PRESTASI sepakbola suatu negara, pertama-tama diukur dari kualitas kompetisi liga profesioanlnya. Kompetisi liga bermutu akan melahirkan tim nasional tangguh. Itulah rumusan yang diterima umum dan terbukti betul dalam praksis pembangunan sepakbola modern. Sayang sekali, dalil itu seolah tidak berlaku bagi tim Spanyol 1998. Liga Spanyol yang dalam dua musim terakhir mutunya menyamai Seri A Italia - ditandai hadirnya pemain bintang dari seluruh dunia - ternyata tidak tercermin dalam kiprah tim Matador yang begitu lekas angkat koper dari kota romantis, Paris.
Real Madrid menjuarai Liga Champions Eropa 1998 dengan memukul Juventus di grandfinal Mei silam. Tetapi semua orang tahu sukses Madrid antara lain berkat kepiawaian Mijatovic, anak manusia yang dalam tubuhnya tak setetes pun mengalir darah matador, pembantai banteng ganas, simbol kejantanan laki-laki Spanyol. Kiper sekaligus kapten legam, Peter Rufai (Deportivo Coruna), Finidi George (Real Betis), Mutiu Adepoju (Real Sociedad) adalah anak miskin Nigeria yang mencari sesuap nasi di bumi Spanyol. Saat pulang membela kehormatan bangsanya di France 98, Rufai dkk justru menggunakan ilmu matador untuk melawan Spanyol.
Tanggal 13 Juni 1998, ilmu Rufai benar mujarab. Spanyol keok 2-3 di Stadion La Beaujoire, Nantes. Tujuh hari kemudian di St. Etienne, duet Paraguay yang lebih dari empat musim bermukim di Spanyol, Miguel Benitez (Espanyol) dan Roberto Acuna (Real Zaragoza) mengikuti jejak emas Rufai dkk. Paraguay menahan Zubizarreta cs 0-0.
Pelatih Javier Clemente menitikkan air mata karena Spanyol gagal ke 16 besar meski sempat menang 6-1 atas Bulgaria, tim karatan yang telah kehabisan napas. Itulah kisah tragis tentang "murid mengalahkan gurunya" di medan perang. Meski prinsip guru yang bijak seyogianya bangga jika muridnya lebih pandai dari dirinya, tapi riwayat Elang Nigeria membantai matador meninggalkan sakit tak tertanggungkan di hati Raul Gonzalez dkk.
***
MALAM ini, Jumat (3/7/1998) di St. Dennis, anak Perancis yang bertahun-tahun mencuri ilmu bumi di Asia Kecil, pasti memakai ilmunya itu untuk menghadapi tim Italia di perempatfinal France 98 (ANteve pukul 22.30 Wita). Di negeri Pizza tujuh murid yang masuk skuad Perancis 1998 adalah pemain jenius yang kerap melambungkan nama maha gurunya, Italia; dalam pertarungan sepakbola global. Ada Marcel Desailly (AC Milan), Youri Djorkaeff (Inter Milan), Lilian Thuram (Parma), Didier Deschamps, Zinedine Zidane (Juventus), Alain Boghossian (Sampdoria) dan Vincent Candela (AS Roma).
Merumput di Italia adalah impian setiap pemain bola profesional. Sejak kasus Bosmann yang menggugurkan pembatasan pemain asing bermain di satu klub, Serie A (juga liga negara Eropa lainnya) berubah menjadi surga para bintang mancanegara sekaligus menyingkirkan kesempatan bagi pemain lokal yang berbakat pas-pasan mengasah kemampuan di klub besar. Federasi Sepakbola Italia pernah mengeritik kebijakan itu, tetapi manajemen klub tak menggubris. Inter Milan membeli "paksa" Ronaldo dari Barcelona. AC Milan hanya memberi tempat kepada empat atau lima pemain lokal setiap kali penampilannya. Di saat sepakbola telah menjadi bisnis paling menggiurkan, kehadiran bintang mancanegara adalah penarik minat penonton ke stadion dan di situlah sumber uang. Pembinaan pemain lokal untuk tim nasional menjadi nomor dua!
Memang, hasil akhir di St. Dennis malam ini belum diketahui dan kedua tim berpeluang sama ke semifinal. Tetapi nasib Azzuri ibarat masuk ke mulut anak harimau yang pernah dipiaranya dengan kasih. Setelah lama hidup di Milan, Desailly paham benar daya tahan sobatnya Paolo Maldini, Albertini dan Costacurta di lini belakang Italia. Deschamps dan Zidane tahu betul titik lemah rekan Juventus-nya, Di Livio, Del Piero, Pessoto dan Inzaghi. Juga sahabat lamanya Baggio dan Vieri. Djorkaeff, jenderal lapangan tengah Inter, tidak asing dengan aksi Moriero, Bergomi atau kiper don juan Pagliuca. Thuram tahu baik mental bertanding temannya di Parma, Enrico Chiesa, Dinno Baggio dan Fabio Cannavaro.
Artinya, seluruh pemain kunci tim Perancis 1998 sudah mengenal karakter Italia, sehingga tidak ada alasan untuk minder menghadapinya. "Kami memang harus hati-hati, namun tidak harus bermain dengan ketakutan. Saat ini kami sangat percaya diri dan kami akan menang," kata kapten Perancis, Didier Deschamps, Selasa (30/6/1998). Deschamps berhak yakin karena lawannya tidak lebih dari anggota Serie A. Kembalinya Zidane sebagai pengatur lapangan tengah menambah percaya diri Deschamps dkk. Dukungan penonton serta bermain di rumah sendiri juga merupakan nilai lebih.
Persoalannya, Italia adalah pemilik pertahanan terbaik. Sistem grendel (catenaccio) kesukaan Cesare Maldini dalam formasi 5-3-2 berpeluang mematikan gempuran bertubi Aime Jacquet lewat 3-5-2. Dalam kondisi normal, tim Italia tidak akan memberi ruang sedikit pun kepada lawan. Jadi jangan heran bila Italia tak akan ofensif menghadapi Perancis. Paolo Maldini cs akan membiarkan lawan terus mengempur hingga staminanya terkuras. Pada saat yang tepat, Italia baru bangkit untuk membunuh. Harmonisasi irama akan diatur dengan rapi oleh Cesare.
Celaka bagi Jacquet bila bermain monoton seperti menghadapi Paraguay. Kekalahan 1-3 dari Italia di perempatfinal Piala Dunia Preancis 60 tahun silam bisa terulang. Perancis mestinya tampil seanggun tahun 1986 pada era keemasan Michel Platini. Di perdelapan final Meksiko 86, "Ayam Jantan" mematuk Italia 2-1. Akankah sejarah terulang? “L'Histoire se repete," kata Deschamps yakin dalam bahasa ibunya. Kita tunggu bersama, apakah sang maha guru tega berkhianat dengan mengalah pada murid yang dididiknya? **
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Jumat, 3 Juli 1998. Artikel ini ditulis menjelang pertandingan babak perempatfinal Piala Dunia 1998 antara Perancis melawan Italia. Kedua tim bermain imbang 0-0 selama 120 menit. Tuan rumah Perancis maju ke semifinal setelah menang 4-3 lewat adu tendangan penalti.