Oleh Adiana Ahmad
KAMBANIRU merupakan salah satu sungai besar di Sumba Timur. Sungai ini merupakan kumpulan dari ratusan anak sungai di kabupaten bagian timur Pulau Sumba itu. Namun hingga tahun 1990-an air dari sungai ini lebih banyak terbuang ke laut. Melihat potensi yang demikian besar, pada tahun 1992, Pemerintah Propinsi NTT di bawah kepemimpinan Gubernur dr. Hendrik Fernandes membangun Bendungan Kambaniru.
Tujuannya sangat mulia, yakni memberdayakan masyarakat di sekitar sungai itu untuk bercocok tanam. Pembangunan Irigasi Kambaniru diikuti dengan pembukaan lahan irigasi di Mauliru, Kawangu dan Kambaniru oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Timur yang saat itu dipimpin Bupati TB Munthe.
Warga setempat sangat antusias menyambut kehadiran irigasi tersebut karena mereka dapat memperluas lahan pertanian. Banyak yang bisa dilakukan untuk kepentingan warga dengan kehadiran irigasi tersebut.
Irigasi Kambaniru bahkan menjadi salah satu irigasi terbesar dan menjadi saluran model di NTT. Tapi itu dulu. Sekarang kemampuan irigasi Kambaniru melemah. Irigasi Kambaniru yang perkiraan awal mampu mengairi lahan seluas 1.440 ha hingga kini baru 1.240 lahan yang dikembangkan. Ini berarti masih ada 200 ha yang belum dimanfaatkan. Dari luas lahan irigasi yang dikembangkan, baru 1.125,25 yang ditanami.
Berarti masih ada 39 ha lahan irigasi yang sudah dikembangkan tetapi tidak ditanami.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura Kabupaten Sumba Timur, Josis Djawa mengatakan, dari 1.125,25 lahan yang dimanfaatkan, 1.045 ha ditanami tanaman padi dan 80,25 tanaman palawija. Itu kondisi normal. Pada musim kemarau seperti sekarang ini luas lahan yang digarap menurun mengikuti turunnya debit air.
Namun bukan hanya itu persoalannya. Ada ancaman yang lebih serius. Menurunnya luas lahan yang digarap karena menebalnya endapan di mulut bendungan dan saluran utama irigasi, terutama saluran-saluran tersier. Endapan itu bahkan menimbulkan bencana bagi petani di Kapuaratu dan Lambanipu. Sampai saat ini sekitar 30 ha lebih lahan pertanian masyarakat di kedua desa itu tidak bisa dimanfaatkan karena tergenang air. Di sisi lain, menebalnya endapan di mulut bendungan Kambaniru dan saluran tersier menghambat pasokan air ke lahan-lahan pertanian seperti di Kawangu dan Mauliru. Masalah genangan di Kapuaratu dan Lambanapu hingga kini belum terpecahkan.
Berbagai upaya sudah dilakukan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, misalnya membangun selokan untuk membuang genangan itu. Namun upaya itu sia-sia, karena selokan yang dibangun tidak mampu mengeluarkan air dari lokasi genangan. Uang yang dikeluarkan untuk membangun selokan itu sudah banyak. Diduga, pembangunan selokan tidak sesuai teknis namun "dimaklumi" saja oleh pemerintah setempat. Kontraktor tidak pernah "diapa-apakan".
Menebalnya endapan di mulut Bendungan Kambaniru mengakibatkan air dari sungai banyak terbuang ke laut dan tidak masuk ke saluran irigasi. Ini masalah bagi petani padi. Namun bagi masyarakat di sekitar bendungan dan sepanjang aliran sungai Kambaniru, menebalnya endapan menjadi berkah. Endapan yang menimbulkan semakin menyempitnya sungai dimanfaatkan untuk menanam berbagai tanaman sayuran dan jagung. Bahkan sekarang masyarakat menanam jagung dan sayuran hingga mendekati mulut bendungan. Padahal pada awal pembangunannya, kata Josis Djawa, kedalaman air di mulut bendungan mencapai 16 meter.
Menebalnya endapan di mulut bendungan dan saluran tersier irigasi Kambaniru, menurut Josis, disebabkan beberapa faktor antara lain tidak berfungsinya P3A, serta semakin maraknya penebangan hutan di daerah hulu. Penebangan hutan di daerah hulu yang tidak terkontrol menyebabkan banjir dan longsor. Longsoran itu kemudian dibawa banjir ke sungai dan menimbulkan endapan.
Dengan kondisi saat ini, katanya, cukup sulit untuk menguras endapan dengan tenaga manusia melainkan harus dengan alat berat. Namun sejauh ini kemampuan alat berat seperti exavator yang dimiliki pemerintah daerah tidak mampu mengeruk endapan dari mulut bendungan dan di saluran tersier.
Dengan tidak berfungsinya petugas pengatur air (P3A), kata Josis, banyak saluran yang tersumbat. Pembentukan P3A sampai saat ini masih menjadi tanggung jawab Dinas Kimpraswil. Karena itu, kata Josis, mulai tahun 2009 pihaknya meminta kepada pemerintah daerah agar pembentukan dan bimbingan terhadap tenaga P3A ditangani Dinas Pertanian dan Tanaman Hortikultura.
Josis mengatakan, masalah P3A termasuk pemeliharaan irigasi akan menjadi prioritas program di dinasnya, tahun depan. Pembinaan tenaga P3A, jelas Josis, akan didanai dengan dana hibah Belanda melalui Program Watter Resources and Irigation Sector Management.
Jika masalah endapan dan P3A tidak segera ditangani maka sepuluh tahun yang akan datang pintu bendungan yang mengalirkan air dari bendungan ke saluran irigasi Kambaniru akan tertutup. Kita tentu tidak mau kalau Bendungan Kambaniru hanya tinggal kenangan.*
Pos Kupang edisi Sabtu, 1 November 2008 halaman 1
KAMBANIRU merupakan salah satu sungai besar di Sumba Timur. Sungai ini merupakan kumpulan dari ratusan anak sungai di kabupaten bagian timur Pulau Sumba itu. Namun hingga tahun 1990-an air dari sungai ini lebih banyak terbuang ke laut. Melihat potensi yang demikian besar, pada tahun 1992, Pemerintah Propinsi NTT di bawah kepemimpinan Gubernur dr. Hendrik Fernandes membangun Bendungan Kambaniru.
Tujuannya sangat mulia, yakni memberdayakan masyarakat di sekitar sungai itu untuk bercocok tanam. Pembangunan Irigasi Kambaniru diikuti dengan pembukaan lahan irigasi di Mauliru, Kawangu dan Kambaniru oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Timur yang saat itu dipimpin Bupati TB Munthe.
Warga setempat sangat antusias menyambut kehadiran irigasi tersebut karena mereka dapat memperluas lahan pertanian. Banyak yang bisa dilakukan untuk kepentingan warga dengan kehadiran irigasi tersebut.
Irigasi Kambaniru bahkan menjadi salah satu irigasi terbesar dan menjadi saluran model di NTT. Tapi itu dulu. Sekarang kemampuan irigasi Kambaniru melemah. Irigasi Kambaniru yang perkiraan awal mampu mengairi lahan seluas 1.440 ha hingga kini baru 1.240 lahan yang dikembangkan. Ini berarti masih ada 200 ha yang belum dimanfaatkan. Dari luas lahan irigasi yang dikembangkan, baru 1.125,25 yang ditanami.
Berarti masih ada 39 ha lahan irigasi yang sudah dikembangkan tetapi tidak ditanami.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura Kabupaten Sumba Timur, Josis Djawa mengatakan, dari 1.125,25 lahan yang dimanfaatkan, 1.045 ha ditanami tanaman padi dan 80,25 tanaman palawija. Itu kondisi normal. Pada musim kemarau seperti sekarang ini luas lahan yang digarap menurun mengikuti turunnya debit air.
