Malam yang Sangat Panjang

BRASIL menciptakan malam paling romantis di Paris ketika juara dunia empat kali itu melumat tim sekampung, Chili 4-1, Sabtu malam 27 Juni 1998 waktu Perancis atau Minggu dinihari Wita (28/6/1998). Selama satu setengah jam, anak-anak Brasilia meliuk-liuk laksana balerina, bergoyang Samba sembari mencabik-cabik jaring Tapia hingga empat kali. Mario Zagallo tersenyum lebar, Brasil mulus ke perempatfinal dan menanti dengan sabar pemenang Nigeria vs Denmark.

    Dan Italia, meski tampil biasa-biasa saja tetap mempertahankan dominasinya sebagai penjegal tim Skandinavia. Bintang Christian Vieri pun makin bersinar. Norwegia memang mengalami perubahan besar dengan keberanian Egil Olsen keluar sarang sejak menit awal. Gebrakan Trio Flo sempat meremas jantung Azzuri, tetapi mitos Italia tak pernah kalah dari Norwegia, lestari adanya. Sama seperti Brasil yang difavoritkan banyak pihak, Italia maju ke perempatfinal dan akan bertemu pemenang Perancis vs Paraguay di St. Denis 3 Juli 1998. Sukses Italia dan Brasil menjadi France 98 makin gurih dan merebut rindu banyak anak negeri untuk tetap setia menatap Perancis hingga 13 Juli 1998.

    Kesetiaan itu kembali diuji malam ini, Senin (29/6/1998). Kehadiran  duel  Jerman-Meksiko (Indosiar, 22.30 Wita) dan perang Belanda-Yugoslavia (TVRI, pukul 03.00 Selasa dini hari Wita), akan menjadikan peristiwa ini sebagai "malam yang sangat panjang" di Perancis 1998. Jerman dan Belanda adalah magnet yang membius miliaran penggemar bola di seluruh dunia, sehingga banyak orang hampir pasti memfavoritkan kedua tim itu maju ke perempatfinal.

    Namun, si kulit bundar masih bergulir, sehingga segala kemungkinan bisa terjadi. Secara psikologis dan teknis, terutama mengacu pada prestasi di Piala Dunia, Meksiko memang underdog  di depan "Panser" yang telah merebut juara dunia tiga kali. Tetapi tahun 1986 saat Meksiko menjadi tuan rumah, Jerman harus bertanding 120 menit tanpa gol di perempatfinal. Untung Rummenigge cs menang 4-1 dalam drama adu penalti dan maju ke semifinal.

    Artinya, di arena World Cup Jerman belum pernah menang mudah atas Meksiko. Itulah modal utama bagi tim Meksiko 1998 asuhan pelatih Manuel Lapuente menghadapi tim Vogts di Montpellier malam ini. Lapuente adalah pelatih keras kepala. Sebelum menghadapi Belanda 25 Juni lalu, Lapuente mengaku tidak terpesona apalagi takut dengan aksi total football. Fakta lapangan membenarkan keyakinannya. Meksiko yang ketinggalan 0-2, mampu bangkit dan menyamakan skor 2-2 sampai masa kritis (injury time). Meksiko memang selalu memiliki semangat  khas bangsa Indian yang sulit menerima "kekalahan" di medan laga.

    Hal lain yang bakal menjadi masalah bagi Jerman ialah skuad Meksiko yang umumnya masih muda (rata-rata berusia 25 tahun). Dari aspek ketahanan fisik, Meksiko mampu menyerang sampai detik akhir. Sebaliknya, cuaca  panas akan ikut menganggu stamina pemain Jerman yang dominan sudah berkepala tiga. Klinsmann dkk diharapkan tidak lengah pada detik-detik akhir, terutama jantung pertahanan yang dihuni Thon, Kohler, Mathaeus  atau Helmer. Sudah terbukti dobrakan striker Meksiko berambut pirang, Luis Hernandez, sering mengacaukan lawan.
Meksiko, dengan formasi 4-4-2 pun akan bermain tanpa beban karena bukan unggulan. Akan riskan bagi Vogts jika terlalu lambat start. Jika Haessler dan Moeller dapat mengkoordinir lapangan tengah, Klinsmann dan Bierhoff dimungkinkan bisa berbuat banyak dalam usaha mengoyak gawang Jorge Campos.

    Satu hal yang pasti, pertemuan kedua tim bakal alot dan layak menjadi tontonan. Dan malam ini akan makin terasa panjang ketika duel berikutnya Belanda vs Yugoslavia di Stade Municipal Toulouse, sekitar 241 km dari Montpelier. Boleh jadi Anda pun sulit memilih, Belanda atau Yugoslavia? Secara teknis kekukatan kedua tim hampir sama.

    Yugoslavia patut dihitung setelah hampir enam tahun absen dari pertarungan global gara-gara perang Balkan. Pekan lalu, Jerman nyaris remuk dan ketinggalan 2-1 sebelum  "ditolong" gol bunuh diri Mihajlovic lalu sundulan emas Bierhoff untuk skor akhir 2-2. Daya juang dan mental bertanding Dejan Savicevic dkk saat ini sangat baik. Polesan pelatih Slobodan Santrac menjadikan Yugoslavia 1998 amat solid dan bisa mengalahkan siapa saja dengan senjata tunggalnya: attacking football ala Balkan!

    Ketajaman bomber Predrag Mijatovic dan Savo Milosevic sudah teruji dan satu level dengan duet Belanda, Dennis Bergkamp-Kluivert atau Bergkamp-Overmars. Hanya semangat total football yang membuat Belanda masih patut dijagokan. Guus Hiddink tentunya tidak mau mengulangi kegagalan Belanda 1994 ketika dihempas Brasil 3-2 di perempatfinal.

    Lebih dari itu, dengan selusin pemain berbakat serta persaudaraan tim yang utuh, Oranye 1998 ingin mereguk lagi puncak kejayaan Belanda di masa Johan Cruyff 1974 dan 1978, meskipun akhirnya harus puas sekadar juara tanpa mahkota. Malam ini, "juara di hati penonton" pasti tetap dipilih Hiddink dengan bermain indah. Sebab bagi tim Oranye kemenangan bukan satu-satunya tujuan. Itulah magnet yang memaksa banyak orang menangis jika Belanda gagal. *


Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra,
juga Pos Kupang edisi Senin, 29 Juni 1998. Artikel ini dibuat menjelang pertandingan babak perdelapanfinal Piala Dunia 1998 antara Jerman ve Meksiko dan Belanda vs Yugoslavia.  Jerman lolos ke perempatfinal setelah menang 2-1 atas Meksiko. Belanda juga lolos setelah menang 2-1 atas Yugoslavia.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes