Oleh Agus Sape
CUKUP lama saya diledek teman-teman sekolah gara-gara kampungku ini. Kampungku dianggap kolot dan tidak berkembang, karena hanya terdiri dari tujuh rumah dan dikelilingi batu-batu. Sakit rasanya diledek seperti itu. Tetapi, ketika belajar di perguruan tinggi, saya berani membalikkan anggapan-anggapan jelek itu. Kepada teman- teman saya memproklamirkan bahwa sesungguhnya kampungku itu polis -- sama seperti polis Athena, Sparta, dan seterusnya di Yunani, dari mana lahir para filsuf, pemikir hebat. Socrates, Aristoteles, dan sebagainya.
Dengan gaya agak joak, sekali lagi saya memproklamirkan kepada teman-teman bahwa kampungku itu juga sudah melahirkan filsuf. Sekurang-kurangnya saya sendiri. Teman- temanku yang biasa meledek kampungku ini pada bengong.
Kampungku ini namanya Cumpe. Masuk dalam wilayah Desa Golo, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Kalau Anda berangkat dari Pagal, ibukota Kecamatan Cibal, ke timur menuju pusat paroki Rii di Beamese, maka kampung pertama yang Anda lewati adalah Cumpe. Jaraknya tidak sampai 5 km dari Pagal.
Kampungku itu memang kecil saja. Terletak di lereng. Sampai dengan tahun 1980-an, ketika saya masih sekolah di SDK Golo, kampung ini hanya terdiri dari tujuh buah rumah. Rumah-rumah itu dibangun mengelilingi halaman (natas) kampung.
Halaman kampung ini berfondasikan batu cadas. Supaya rata dan bertambah luas, batu-batu disusun rapi (kota) di sisi utara dan selatan halaman. Di bagian barat (paang), dekat kaki lereng, terdapat batu-batu besar yang memagari sekaligus memisahkan halaman kampung dari jalan umum. Sedangkan di bagian timur (ngaung), terdapat sejumlah batu raksasa. Kampung ini memang dikelilingi batu-batu raksasa. Kalau dihitung dari dasar, ada yang tingginya mencapai puluhan meter. Gamang kalau belum biasa.
Batu-batu itu berfungsi sebagai benteng dan penopang bagi penghuni kampung. Salah satu batu dengan ketinggian belasan meter memiliki permukaan rata. Luasnya bisa mencapai tiga kali luas lapangan tenis. Tapi, bagian lainnya yang menghadap ke halaman (natas) agak landai. Di bagian ini orang bisa turun naik dengan leluasa.
Saya berani mengklaim batu ini sebagai salah satu keajaiban dunia. Bagaimana tidak, di salah satu sisi permukaan batu itu berdiri kokoh sebuah rumah papan (mbaru pesek). Ketika saya lahir pada akhir 1960-an, rumah itu sudah ada. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu lokal diletakkan saja di atas permukaan batu. Belum pernah rumah itu goyah dihantam angin.
Bagian terbesar dari permukaan batu itu dijadikan halaman. Dari halaman itu warga bisa memandang jauh ke berbagai arah. Kalau cuaca cerah, permukaan laut di pantai utara (Reo) bisa dilihat dari batu ini. Deretan bukit yang membanjar dari utara ke selatan di wilayah Lambaleda dan Elar bisa dilihat dengan jelas.
Sempai dengan usia SD, saya dan teman-teman bermain dan berlari-lari di atas batu itu. Kami tidak takut jatuh.
Saya ingat dua anak pernah jatuh ke jurang batu itu. Tapi, aneh bin ajaib, tidak jatuh sampai di tanah. Yang satu tertahan pada tumbuhan yang menempel di jurang batu. Satu lagi tertahan pada seutas tali yang sangat rapuh. Keduanya berhasil diselamatkan tanpa cedera dan masih hidup sampai sekarang.
Pagi-pagi, sebelum cahaya matahari mencapai bumi, bolanya yang muncul dari balik bukit di wilayah Elar langsung bisa dilihat dari atas batu ini. Maka, saya pun sering menyebut kawasan kampung ini dan sekitarnya sebagai "negeri matahari".
Warga setempat biasa menjemur padi dan kopi langsung di atas permukaan batu itu. Kalau cuaca cerah, dalam tempo dua hari saja kopi sudah kering.
Kampung ini diselimuti pohon-pohon kopi, kemiri dan pohon buah-buahan lainnya. Di bagian yang lebih rendah dari lereng kampung ini terdapat hamparan sawah. Sawah-sawah itu mendapat air dari sejumlah kali yang menuruni lereng. Ada kali Wae Keseng, Wae Nampar dan Wae Munta. Sejumlah kali itu bermuara di Wae Kebong, kali paling besar. Di Wae Kebong warga membangun bendung dan membuka dam untuk mengalirkan air ke sawah.
Sebelum menanam padi pada musim hujan, petak-petak sawah ditanami dengan jagung. Padi ditanam setelah memanen jagung.
Saya tidak mengklaim tanah di kampungku ini subur. Yang pasti warga di kampung ini bisa memenuhi sendiri kebutuhan makan minumnya sepanjang tahun. Mereka punya padi, jagung, ubi- ubian, dan sayur-sayuran di kebun. Bahkan mereka bisa menjualnya pada hari pasar di Pagal. Mereka punya kopi, kemiri, jeruk, pisang dan sebagainya.
Tetapi pada tahun 2007, pada saat jatuh korban tanah longsor di Gapong dan Golo Gega, warga kampungku turut mengungsi ke Pagal. Tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebagai anak kampung, saya sedih mendengar warga kampungku lari terbirit-birit takut tertindis tanah longsor.
Memang kampungku sekarang sudah banyak berubah. Kampungku yang dulu gerbangnya dipagari batu-batu besar sudah disingkirkan semuanya untuk membuka jalan raya dari Pagal menuju Beamese. Jalan itu dirintis sejak akhir 1980-an dan sekarang sudah diaspal. Sejak jalan raya dibuka, perlahan- lahan warga keluar dari kampung itu, membangun rumah di pinggir-pinggir jalan raya.
Tetapi yang terancam ditindis longsor pada tahun 2007 itu justru rumah-rumah yang dibangun di tepi jalan raya. Bahkan pada awal tahun 2008 ini, sebuah rumah dan mesin giling tertindis batu yang runtuh dari tebing jalan.
Saya pun sadar, ternyata para pendiri kampungku tidak bodoh. Bahkan mereka boleh disebut pemikir. Ternyata kampungku kecil bukan karena tidak berkembang, tetapi memang bagian yang cocok untuk pemukiman hanya seluas itu. Dulu mereka tidak pernah membangun rumah langsung di kaki lereng atau di sepanjang jalan. Saya pastikan batu-batu yang pernah diletakkan di gerbang kampung justru untuk membendung batu yang mungkin terguling dari atas lereng bukit.
Untuk menampung perkembangan penduduk pada waktu itu, dibangunlah kampung Mawe disusul Wune, dua atau tiga kilometer dari kampung ini. Bukti bahwa warga di dua kampung itu berasal dari kampungku ini, dalam urusan adat dan pemerintahan mereka masih bersama-sama. Kebun mereka juga di lokasi yang sama. (email:asape_2005@yahoo.co.id)
Pos Kupang edisi Sabtu, 15 November 2008 halaman 10
CUKUP lama saya diledek teman-teman sekolah gara-gara kampungku ini. Kampungku dianggap kolot dan tidak berkembang, karena hanya terdiri dari tujuh rumah dan dikelilingi batu-batu. Sakit rasanya diledek seperti itu. Tetapi, ketika belajar di perguruan tinggi, saya berani membalikkan anggapan-anggapan jelek itu. Kepada teman- teman saya memproklamirkan bahwa sesungguhnya kampungku itu polis -- sama seperti polis Athena, Sparta, dan seterusnya di Yunani, dari mana lahir para filsuf, pemikir hebat. Socrates, Aristoteles, dan sebagainya.
Dengan gaya agak joak, sekali lagi saya memproklamirkan kepada teman-teman bahwa kampungku itu juga sudah melahirkan filsuf. Sekurang-kurangnya saya sendiri. Teman- temanku yang biasa meledek kampungku ini pada bengong.
Kampungku ini namanya Cumpe. Masuk dalam wilayah Desa Golo, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Kalau Anda berangkat dari Pagal, ibukota Kecamatan Cibal, ke timur menuju pusat paroki Rii di Beamese, maka kampung pertama yang Anda lewati adalah Cumpe. Jaraknya tidak sampai 5 km dari Pagal.
Kampungku itu memang kecil saja. Terletak di lereng. Sampai dengan tahun 1980-an, ketika saya masih sekolah di SDK Golo, kampung ini hanya terdiri dari tujuh buah rumah. Rumah-rumah itu dibangun mengelilingi halaman (natas) kampung.
Halaman kampung ini berfondasikan batu cadas. Supaya rata dan bertambah luas, batu-batu disusun rapi (kota) di sisi utara dan selatan halaman. Di bagian barat (paang), dekat kaki lereng, terdapat batu-batu besar yang memagari sekaligus memisahkan halaman kampung dari jalan umum. Sedangkan di bagian timur (ngaung), terdapat sejumlah batu raksasa. Kampung ini memang dikelilingi batu-batu raksasa. Kalau dihitung dari dasar, ada yang tingginya mencapai puluhan meter. Gamang kalau belum biasa.
Batu-batu itu berfungsi sebagai benteng dan penopang bagi penghuni kampung. Salah satu batu dengan ketinggian belasan meter memiliki permukaan rata. Luasnya bisa mencapai tiga kali luas lapangan tenis. Tapi, bagian lainnya yang menghadap ke halaman (natas) agak landai. Di bagian ini orang bisa turun naik dengan leluasa.
