehidupan keluarganya. Dari hasil sawah, mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi, bahkan sebagian besar menjadi pejabat di daerah itu.
Di sinilah sangat didambakan peran pemerintah untuk mewujudkan mimpi rakyatnya. Atau haruskah membiarkan petani terus terhimpit kebutuhannya hingga rela mengorbankan lahan sawah untuk membiayai kelangsungan hidupnya?
Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sumba Barat, Ir. M. Dabungke, di kantornya, Selasa (28/10/2008), sesungguhnya pemerintah Kabupaten Sumba Barat telah mengakomodasi keinginan rakyat membangun persawahan padi dan jagung di wilayah itu. Hal mana terakomodir dalam APBD Kabupaten Sumba Barat pada setiap tahun anggaran. Hanya saja dalam pelaksanaan, cara bertani rakyat Sumba Barat masih bersifat tradisional sehingga hasil yang diperoleh terbatas pula. Di zaman modern seperti sekarang, model pengembangan pertanian harus berbasis agrobinis dengan sentuhan teknologi memadai.
Mencermati kondisi itu, demikian Dabungke, tahun ini dia coba mengajukan proposal kepada Menteri Pertanian untuk kegiatan sekolah lapang (laboratoruim) untuk 320 kelompok tani di 8.000 ha lahan padi yang tersebar di 17 kecamatan di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah. Juga sekolah lapang untuk 50 kelompok tani di 750 ha lahan jagung.
Syukurlah, proporsal itu sudah dijawab dengan memberikan bantuan dana Rp 2,1 miliar. Kini, pihaknya tengah mengkaji pelaksanaan di lapangan. Sedangkan semua kelompok tani sudah dibentuk dan siap menjalankan program tersebut.
Metode sekolah lapang sebagai berikut: dalam 25 ha lahan garapan petani, satu hektar diantaranya dijadikan sekolah lapang. Artinya, lahan olahan dengan sentuhan teknologi yang dapat dipelajari seluruh anggota kelompok dengan harapan dapat diaplikasikan di kelompok tani lainnya atau lahan persawahan baru.
Kondisi yang sama berlaku untuk usaha tani jagung. Untuk 15 ha lahan jagung, satu hektar untuk sekolah lapang bagi kelompok dalam menerapkan teknologi tepat guna.
Di sinilah model pertanian baru yang akan diterapkan petani di tiga kabupaten itu. Dengan sekolah lapang diharapkan memberi dampak positif bagi usaha pertanian rakyat sehingga hasil yang diperoleh berlipat ganda. Petani juga diajak untuk meningkatkan pola tanam yang hanya sekali dalam setahun menjadi dua kali dengan usaha variasi tanam. Misalnya, tanam pertama jagung, dilanjutkan dengan tanam kacang-kacangan hingga terakhir tanam padi. Dengan demikian, petani memiliki sumber pendapatan alternatif dan bukan hanya mengandalkan hasil tanaman padi semata.
Untuk menjalankan kegiatan sekolah lapang, perlu dibangun sinergitas tiga pemerintahan yakni Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah pasca pemekaran. Dengan demikian, citra Sumba Barat sebagai salah satu daerah andalan penghasil padi dan jagung di NTT kembali eksis dan bukan hanya sekadar mengenang kejayaan masa lalu. Kejayaan masa lalu perlu dikembalikan dan ditingkatkan sekarang dan masa mendatang.
Kerja sama ketiga pimpinan pemerintahan penting dilakukan mengingat semenjak lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Tengah dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Barat Daya, maka secara administratif pemerintahan Kabupaten Sumba Barat tidak utuh lagi alias mekar.
Wilayah Kabupaten Sumba Barat hanya terdiri dari lima kecamatan (sebelum mekar 17 kecamatan) dengan daerah potensi irigasi terdapat di Kecamatan Wanokaka, Lamboya, Loli dan Kota Waikabubak. Sedangkan Kecamatan Tanah Righu umumnya padi ladang.
Potensi padi ladang hampir merata di seluruh wilayah Kabupaten Sumba Barat. Sedangkan potensi pengembangan irigasi padi sawah di Kabupaten Sumba Barat Daya cukup luas karena sebagian besar wilayahnya cocok untuk pengembangan sawah irigasi, seperti Kecamatan Wewewa Timur, Wewewa Selatan, dan Loura.
Kabupaten Sumba Tengah memiliki areal sangat luas, namun tidak mempunyai sumber mata air cukup sehingga praktis hanya mengembangkan padi sawah tadah hujan. Memang sudah ada pembangunan bendungan Loku Jangi, namun debit airnya masih sangat kecil.
Raga Loku, salah seorang petani, yang ditemui Pos Kupang di Gelora Pada Eweta, Selasa (28/10/2008), mengatakan, selama ini pemerintah hanya pandai berbicara dan mengurus soal lain. Sedangkan untuk urusan pertanian belum maksimal. Petani masih sulit mendapatkan pupuk saat tanam. Harga pupuk sangat mahal pula.
Di sisi lain pasca panen, harga gabah milik petani anjlok. Kondisi ini sangat kontras dengan keinginan petani mau mengubah hidup. Keadaan ini semakin terasa sulit ketika petani harus takluk di tangan pengusaha karena terdesak kondisi keuangan untuk membiayai keperluan hidup rumah tangga. Petani pun rela menjual gabah meski dengan harga sangat murah.
Menjadi pertanyaan, sampai kapankah penderitaan ini akan berujung dan mungkinkah pemerintah memiliki hasrat mengambil kebijakan membeli gabah petani dengan harga wajar di masa mendatang? *
Pos Kupang edisi Minggu, 23 November 2008 halaman 1