KETIKA koran ini berada di tangan Anda, empat pertandingan akhir masing-masing di grup E dan F sudah selesai dan mungkin Anda telah mengetahui hasilnya. Catatan ini saya buat berdasarkan hasil pertandingan sampai partai ke-40 antara Nigeria vs Paraguay, Kamis dini hari Wita (25/6/1998).
Setelah bergulir selama 16 hari, peta kekuatan tim-tim finalis Piala Dunia 1998 mulai menampakkan taring. Spanyol mempertebal mitosnya sebagai “tim yang selalu sial” di arena World Cup. Unggulan grup D berdasarkan keputusan FIFA ini justru membalikkan ramalan banyak pakar bola sebelum hari H France 98 yang menjagokannya sebagai salah satu favorit juara. Meski menang telak 6-1 atas Bulgaria, semifinalis Piala Dunia 1994, kemenangan tim matador asuhan Javier Clemente itu sia-sia belaka.
Nigeria tak mungkin disalahkan jika terkesan bermain dengan setengah hati melawan Paraguay yang unggul 3-1 di Tolouse pada waktu bersamaan. Sebab perjuangan Jose Luis Chilavert dkk sudah maksimal. Memang, kisah sukses Paraguay akan lebih berarti bila Nigeria turun full team dan bertarung sebaik saat menghadapi Spanyol dan Bulgaria. Tetapi sepakbola tidak sekadar adu teknik, tetapi juga adu strategi. Keputusan Pelatih Nigeria, Bora Milutinovic hendaknya dimengerti dalam konteks ini. Dan dunia tahu Bora ahli strategi.
Sampai partai ke-40 itu, tim-tim Amerika Latin memperlihatkan dominasi yang tak tertandingi. Dari lima wakilnya, empat tim telah memastikan diri lolos ke perdelapanfinal yakni Brasil, Chili, Argentina dan Paraguay. Bukan mustahil Kolombia akan melengkapi kejayaan Amerika Selatan jika mereka menang atas Inggris dalam perang mati hidup di Lens, Sabtu dinihari Wita (27/6/1998). Inggris tentunya tak mau kalah begitu saja, sehingga duel ini layak disaksikan lewat layar SCTV mulai pukul 03.00 Wita nanti.
Dari zona Afrika, hasil seri antara Afrika Selatan vs Arab Saudi 2-2 menjadikan Nigeria sebagai satu-satunya tim Afrika yang maju ke putaran kedua dari lima wakil benua hitam itu. Sebelumnya Maroko, Kamerun dan Tunisia telah masuk kotak. Nigeria yang akan menghadapi Denmark, runner-up grup C, diprediksikan mampu menembus perempatfinal sama seperti prestasi Kamerun tahun 1990. Kalau tim Bora konsisten, hal itu bisa terjadi karena tim “Dinamit 1998” ini sudah tidak sebagus ketika Denmark menjuarai Piala Eropa 1992.
Nasib paling sial tetaplah Asia. Benua yang mengutus empat wakilnya ke France 98, sampai tulisan ini naik cetak pukul 24.00 Wita semalam, tinggal menumpahkan harapan terakhir pada Iran dengan syarat anak-anak dari negeri “Seribu Satu Malam” ini dapat mengalahkan Jerman. Arab Saudi yang diharapkan mengulang sukses USA 1994 dengan lolos ke 16 besar, justru tampil buruk dan diwarnai skandal pemecatan pelatih asal Brasil, Carlos Alberto Parreira. Korea Selatan dan Jepang yang bakal jadi tuan rumah bersama World Cup 2002 tidak lebih dari sekadar penggembira. Dalam banyak sisi, sepakbola Asia masih jauh tertinggal meskipun sepakbola sudah menjadi produk budaya masyarakat global.
Dari kawasan Amerika Tengah & Utara (Concacaf) yang mendapat jatah tiga finalis, sejauh ini cuma Meksiko yang bermain baik. Tim “Reggae Boys” Jamaika tak lebih dari pelengkap penderita. Dan Amerikat Serika (AS) menurun drastis jika dibanding USA 1994. Di rumah sendiri empat tahun lalu, tim AS memukau dunia dengan lolos sampai ke perdelapan final sebelum ditaklukkan Brasil yang akhirnya merebut juara dengan skor tipis 1-0. Kegagalan tahun ini menjadi kecemasan terhadap masa depan sepakbola di negeri Paman Sam yang lebih menomorsatukan cabang bolabasket, tenis dan tinju tersebut.
Benua tertua Eropa yang mendapat jatah terbesar dengan 15 finalis tergolong gonjang-ganjing nasibnya. Kejatuhan negara-negara dengan tradisi bola yang telah mengakar seperti Spanyol, Bulgaria, Austria dan Skotlandia mencerminkan bahwa kemajuan pesat justru sedang berlangsung di belahan benua lain. Masih untung ada Italia, Perancis, dan Kroasia yang menunjukkan kualitas permainan amat baik. Jerman, juara Eropa 1996, tidak istimewa. Tim “Panser” yang tetap mengandalkan wajah-wajah lama melahirkan kecemasan akan terulangnya kegagalan mereka di perempatfinal USA 1994.
Inggris tampil asal-asalan. Belanda baru saja menemukan lagi bentuk permainaan asli dalam semangat total football. Kini, dikepung empat pendekar Latin dan satu singa Afrika, Eropa bakal menemui kesulitan. Masih segar dalam ingatan kita, ketika tujuh tim Eropa mengepung Samba sejak di babak perempatfinal Piala Dunia AS 1994, mereka ternyata tidak berdaya. Samba terus tergoyang ria dan naik ke puncak terhormat. Sangat mungkin “Tahta Latin” akan mengulang sukses serupa di Piala Dunia 1998. *
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Jumat, 26 Juni 1998. Artikel ini dibuat menjelang berakhirnya babak penyisihan grup Piala Dunia 1998 di Perancis. Tim-tim asal Amerika Latin tampil lebih dominan.