Saya berani mengklaim batu ini sebagai salah satu keajaiban dunia. Bagaimana tidak, di salah satu sisi permukaan batu itu berdiri kokoh sebuah rumah papan (mbaru pesek). Ketika saya lahir pada akhir 1960-an, rumah itu sudah ada. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu lokal diletakkan saja di atas permukaan batu. Belum pernah rumah itu goyah dihantam angin.
Bagian terbesar dari permukaan batu itu dijadikan halaman. Dari halaman itu warga bisa memandang jauh ke berbagai arah. Kalau cuaca cerah, permukaan laut di pantai utara (Reo) bisa dilihat dari batu ini. Deretan bukit yang membanjar dari utara ke selatan di wilayah Lambaleda dan Elar bisa dilihat dengan jelas.
Sempai dengan usia SD, saya dan teman-teman bermain dan berlari-lari di atas batu itu. Kami tidak takut jatuh.
Saya ingat dua anak pernah jatuh ke jurang batu itu. Tapi, aneh bin ajaib, tidak jatuh sampai di tanah. Yang satu tertahan pada tumbuhan yang menempel di jurang batu. Satu lagi tertahan pada seutas tali yang sangat rapuh. Keduanya berhasil diselamatkan tanpa cedera dan masih hidup sampai sekarang.
Pagi-pagi, sebelum cahaya matahari mencapai bumi, bolanya yang muncul dari balik bukit di wilayah Elar langsung bisa dilihat dari atas batu ini. Maka, saya pun sering menyebut kawasan kampung ini dan sekitarnya sebagai "negeri matahari".
Warga setempat biasa menjemur padi dan kopi langsung di atas permukaan batu itu. Kalau cuaca cerah, dalam tempo dua hari saja kopi sudah kering.
Kampung ini diselimuti pohon-pohon kopi, kemiri dan pohon buah-buahan lainnya. Di bagian yang lebih rendah dari lereng kampung ini terdapat hamparan sawah. Sawah-sawah itu mendapat air dari sejumlah kali yang menuruni lereng. Ada kali Wae Keseng, Wae Nampar dan Wae Munta. Sejumlah kali itu bermuara di Wae Kebong, kali paling besar. Di Wae Kebong warga membangun bendung dan membuka dam untuk mengalirkan air ke sawah.
Sebelum menanam padi pada musim hujan, petak-petak sawah ditanami dengan jagung. Padi ditanam setelah memanen jagung.
Saya tidak mengklaim tanah di kampungku ini subur. Yang pasti warga di kampung ini bisa memenuhi sendiri kebutuhan makan minumnya sepanjang tahun. Mereka punya padi, jagung, ubi- ubian, dan sayur-sayuran di kebun. Bahkan mereka bisa menjualnya pada hari pasar di Pagal. Mereka punya kopi, kemiri, jeruk, pisang dan sebagainya.
Tetapi pada tahun 2007, pada saat jatuh korban tanah longsor di Gapong dan Golo Gega, warga kampungku turut mengungsi ke Pagal. Tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebagai anak kampung, saya sedih mendengar warga kampungku lari terbirit-birit takut tertindis tanah longsor.
Memang kampungku sekarang sudah banyak berubah. Kampungku yang dulu gerbangnya dipagari batu-batu besar sudah disingkirkan semuanya untuk membuka jalan raya dari Pagal menuju Beamese. Jalan itu dirintis sejak akhir 1980-an dan sekarang sudah diaspal. Sejak jalan raya dibuka, perlahan- lahan warga keluar dari kampung itu, membangun rumah di pinggir-pinggir jalan raya.
Tetapi yang terancam ditindis longsor pada tahun 2007 itu justru rumah-rumah yang dibangun di tepi jalan raya. Bahkan pada awal tahun 2008 ini, sebuah rumah dan mesin giling tertindis batu yang runtuh dari tebing jalan.
Saya pun sadar, ternyata para pendiri kampungku tidak bodoh. Bahkan mereka boleh disebut pemikir. Ternyata kampungku kecil bukan karena tidak berkembang, tetapi memang bagian yang cocok untuk pemukiman hanya seluas itu. Dulu mereka tidak pernah membangun rumah langsung di kaki lereng atau di sepanjang jalan. Saya pastikan batu-batu yang pernah diletakkan di gerbang kampung justru untuk membendung batu yang mungkin terguling dari atas lereng bukit.
Untuk menampung perkembangan penduduk pada waktu itu, dibangunlah kampung Mawe disusul Wune, dua atau tiga kilometer dari kampung ini. Bukti bahwa warga di dua kampung itu berasal dari kampungku ini, dalam urusan adat dan pemerintahan mereka masih bersama-sama. Kebun mereka juga di lokasi yang sama. (email:asape_2005@yahoo.co.id)
Pos Kupang edisi Sabtu, 15 November 2008 halaman 10