Capello Menangis Otto Terpental

Fabio Capello (afp)
 PEKAN ini, setidaknya ada tiga peristiwa di Eropa yang seluruhnya berkaitan dengan sepakbola. Peristiwa itu pun amat besar bobotnya, karena berada pada detik-detik akhir kompetisi liga tahun 1995/1996 dan melanda klub-klub raksasa.
   
Kisah pertama, yang sangat tragis ialah terdepaknya Otto Rehhagel dari singgasananya sebagai Pelatih Bayern Muenchen-Jerman. Otto dipecat Presiden klub Bayern, Kaisar Franz Beckenbauer, hanya sehari setelah Bayern dicukur Hansa Rostock 1-0, Minggu (28/4/1996) dalam lanjutan kompetisi Bundesliga.

    Memang, sungguh mengenaskan nasib Otto karena ia ditendang justru pada saat-saat genting ketika Bayern sedang berusaha merebut juara liga musim ini sekaligus Piala UEFA untuk pertama kalinya dalam sejarah klub itu. Pemecatan Otto oleh Beckenbauer cukup mengejutkan publik Jerman.

    Mereka hampir tak percaya, Beckenbauer mengambil langkah seberani itu. Di mata bangsa Jerman, sang Kaisar dikenal penuh kebapaan, bijaksana dan humanis. Sejauh ini hubungannya dengan Otto Rehhagel, rekan seangkatannya ketika membela Jerman pada era 1970-an cukup baik.

    Belakangan meski masih samar, sikap Beckenbauer itu diambil lantaran Otto kurang memberi perhatian ekstra terhadap latihan pemain dan jadwal pertandingan Bayern. Menurut Kaisar, disiplin pemain Bayern sangat parah, sehingga mereka terus menelan kekalahan justru pada saat perebutan gelar Bundesliga yang kian ketat dengan juara bertahan Borussia Dortmund.

    Kaisar akhirnya langsung mengambilalih kursi pelatih hingga akhir kompetisi. Tangan dinginnya kembali terbukti ketika Bayern secara menyakinkan menang 2-0 atas Bordeaux Perancis pada babak final pertama Piala UEFA, Kamis dini hari Wita (2/5/1996).

    Kaisar juga cukup yakin, Bayern Muenchen bakal merenggut Piala UEFA tahun ini meskipun Juergen Klinsmann dkk masih harus bertandang ke Bordeaux 15 Mei 1996. "Sebuah tim, hanya bisa dibangun kalau para pemainnya disiplin," kata Beckenbauer. Karena disiplin pula, Otto harus terpental dari singgasana Muenchen. Untuk disiplin, Kaisar memang sulit diajak kompromi.

***

    FABIO Capello dan Louis van Gaal menangis! Itulah kisah lain dari bumi Eropa pekan ini. Hampir dalam saat yang bersamaan, Fabio Capello menangis sesenggukan di pinggir lapangan Stadion San Siro Milan, Minggu (28/4/1996). Di Stadion De Meer Amsterdam, Louis van Gaal tak mampu membendung air mata setelah Ajax mengalahkan Willem II Tilburg 5-1.

    Capello menangis di tengah lautan pesta tifosi-tifosi fanatik Kota Milano, setelah AC Milan memukul Florentina 3-1. Kemenangan itu sungguh berkesan, karena Milan memastikan diri merebut juara Liga Italia Seri A 1995/1996. Meskipun Liga Italia masih bergulir satu pekan, Capello akhirnya berhasil juga membawa Milan merebut jaura liga ke-15 kalinya.

    Inilah persembahan terbaik dari Capello bagi publik Milan yang amat mengaguminya. Di tangan Capello selama lima tahun terakhir, AC Milan juara liga empat kali. Ini belum termasuk juara Piala Champions, Piala Toyota dan Piala Liga. Capello memang luar biasa. Pelatih berwajah keras itu, telah membuat senyum Presiden AC Milan, Silvio Berlusconi semakin cerah di atas langit negeri spaghetti.

    Tangisan Capello Minggu malam itu semakin berarti karena tiga hari kemudian ia memastikan sikap meninggalkan AC Milan. Capello pada musim kompetisi 1996/1997 akan menangani klub raksasa Spanyol, Real Madrid. Setelah melalui perundingan alot dengan Berlusconi dan Ketua Real Madrid, Lorenzo Sanz, Capello hijrah ke Spanyol selama empat tahun dengan kontrak senilai Rp 24 miliar. Dibanding Otto, langkah Capello sungguh manis. Ia meninggalkan Milan dengan kejayaan, dengan prestasi monumental!

    Di Amsterdam, tangisan Louis van Gaal hampir sama musababnya dengan air mata Capello di San Siro, Milan. Van Gaal menangis karena untuk ketiga kalinya secara berturut-turut ia mampu membawa Ajax ke puncak juara Liga Belanda atau gelar ke-26 yang diraih Ajax.

    Sehari kemudian, warga Amsterdam melakukan pesta rakyat di Stadion De Meer. Nama Van Gaal pun membumbung tinggi di bumi kincir angin. Van Gaal pewaris total football serta pencetak pemain muda berbakat itu menangis - karena ia tak mampu menahan haru atas sambutan masyarakat yang larut dalam kebahagiaan.

    Sambutan itu tentunya bukan basa-basi, karena Van Gaal sudah memahatkan Ajax sebagai juara dunia sejati 1995 dengan merenggut Piala Champions, Piala Toyota dan Piala Super Eropa. Tahun ini pun Van Gaal sudah berhasil membawa Ajax sampai ke final Piala Champions melawan Juventus Italia di Roma 22 Mei mendatang.

    Tinggal selangkah lagi  Van Gaal bakal mempertahankan gelar, sekaligus memulai masa emas Ajax di Piala Champions Eropa seperti yang tercipta pada era emas  Johan Cruyff 1971-1973. Untuk Van Gaal dan Capello, tuan berdua memang hebat dan layak mendapatkan bintang. Sayang sekali Otto, ente mesti memikul duka. Mau bilang apa, inilah sepakbola! **


Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra,
juga Pos Kupang edisi Sabtu, 4 Mei 1996. Artikel ini dibuat menanggapi perkembangan hasil kompetisi liga di sejumlah negara Eropa yang merupakan pusat kekuatan sepakbola dunia.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes