Oleh Yosep Sudarso
MENYEBUT le kebote, pikiranku langsung terbawa ke sosok Ema Bewa yang dengan busur di tangan, ia terus berlari-lari menghindari lemparan anak-anak yang mengejarnya. Dengan cara apa pun, perempuan dengan tinggi semampai itu berjuang agar tak satu pun lemparan mengenai dirinya. Bukan karena ia takut terluka atau benjol, tetapi karena pemali apabila sampai terkena lemparan.
Maklumlah, ketika dikejar dan dilempar anak-anak, Ema Bewa sebetulnya mewakili perjuangan hidup seorang bayi lelaki yang ari-arinya baru ia gantungkan di sebuah pohon di lewo oking (kampung lama/kampung induk). Walaupun mengakui bahwa nafas kehidupan tergantung pada lera wulan tana ekan (pencipta dan penyelenggara kehidupan), perjuangan mengisi hidup adalah tugas dan tanggung jawab atadiken (anak manusia).
Ema Bewa. Perempuan itu sudah lama meninggal. Sepanjang hidupnya dihabiskan di desa asalnya, Lamika, Kecamatan Demong Pagong, Flores Timur. Dan, selama belasan tahun ia berperan sebagai pembawa ari-ari bayi laki-laki maupun perempuan di desa itu untuk digantung pada pohon agar tidak sampai dimakan binatang.
Le kebote (tradisi gantung ari-ari pada pohon) memang sudah menjadi tradisi di Lamika. Desa yang jaraknya sekitar 30 km dari Larantuka ini awalnya terdiri dari tiga dusun, yakni Lewomikel (Dusun I), Lewonuha (Dusun II) dan Lewomuda (Dusun III). Namun setelah gempa tektonik 12 Desember 1992 yang meluluhlantakkan sebagian Pulau Flores, 60 KK dari sekitar 300 KK di desa itu mengikuti program pemerintah dengan berpindah ke lokasi baru di pinggir jalan raya utama Larantuka-Maumere. Pemukiman baru ini sekarang membentuk dusun sendiri dengan nama Lewowuung (kampung baru).
Seperti desa tetangga lain, yaitu Lewokluok, Wolo, Kawalelo, Blepanawa dan Bama (beberapa desa ini dulu termasuk kompeks Wolo), hampir semua penduduk Desa Lamika bermata pencaharian petani dengan pola berpindah-pindah ladang. Dahulu, sebuah mang/netak (areal ladang) dikerjakan selama dua tahun sekali. Namun sekitar 15 tahun lalu mulai terjadi pergeseran pola berladang.
Sejak petani mengenal tanaman kepayuk (jambu mete) sebagai tanaman komoditi yang potensial, ladang tidak lagi menjadi milik bersama. Sebelumnya, hampir tidak ada ladang yang dikerjakan sendirian, tetapi selalu kneu (bersama-sama) maksimal tiga kepala keluarga. Kini, sejak ladang dipenuhi jambu mete, mau tidak mau, ladang harus dibagi. Mang/netak menjadi milik pribadi. Salah satu dampaknya adalah potensi konflik terbuka lebar terutama ketika para perantau (umumnya di Malaysia) yang belum punya ladang kembali menetap di kampung halaman.
Selain itu, bila dahulu tanah digarap paling lama dua tahun dan baru digarap lagi delapan tahun kemudian (setelahnya pepohonan mulai besar dan tanah sudah berhumus), kini ladang yang sama digarap setiap tahun. Kalau hasilnya seperti beras dan jagung tidak lagi mencukupi, biasanya dibuka lagi lahan baru tetapi lahan lama tetap dibersihkan.
Selain bergantung pada padi dan jagung, penduduk Desa Lamika juga menyuling arak dari pohon lontar. Dahulu, hampir semua pria dewasa mengiris tuak kemudian menyulingnya menjadi arak untuk selanjutnya dijual ke Pasar Boru (ibukota Kecamatan Wulanggitang). Namun beberapa tahun terakhir, jumlah keluarga yang mengiris tuak dan menyuling arak bisa dihitung dengan jari.
Banyak hal berubah. Nilai-nilai sosial budaya bergeser skalanya. Dari yang "serba bersama-sama" ke "urus sendiri-sendiri". Suku memang masih dan akan tetap ada, tetapi perannya dalam kehidupan setiap keluarga mulai berkurang.
Di titik ini, barangkali tradisi le kebote yang menurut Kepala Desa Lamika, Vincent Openg, masih tetap dipelihara, bisa menjembatani fenomena degradasi nilai-nilai warisan leluhur. Setidaknya dapat meredam perilaku dan pola hidup generasi muda yang menggelisahkan banyak tetua adat dan sesepuh kampung. Judi, mabuk-mabukan dan mencuri bukan lagi cerita di tempat lain.
Semoga tradisi le kebote (terutama pada bayi lelaki) yang mengisyaratkan perjuangan hidup, daya juang dan kerja keras dalam kebersamaan bisa menggugah hati generasi penerus di kampungku. Karena ketika ari-ari seorang bayi dipotong, diawetkan dengan keawuk (abu dapur) dalam anyaman lontar, digantungkan di pohon, hingga sang pembawanya seperti Ema Bewa harus menyilih lemparan agar selamat kembali ke rumah, di sana sudah terpatri nilai tanggung jawab terhadap hidup dan kehidupan. (*)
Pos Kupang edisi Sabtu, 29 November 2008 halaman 10