Martha


Malam itu, malam menjelang larut. Sesak berdesak di kaki Gunung Iya yang sedang nyenyak. Di tengah lautan manusia, banyak marah tertahan. Tapi Martha tak sanggup menahan...

"Oi, kenapa tanya-tanya terus kah. Sudah ada yang mau antar saya ke Mautapaga!" Suara perempuan itu melengking nyaring di tengah kerumunan manusia yang baru turun dari KM Awu di Pelabuhan Ende, malam Minggu 8 November 2008. 

Jarum jam menunjukkan pukul 22.47 Wita. KM Awu baru beberapa menit yang lalu membuang sauh setelah 12 jam lebih mengarungi laut Sawu dari Pelabuhan Tenau-Kupang. Di Ende, KM Awu tak lama singgah. Hanya sekitar satu jam. Awu melanjutkan pelayaran menuju Waingapu, Sumba Timur.

Perempuan itu bernama Martha. Tak lama setelah menginjakkan kaki di dermaga, Martha mendapat tawaran dari pria tukang ojek yang pertama kali ditemuinya. Bawaannya tak banyak. Cuma satu tas punggung dan tas plastik kecil berisi buah-buahan. Merasa cocok dengan tarif si tukang ojek, Martha ingin segera meninggalkan dermaga yang sesak dengan manusia. 


"Saya sebenarnya sudah biasa mengalami hal macam ini. Tadi suara agak tinggi karena ada satu konjak (maksudnya kondektur angkota) tanya saya sampai lima enam kali. Biar saya sudah beri tahu pakai ojek, dia omong terus, 'Saya antar ko. Saya antar ko nona?' Dia juga tarik-tarik tas saya. Ndoe, siapa yang tidak jengkel kah?," kata Martha sebelum meninggalkan Pelabuhan Ende dengan ojek.

Tak lama berselang terdengar ribut-ribut kecil di dekat pintu keluar dermaga. Rupanya dua orang 'sopir' rebutan calon penumpang tujuan Bajawa. Mereka sama mengklaim calon penumpang itu telah setuju memakai jasa angkutannya. Tiga orang calon penumpang, dua pria dan seorang wanita muda, terlihat bingung. Setelah ditelusuri ternyata 'sopir' itu sejatinya calo pencari penumpang. Jelas bukan sopir, tetapi bekerja sama dengan sopir.

***
BEGITULAH sisi lain 'keramah-tamaan' ala Flobamora. Mungkin tak sedap diungkap tetapi demikianlah adanya. Dari dulu belum banyak berubah. Maka dibutuhkan kesabaran tinggi dan hati yang dingin agar suara lengking seperti Martha tak sempat menyeruak di tengah kerumunan massa.

Tuan dan puan yang pernah melakukan perjalanan ke berbagai kota di Nusa Tenggara Timur agaknya pernah mengalami pengalaman khas serupa itu. Pengalaman lazim di ruang publik bernama terminal, bandar udara (bandara) serta pelabuhan. 

Secuil suasana di Pelabuhan Ende 8 November 2008 tak jauh berbeda dengan keadaan di Sadang Bui, Waibalun, Tenau, Lewoleba, Waingapu, Labuan Bajo, Aimere, Nangakeo, Pantai Baru dan Bolok. Nyaris serupa dan sebangun. Juga di berbagai terminal bis antarkota. Sedikit lebih santun di sejumlah bandara, tempat yang hampir pasti lebih kerap disinggahi mereka yang berkantong tebal. Bukan rakyat kebanyakan seperti Martha.

Sebelum era kejayaan ojek sekitar lima tahun lalu, yang gesit menawarkan jasa di terminal, bandara dan pelabuhan adalah sopir bemo (angkutan kota), taksi atau bis. Sekarang daftar penawar jasa makin panjang. Sopir bis bersaing dengan mobil travel untuk calon penumpang tujuan kota-kota terjauh. Bisnis mobil travel tumbuh subur di Flobamora. Tetapi kalah jumlah dibandingkan dengan ojek sepeda motor. Ojek lebih fleksibel. Bisa menembus lorong sempit, jalan tikus. Mampu mengantar ke kampung-kampung. Mereka tak mesti berseragam khusus. Siapa saja asal bisa mengendarai sepeda motor dengan riang hati menawarkan jasa. Tarif pun bisa dikompromi. 

Profesi ojek cukup menjanjikan. Pagi sampai siang hari pekerjaan pokok pegawai negeri atau karyawan toko. Sore hingga malam mencari tambahan pendapatan dengan mengojek. Tak salah memang. Masalah kita cuma soal cara menawar jasa.  Cara yang lebih santun. Tingkah yang tidak membuat saudara sendiri bisa "naik darah" alias marah. Maksud baik butuh kemasan baik pula. (email: dionbata@poskupang.co.id)

Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 17 November 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes