Jeruk Keprok SoE dan Manajemen "Kantong Kresek"

Oleh Julianus Akoit

JERUK Keprok SoE (JKS), salah satu komoditi buah paling unggul dari Pulau Timor. Bahkan pada tahun 2003 lalu, dalam kegiatan Pameran Buah Nasional, JKS memperoleh sertifikat sebagai varietas buah jeruk yang paling unggul dengan rasa yang khas serta tampilan tekstur buah paling indah dan paling populer. Perolehan sertifikat ini dianggap sudah sepantasnya.

Ini dibuktikan dengan minat orang menjadikan buah JKS sebagai oleh-oleh atau 'buah tangan' ketika singgah di SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), saat melakukan perjalanan darat dari Atambua ke Kupang atau sebaliknya. Varietas buah JKS memang sangat memesona, baik rasa maupun tampilan tekstur buahnya yang indah. Tapi sejak tahun 1990, produksi buah JKS semakin merosot.

Pertanyaannya, kenapa produksinya menurun? Lalu kenapa pemasaran buah JKS sulit masuk pasar domestik di Jakarta bahkan diekspor ke manca negara? Tulisan berikut tidak bermaksud menjawab secara rinci pertanyaan di atas. Tapi hanya memaparkan sedikit kegelisahan dan kecemasan akan nasib pengembangan JKS sebagai varietas buah paling unggul dari Timor.

Jeruk keprok (Citrus Nobilis) menempati urutan nomor dua setelah pisang, sebagai buah paling populer dan paling suka dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Ia sering dijadikan hidangan penutup di atas meja makan. Jeruk keprok bukan buah asli Indonesia. Sampai sekarang belum diketahui siapa yang membawa masuk tanaman jeruk ke Indonesia. Dari literatur asing, diperoleh keterangan bahwa jeruk keprok sudah dikembangkan di daratan Cina sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Menurut catatan Han Yen Chin ( 1178) dalam bukunya Chii Lu terdapat 27 macam jeruk yang dikenal bangsa Cina.

Sejak tahun 1970, ahli pertanian di Indonesia hanya mengenal lima jenis jeruk keprok paling populer, yaitu Jeruk Mandarin (Citrus Nobilis Var Chrysocarpa); jeruk Tebas alias Jeruk Pontianak (Citrus Nobilis Var Microcarpa); Jeruk Jepun (Citrus nobilis Var Typica); Jeruk Tangerine (Citrus Nobilis Var Reticulata); dan Jeruk Keprok Satsuma (Citrus Nobilis Var Unshiu). Belum diketahui, kenapa Jeruk Keprok SoE (JKS) tidak dimasukkan dalam salah satu jenis jeruk keprok paling populer oleh para ahli.

"Tapi harap dicatat, kendati tidak dikenal secara luas oleh ahli buah, apel SoE dan jeruk keprok SoE sudah masuk ke meja makan di istana Presiden sejak tahun 1947 lalu, ketika Ir. Soekarno menjadi Presiden RI. Saya tahu persis itu karena ayah kandung saya menceritakan bahwa jeruk keprok SoE dan apel SoE dari Mollo Utara sering dikirim lewat kapal laut ke istana Presiden RI di Jakarta," jelas Amos Sipa (70), tokoh masyarakat dari Kampung Bosen, di Kapan, Mollo Utara, Kabupaten TTS.

Lalu sejak kapan jeruk keprok SoE (JKS) dikembangkan di Timor, lebih khusus di Kabupaten TTS? Dari tutur lisan yang ada, demikian Amos Sipa, JKS mulai ditanam di Desa Tobu, Kecamatan Mollo Utara, sekitar abad ke-15. Mulanya, tanaman ini ditanam raja setempat yang bernama Sani Oematan. Ketika itu, dia mendapat sejumlah jeruk dari seorang keturunan Tionghoa. Biji dari buah jeruk itu lalu ditanam pada suatu lokasi yang disebut Leol Kase. Leol berarti jeruk, sedangkan Kase artinya tempat. Bahkan, Leol Kase menjadi tempat pertama pembudidayaan jeruk itu. Dari sana, mulai menyebar ke desa tetangga, seperti Oenbasi, Bijeli, Bosen, Oelangkai, Tune, dan sejumlah wilayah kecamatan di Kabupaten TTS. Karena bibit JKS ini diperoleh dari seorang warga keturunan Cina, maka pada tahun 1970 hingga tahun 1980-an, orang SoE dan orang Kupang sering menyebut JKS dengan sebutan Lemon Cina.

Istilah jeruk keprok SoE (JKS) baru digunakan atau dipakai para ahli pertanian ketika kasus penyakit ganas menyerang tanaman apel SoE. Saat itu baru mereka tahu ada komoditi unggulan lainnya di TTS, yaitu jeruk keprok SoE. Dan keunggulan komoditi JKS baru mendapat perhatian secara luas ketika digelar Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Pengembangan Jeruk Keprok SoE (JKS) di Kota SoE, tanggal 2 - 3 Juni 2003 lalu. Seminar ini diikuti oleh 200 peneliti, ahli buah dan pengusaha buah seluruh Indonesia.

Dalam kesempatan perjalanan jurnalistik ke SoE, Kabupaten TTS, tahun 2002 lalu, saya ditemani seorang teman yang bekerja di Divisi Pemasaran Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Ia bertanya kepada saya, kenapa JKS sulit masuk ke pasar buah di Jakarta dan kenapa tidak diekspor ke manca negara. "Kalau pun ada, jumlahnya sangat sedikit. Itu pun cuma didapat di beberapa supermarket di Jakarta dengan harga sangat mahal," ujarnya dengan nada heran.

Menanggapi pertanyaan itu, saya coba menjelaskan bahwa pengembangan produksi hingga distribusi dan pemasaran JKS baru sebatas menggunakan manajemen "Kantong Kresek". Apa maksudnya? Sejak dulu, orang cuma membawa JKS ke Jakarta dan kota lainnya dalam bungkusan kantong kresek (kantong plastik seharga Rp 50/pc) sebagai oleh-oleh ala kadarnya bagi sahabat dan kenalan. Belum pernah ada pengiriman JKS dalam jumlah ton atau dikirim lewat peti kemas dari pelabuhan. Karena JKS hanyalah oleh-oleh dalam kantong kresek, maka ia tidak pernah menarik perhatian. Tidak pernah dikenal lebih luas.

Analogi 'kantong kresek' ini sengaja saya gunakan untuk melukiskan betapa tidak seriusnya petani dan sektor terkait mengembangkan tanaman JKS sebagai komoditi unggulan. Distribusi dan pemasaran pun hanya sebatas konsumsi lokal.

Asumsi ini dibuktikan dengan pengamatan langsung di lapangan. Pertama, para petani di TTS enggan mengembangkan jeruk secara serius. JKS cuma jadi tanaman pelapis (alternatif), di sela-sela tanaman jagung di ladang petani atau cuma diusahakan di pekarangan rumah. Tanaman JKS pun diusahakan secara tradisional alias penggunaan input teknologi yang rendah. Hal ini ditandai dengan penanaman tanpa pemupukan, tanpa pestisida dan tanpa tata pengairan yang bagus.

Kedua, para petani di TTS menyebut JKS sebagai tanaman paling 'manja' dan menuntut perhatian lebih. Selain itu paling sensitif terhadap serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit menyerang dari ujung akar di dalam tanah hingga ujung daun, bunga termasuk buahnya.

Dari penelitian tanaman jeruk keprok sering diserang oleh 12 jenis hama dan 11 jenis penyakit. Rinciannya, hama Kutu Loncat (Diaphorina Citri); Kutu Daun (Toxoptera Citridus Aurantii, Aphis Gossypii); Ulat Peliang Daun (Phyllocnistis Citrella); Tungau (Tenuipalsus sp, Eriophyes Sheldoni Tetranychus sp); Penggerek Buah (Citripestis Sagittiferella.); Kutu Penghisap Daun (Helopeltis Antonii); Ulat Penggerek Bunga dan Puru buah (Prays sp); Thrips (Scirtotfrips Citri); Kutu Dompolon (Planococcus Citri); Lalat buah (Dacus sp); dan Kutu Sisik (Lepidosaphes Beckii Unaspis Citri).

