"NDOE, ini muka-muka lama semua, ko! Nama-nama mereka sudah kita hafal karena sudah berkali-kali main di El Tari Cup". Itulah ungkapan spontan seorang rekan wartawan saat meliput upacara pembukaan turnamen sepakbola El Tari Cup '99 di Stadion Marilonga Ende, Kamis 25 November 1999. Kata-kata tersebut ada benarnya. Kecuali PSK Kodya Kupang, sedikit Persesba, Persewa dan Persami serta wajah yang benar-benar baru, Persebata Lembata - rasanya hampir tidak ada pemain muda berbakat (the rising star) dalam 12 tim peserta El Tari Memocial Cup '99 - minus PSKN Kefamenanu (TTU) dan Persab Belu.
Memang, kalau kita menyimak cermat sepak terjang perserikatan di NTT selama era 1990-an ini, peremajaan pemain tergolong benda langka. Realitas itu melanda hampir seluruh tim perserikatan. Sekadar misal, dalam tubuh tim juara bertahan PSN Ngada '99, kita masih menemui Philipus Tadi, pemain seangkatan Yus Pedo (Persami) atau Anton Kia (PSK Kupang).
Contoh lain terjelma dalam tim Perss SoE, TTS. Perss SoE datang ke Ende '99 dengan pemain yang sebagian besar adalah mantan skuad PSK Kupang. Semua pun tahu gelandang elegan Yos Wangga atau libero Thimotius Hayon adalah kekuatan PSK masa lalu. Dari jumlah 228 pemain peserta El Tari Cup '99 ini pun, sekitar 80 persen rata-rata berusia di atas 27 tahun. Di Tim Persami masih ada Pedro Rodriques. Persap Alor datang dengan komposisi sejak empat tahun lalu. Demikian pula Perseftim, Persim maupun tuan rumah Perse Ende yang ketika bermain di kandang sendiri musim ini tampil bengis dan piawai dengan menghasilkan angka sempurna hingga pertandingan keempat melawan Persewa Waingapu, kemarin.
***
MENGAPA kita sulit menemukan pemain ABG (Anak Baru Gede) dalam turnamen El Tari Memorial Cup? Mengapa kita hanya menyaksikan wajah pemain yang itu-itu saja, yang hampir kita hafal cara sepak dan gaya bermainnya? Kenapa hari ini kita justru lebih lebih gampang melihat ABG keluyuran dari pub ke pub di tengah larut malam, sangat mudah melihat para remaja yang 'salah jalan' dengan beragam sebab, misalnya, karena suka mabuk moke, tawuran atau pacaran sampai lupa daratan? Mengapa ABG kita itu justru lebih doyan menenggak narkoba (narkotik dan obat terlarang) ketimbang bermain-main dengan bola?
Mohon maaf, seandainya realitas itu boleh dilukiskan sebagai kesalahan, maka kesalahan ada pada kita yang lebih tua, yang lebih dulu mencium bumi, kita-kita yang disebut guru, orangtua, pemerintah dan teristimewa komunitas masyarakat sepakbola. Dengarlah jeritan hati ABG kita yang detik ini sedang lantang berkata: "Lihatlah kami, generasi (yang lebih menyukai) narkoba!"
Remaja NTT dalam satu dasawarsa terakhir telah menjadi asing dengan dunia bola. Kecuali Kodya Kupang yang mempunyai dua agenda tahunan, turnamen Faperta Undana Cup dan Fakultas Ekonomi (FE) Unwira Cup yang pesertanya pelajar (SMU) dan mahasiswa - sehingga Om Jack Lay memiliki banyak stok pemain muda untuk membentuk PSK - kota kabupaten lain di NATT sudah lama mematikan turnamen antarpelajar. Didukung Kurikulum Pendidikan 1994 yang menjejali siswa dengan mata pelajaran di kelas demikian padat serta klub-klub lokal yang 'mati enggan hidup pun tak mau' maka lengkaplah sudah keterasingan ABG NTT dari olahraga mengolah si kulit bundar.
Itulah sebabnya, Anda dan saya masih melihat Om Lipus Tadi, Eja Yos Wangga atau Moat Pedro masih merumput, sementara rekan seangkatannya sudah lama gantung sepatu. Tentunya tidak salah kalau Lipus, Yos atau Pedro bermain hingga kini, karena prestasinya masih bersinar. Masalah kita adalah bagaimana menyiapkan kader-kader pesepakbola NTT masa datang atau the rising star agar sepakbola NTT bisa mendapat tempat yang lebih tampan dari sekarang. Apalagi akan ada masanya, akan tiba waktunya bagi Johni Dopo, Hasan Haju, Petrus Abanat, Desna Maro, Ardy Pukan, Richard Musa, Muhamad Paijan, Lody Mitang, Vevi Kumanireng atau Zulkifly Umar mundur dari lapangan seturut hukum alam yang sulit dibantah yakni usia serta prestasi yang muskil terus menjulang.
Barangkali inilah salah satu pekerjaan rumah pengurus baru Pengda PSSI NTT di bawah Dwi Tunggal Frans Skera-Martinus Meowatu. Juga Pengcab PSSI serta pengurus perserikatan PSSI serta pengurus perserikatan di 14 kabuapten se-NTT yang sepertinya masih juga berintikan wajah-wajah lama. Selain pembenahan intern organisasi, hidupkan lagi turnamen antarpelajar-mahasiswa di tiap kota dan desa, mungkin patut dipertimbangkan.
Tapi kepada Bapak/Ibu pemegang kekuasaan, kembalikanlah lapangan bola putra-putrimu yang kini sudah berlantai beton atau taman yang kurang jelas fungsinya, semisal Lapangan Roket Ende. Hai guru-guruku yang terhormat, gusur itu Kurikulum '94. Berikan sedikit waktu bagi ABG-mu belajar di luar kelas. Biarkan muridmu menghilangkan jenuh dengan tendang bola, main voli, pukul bulu angsa atau dribel basket. Kalau mereka aktif di sana, mungkin dapat menekan kesukaannya menghirup fulpen beraroma narkoba yang hari ini sedang meresahkan hati 3,5 juta rakyat Flobamora. **
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 5 Desember 1999. Artikel ini dibuat sehubungan dengan lemahnya peremajaan pemain dalam tim perserikatan sepakbola di NTT akibat ketiadaan kompetisi yang teratur