Namun bukan hanya itu persoalannya. Ada ancaman yang lebih serius. Menurunnya luas lahan yang digarap karena menebalnya endapan di mulut bendungan dan saluran utama irigasi, terutama saluran-saluran tersier. Endapan itu bahkan menimbulkan bencana bagi petani di Kapuaratu dan Lambanipu. Sampai saat ini sekitar 30 ha lebih lahan pertanian masyarakat di kedua desa itu tidak bisa dimanfaatkan karena tergenang air. Di sisi lain, menebalnya endapan di mulut bendungan Kambaniru dan saluran tersier menghambat pasokan air ke lahan-lahan pertanian seperti di Kawangu dan Mauliru. Masalah genangan di Kapuaratu dan Lambanapu hingga kini belum terpecahkan.
Berbagai upaya sudah dilakukan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, misalnya membangun selokan untuk membuang genangan itu. Namun upaya itu sia-sia, karena selokan yang dibangun tidak mampu mengeluarkan air dari lokasi genangan. Uang yang dikeluarkan untuk membangun selokan itu sudah banyak. Diduga, pembangunan selokan tidak sesuai teknis namun "dimaklumi" saja oleh pemerintah setempat. Kontraktor tidak pernah "diapa-apakan".
Menebalnya endapan di mulut Bendungan Kambaniru mengakibatkan air dari sungai banyak terbuang ke laut dan tidak masuk ke saluran irigasi. Ini masalah bagi petani padi. Namun bagi masyarakat di sekitar bendungan dan sepanjang aliran sungai Kambaniru, menebalnya endapan menjadi berkah. Endapan yang menimbulkan semakin menyempitnya sungai dimanfaatkan untuk menanam berbagai tanaman sayuran dan jagung. Bahkan sekarang masyarakat menanam jagung dan sayuran hingga mendekati mulut bendungan. Padahal pada awal pembangunannya, kata Josis Djawa, kedalaman air di mulut bendungan mencapai 16 meter.
Menebalnya endapan di mulut bendungan dan saluran tersier irigasi Kambaniru, menurut Josis, disebabkan beberapa faktor antara lain tidak berfungsinya P3A, serta semakin maraknya penebangan hutan di daerah hulu. Penebangan hutan di daerah hulu yang tidak terkontrol menyebabkan banjir dan longsor. Longsoran itu kemudian dibawa banjir ke sungai dan menimbulkan endapan.
Dengan kondisi saat ini, katanya, cukup sulit untuk menguras endapan dengan tenaga manusia melainkan harus dengan alat berat. Namun sejauh ini kemampuan alat berat seperti exavator yang dimiliki pemerintah daerah tidak mampu mengeruk endapan dari mulut bendungan dan di saluran tersier.
Dengan tidak berfungsinya petugas pengatur air (P3A), kata Josis, banyak saluran yang tersumbat. Pembentukan P3A sampai saat ini masih menjadi tanggung jawab Dinas Kimpraswil. Karena itu, kata Josis, mulai tahun 2009 pihaknya meminta kepada pemerintah daerah agar pembentukan dan bimbingan terhadap tenaga P3A ditangani Dinas Pertanian dan Tanaman Hortikultura.
Josis mengatakan, masalah P3A termasuk pemeliharaan irigasi akan menjadi prioritas program di dinasnya, tahun depan. Pembinaan tenaga P3A, jelas Josis, akan didanai dengan dana hibah Belanda melalui Program Watter Resources and Irigation Sector Management.
Jika masalah endapan dan P3A tidak segera ditangani maka sepuluh tahun yang akan datang pintu bendungan yang mengalirkan air dari bendungan ke saluran irigasi Kambaniru akan tertutup. Kita tentu tidak mau kalau Bendungan Kambaniru hanya tinggal kenangan.*
Pos Kupang edisi Sabtu, 1 November 2008 halaman 1