Sedangkan penyakit yang sering menyerang tanaman jeruk keprok, yaitu CVPD, Tristeza, Woody Gall (Vein Enation), Blendok, Embun tepung, Kudis, Busuk buah, Busuk akar dan pangkal batang, buah gugur prematur, jamur Upas, dan kanker yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas Campestris Cv. Citri. Dan dari hasil penelitian, Phytophthora Sp dan Diplodia sp, ditambah virus Sporosis merupakan penyakit terpenting pada tanaman JKS. Dan kematian tanaman akibat penyakit mencapai 13,3 persen.

Ketiga, manajemen pemasaran secara tradisional dengan sistem "borok" alias dikuasai oleh sistem ijon. Jika menggunakan sistem borok, petani atau pemilik tanaman JKS hanya menerima Rp 300.000 per pohon. Jika menjual dengan sistem kiloan, rata-rata petani menerima Rp 362.500 per pohon. Itu berarti sistem ijon telah merugikan petani sebesar Rp 62.500/pohon.
Hingga akhir tahun 2002, populasi JKS di Kabupaten TTS tinggal 813.763 pohon. Namun hanya 311.800 pohon yang masih produktif. Bila dihitung keuntungan setiap kali panen dengan menggunakan asumsi kiloan, maka diperoleh 311.800 pohon x Rp 362.500 = Rp 113.027.500.000 uang yang diraup para petani JKS di Kabupaten TTS. Bandingkan dengan hasil PAD Kabupaten TTS pada tahun yang sama yang cuma sebesar Rp 9 miliar lebih. Jika asumsi sistem ijon (borok) dipakai, maka 311.800 pohon x Rp 62.500 = Rp 19.487.500.000 uang yang hilang dari petani JKS di Kabupaten TTS pada tahun 2002 lalu.

Angka keuntungan dan kerugian ini dihitung di tingkat produsen pada pasar lokal. Belum dihitung jika petani menjual langsung atau mengirim ke Supermarket atau diekspor.

Masih banyak soal yang bisa dicantumkan di sini, tentang mengapa produksi tanaman JKS tidak digarap secara serius alias menggunakan manajemen kantong kresek. Meski demikian, masih ada waktu ke depan untuk dipikirkan bagaimana solusi yang cerdas dan komprehensif untuk mendongkrak produksi tanaman JKS hingga menembus Supermarket di Jakarta bahkan bisa diekspor ke Asia, Eropa, Amerika dan Australia. Dengan demikian pendapatan petani JKS di Kabupaten TTS ikut pula terdongkrak dan masa depannya menjadi lebih cerah.

Mungkin solusi yang harus dipikirkan, diantaranya perlu introduksi teknologi produksi dan teknologi pemasaran dengan dukungan dana yang cukup dari pihak swasta atau koperasi. Berikutnya, melakukan penyuluhan yang didukung bahan-bahan penyuluhan seperti liflet, brosur atau poster. Perlu juga dipikirkan melakukan pengembangan jeruk pada daerah nonendemik dengan agroekosistemnya mirip dengan daerah sentra produksi jeruk.

Sedangkan untuk menghilangkan sistem ijon, mungkin harus menggunakan sistem pemasaran bersama (holding) petani JKS atau melalui koperasi. Pengembangan produksi JKS sebetulnya bukan saja tugas dari Dinas Pertanian dan Perkebunan setempat, tetapi juga dipikirkan formula kerja sama lintas sektoral di ranah pemerintah didukung pihak swasta. Semoga solusi ini memberi pilihan beragam bagi pihak terkait guna meningkatkan produksi JKS di Kabupaten TTS.*

Pos Kupang edisi Sabtu, 15 November 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes