ilustrasi |
Duel PSN Ngada vs Perse Ende di Stadion Marilonga, Selasa (7/12/1999), sungguh meremas jantung para suporter sejak Wasit Umar Wongso melakukan kick off hingga duel 2x45 itu berakhir. Hasil 3-2 adalah gambaran nyata betapa ketatnya pertandingan antara kedua tim ini. PSN kemarin bukan PSN yang kalah 0-2 dari Perse dalam partai tak menentukan, Minggu (5/12/1999) lalu. Pada partai grandfinal yang disaksikan sedikitnya 30.000 penonton itu, PSN memperlihatkan jiwa, menunjukkan roh dan mempertontonkan jatidiri sesungguhnya.
Sayang, hasil akhir adalah gagal mempertahankan gelar. Apa mau dikata, karena dengan jiwa seorang olahragawan harus diakui bahwa tim tuan rumah memang lebih baik, lebih unggul, lebih beruntung dan musim ini! Musim semi rupanya lebih memilih tanah kerontang Ende, ketimbang alam tambun Ngada. El Tari rupanya merasa enjoy mendiami kota yang pernah dihuni "Bapak Bangsa" Indonesia, Bung Karno di ujung abad ke-20 hingga memasuki milenium baru.
Jika ada pertanyaan, mengapa Perse menang, maka jawabannya sederhana berbunyi demikian: Selama 2x45 menit itu keterampilan individu maupun kerjasama tim Perse lebih baik ketimbang PSN. Meskipun pemainnya sama-sama letih karena bertanding empat hari berturut-turut, Perse lebih piawai menjaga harmonisasi dan mengatur irama permainannya.
Selama babak pertama, kerja sama antar lini tim asuhan trio pelatih Djafar Eddy, Heron Goa dan Emil Sadipun itu sangat rapi. Blok vital lapangan tengah dikuasai dengan baik di bawah kendali Yosef Bebo yang bermain cemerlang. Yosef Bebo kemarin bergerak sangat leluasa, karena perhatian pemain PSN pada babak pertama lebih difokuskan untuk menghadang trisula maut Perse, Lody Mitan, Vevi Kumanireng dan Alit Santika. Kondisi itu makin berat karena jenderal lapangan tengah PSN, Johni Dopo pun sulit bergerak bebas karena dikepung Jet Alhabsi, Frits Peka, Muhamad Paijan maupun Relis Mau. Dengan mematikan Johni, Perse mengambil peluang terus menekan dan hasilnya diperoleh pada menit ke-9 tatkala Yosef Bebo yang mengambil free kick menjebol gawang Imu Kadu hasil tembakan dari jarak sekitar 25 meter.
Gol cepat ini membuat mental bertanding PSN down. Organisasi permainan dengan pola 4-4-2 tampak kacau, bahkan tim juara bertahan ini sedikit terpancaing untuk bermain keras. Perse justru cerdik memanfaatkan suasana psikologis lawan yang sedang down itu dengan melakukan serangan beruntun dan pada menit ke-29, gawang Imu Kadu kembali terkoyak hasil tembakan Lody Mitan. Gol itu terjadi karena perhatian pilar belakang PSN, Eman Watu, Renny Pati maupun libero Marsel Woto terlalu dominan kepada Vevi dan Alit, sehingga Lody yang menyusup dari lini kedua, gagal dihadang.
Tetapi babak kedua merupakan milik PSN. Seperti pernah saya katakan bahwa karakter PSN adalah tim bermental juara yang lambat panas dan selalu sanggup keluar d dari situasi krisis mahaberat. Hanya tim bermental baja sekelas PSN yang bisa menanggung beban berat - dalam ketinggalan dua gol - tetapi bisa membobol gawang tim tuan rumah yang diuntungkan oleh dukungan penontonnya. Gol Ronda Rato pada menit ke-65 adalah bukti kekokohan mental PSN. Sayangnya, setelah gol itu PSN agak kendor sehingga kecolongan lagi menit ke-80 hasil serangan balik Perse dan melonggarnya pengawalan terhadap Alit Santika.
Gol Johni Dopo hasil tembakan langsung dari sepak pojok untuk mengubah skor 2-3 pantas disebut sebagai datang terlambat, karena sisa pertandingan tinggal enam menit. Pada saat itu sesungguhnya napas tim Perse nyaris habis dan para pendukungnya mulai resah dan gemas, mulai takut juara bertahan bisa menyamakan kedudukan. Bola-bola liar yang dihalau begitu saja oleh Muhamad Adha, Rahman Toro, Yosef Bebo menjelang berakhirnya pertandingan itu mengekspresikan batin tim Perse yang galau. Seandainya PSN dapat menyamakan kedudukan 3-3 dan pertandingan harus diperpanjang 2x15 menit dan adu penalti, saya prediksikan peluang juara bakal memihak Johni Dopo, dkk.
Untunglah, dalam kegalauan hatinya itu, tim tuan rumah sukses mempertahankan keunggulan 3-2 dan merebut juara untuk pertama kalinya sepanjang keikutsertaan mereka dalam turnamen El Tari Memorial Cup sejak 1969. Setelah menjadi satu-satunya tim dari 12 peserta El Tari Memorial Cup '99 yang tak terkalahkan maupun bermain seri sejak babak penyisihan, setelah bermain tujuh kali dengan masa istirahat yang begitu minim, setelah merumput berturut-turut selama 630 menit dengan hasil sempurna, rasanya pantas bila Perse menjadi the best.
Keterlaluan bila kita tidak mengangkat topi untuk perjuangan anak-anak Marilonga. Keterlaluan bila Anda enggan memuji putra-putri Baranuri. Proficiat eja! **
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Rabu, 8 Desember 1999. Artikel ini dibuat setelah Perse Ende keluar sebagai juara El Tari Memorial Cup 1999. Di babak final Perse mengalahkan juara bertahan PSN Ngada 3-2.