Tak Ada Pesta di Copacabana

NASIONALISME sekali lagi membuktikan kesaktiannya di lapangan bola. Tim Perancis yang underdog, pasukan “Ayam Jago” yang tidak dijagokan, ternyata dengan gagah perkasa dapat merobohkan raksasa. Dalam semangat nasionalisme warisan Napoleon Bonaparte dan roh bola milik Jules Rimet, tim multiras Perancis menaklukkan juara bertahan Brasil 3-0 di Stade de France 12 Juli 1998. Samba gagal meraih gelar kelima dari enam kali masuk final. Gagal mempertahankan gelar dan mitos cuma Brasil yang rebut Piala Dunia di Eropa.

    Brasil 98 mabuk oleh keyakinan anak Perancis bahwa sejarah biasanya terulang (I ‘Histoire se repete). Hari kelabu di Stadion Maracana Rio de Janeiro 16 Juli 1950 terulang di St. Dennis 12 Juli 1998. Empat puluh delapan tahun lalu di hadapan 200.000 pendukungnya, Brasil ditaklukkan Uruguay 2-1 di final. Padahal saat itu (sama seperti tahun 1998 di Perancis) dunia yakin Brasil akan menang. Kala itu, putaran final menggunakan sistem liga dan Brasil hanya memerlukan hasil seri untuk menjadi juara. Over optimis menjadi bumerang. Pada partai puncak Samba kalah. Kekalahan sangat menyakitkan karena berlangsung di rumah sendiri.

    Brasil 1998 emang tidak bermain di kandang sendiri. Tetapi Brasil 98 sangat yakin akan menyamai rekornya juara World Cup dua kali berturut-turut, 1958 dan 1962. Mario Zagallo adalah pelaku sejarah 1958 di Swedia dan 1962 di Chili bersama sang maestro, Pele. Tetapi takdir Mario rupanya hanya menang sebagai pemain, bukan pelatih. Sama juga seperti Pele yang salah lagi meramal nasib Brasil.

    Menyimak duel 2x45 menit di  St. Dennis, anak asuh Aime Jacquet sangat pantas memposisikan dirinya sebagai negara ketujuh yang memenangkan Piala Dunia setelah Uruguay (1930, 1950), Italia (1934,1938, 1982), Brasil  (1958, 1962, 1970, 1994), Jerman (1954, 1974, 1990), Argentina (1978, 1986), Inggris (1966) dan Perancis (1998). Babak final yang disaksikan sekitar 80.000 penonton itu merupakan penampilan terbaik Perancis selama France 98. Di luar dugaan, Perancis bermain sangat rileks, atraktif dan sangat menyerang dalam format 4-3-2-1. Didier Deschamps dkk seolah-olah tidak sedang berperang pada partai paling menentukan yang biasanya sarat dengan beban psikologis.

Kondisi batin ini berlawanan dengan tim Samba. Sejak kick-off dibunyikan wasit asal Maroko, Said Relqola, Brasil tidak pernah mampu keluar dari tekanan mentalnya. Bahkan sejak menit ke-68 ketika Perancis hanya merumput dengan sepuluh orang menyusul kartu kuning kedua untuk Desailly yang mengganjal Cafu. Dengan kata lain, kekalahan Brasil pertama-tama karena tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri.

    Frustrasi hebat menyebabkan organisasi permainan tim Zagallo amburadul. Kuartet blok tengah, Dunga, Sampaio, Leonardo dan Rivaldo laksana macan ompong. Ronaldo yang kurang fit hanya sekali mendapat bola matang di kotak penalti tetapi tembakannya jatuh tepat dalam pelukan si botak Barthez yang makin piawai. Bebeto persis boneka bengong dan goyang Samba hilang dalam sentuhan satu dua gelandang Perancis, Zidane, Djorkaeff, Petit dan Kerembeu. Dua gol dari kepala gundul Zidane hasil umpan sepak pojok dan satu gol Petit menegaskan lagi bahwa sejak zaman Garincha, Brasil tak pernah bagus dalam pertahanan akhir. Mohon maaf Samba, Anda harus lengser dengan kekalahan terburuk selama 68 tahun keikutsertaanmu di Piala Dunia. Menangislah sepuas hatimu putra-putri Amazone!

    Dan, Aime ternyata tidak salah mencoret sang “Raja” Eric Cantona dan pemain tertampan di negerinya, David Ginola. Tanpa Contona, Perancis menjadi juara dunia meskipun para algojonya tetap mandul sampai akhir pesta yang menampatkan Michel Platini sebagai satu-satunya manusia paling bahagia pada 12 Juli ’98. Pemain belakang mencetak gol pun kini jadi model ciptaan Jacquet. Jacquet secara tidak langsung sedang mengolok Brasil yang cuma memiliki penembak terbaik, bukan palang pintu yang solid.

***

    SEPANJANG hari Minggu (12/7/1998), hujan tak henti-hentinya mengguyur Rio de Janeiro, Ibu kota Brasilia. Hujan itu berlangsung sejak Minggu pagi, demikian laporan AFP. Hujan seakan berkata tentang nasib malang, memberikan tanda-tanda akan datangnya bencana. Minggu malam (12/7/1998) atau Senin dini hari waktu Indonesia, dunia menyaksikan kejatuhan Samba, tangisan  Zagallo dan mata Ronaldo yang merah serta Dunga yang mengakhiri karir dengan duka.

Hujan di Rio belum berhenti sampai hari ini. Air bening itu mengalir deras melewati sungai Rio Paraiba, terus ke timur menuju muara Sao Joao da Bara di bibir Samudera Atlantik. Brasil hari ini laksana sebuah negeri yang telah mati. Di mana-mana hanya ada kesunyian dengan tangisan pilu yang tertahan.

Pesta sejuta warga yang disiapkan pemerintah Kota Rio di pantai indah Copacabana batal sudah. Di Copacabana  tak ada goyang Samba yang diperlihatkan para gadis pirang dengan buah dada montok tanpa bra, tak ada lagi lirikan manja mata elang perawan Latin dalam busana minim menggairahkan. Selamat jalan Samba. Sampai jumpa 2002! **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi  Selasa, 14 Juli 1998. Artikel ini dibuat  setelah Perancis mengalahkan Brasil di babak grandfinal Piala Dunia 1998 dengan skor 3-0.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes