ilustrasi |
Inggris, tanah air sepakbola itu terkenal dengan penonton fanatiknya. Bagi orang Inggris, seorang bintang sepakbola cukup sering diagungkan hampir setinggi dewa. Bahkan demi tim kesayangannya, bangsa Britania Raya rela berbuat apa saja. Dunia mengenang Inggris tak semata-mata sebagai ibu yang melahirkan anak sepakbola yang dewasa ini begitu dicintai dan telah merasuk ruang batin lebih dari 5 miliar penduduk bumi.
Tetapi dunia juga mencatat dengan tinta hitam bahwa dari negeri itu pula masih saja lahir anak-anak bola bernama hooligan, si penjahat yang suka berbuat onar, si penonton bermuka badak dan mulut besar, si suporter sepakbola bermental buaya darat yang kejam dan tanpa belas kasih. Kejamnya hooligan Inggris menakutkan petugas keamanan di negara manapun, di mana sebuah pesta akbar sepakbola tingkat Eropa maupun level dunia sedang berlangsung. Busuknya watak hooligan Inggris menuntut pemain tamu senantiasa ekstra hati-hati, baik di dalam maupun di luar lapangan hijau.
Tetapi watak buaya darat dari Inggris itu memberi inspirasi kepada Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) untuk melahirkan peraturan yang lebih menjamin rasa aman pemain, ofisial tim, wasit maupun para penonton sendiri. Bila sebelum tahun 1990-an, sekat antara lapangan pertandingan dengan tempat duduk penonton dianggap kurang penting - sehingga dibangun asal ada atau asal jadi - maka dalam satu dasawarsa terakhir ini pagar pembatas lapangan dengan tribun menjadi syarat mutlak yang sangat ketat diperhatikan FIFA. Stadion atau lapangan pertandingan tanpa pagar pembatas dianggap tidak layak! Sudah terbukti, adanya tembok pemisah yang kokoh di dalam stadion membuat para penonton fanatik atau yang bermental kejam seperti hooligan Britania Raya - tak bisa berkutik dan lebih enteng diatasi.
***
TURNAMEN Sepakbola El Tari Memorial Cup '99 memang cuma level NTT. Penyelenggaraannya pun berlangsung di Ende, bukan Italia atau Belanda, negeri raksasa sepakbola dunia. Stadion paling megah di Ende pun bernama Marilonga yang begitu jauh kelasnya dibanding Stadion Olimpico Roma. Komisi Disiplin Pertandingan Pengda NTT dua hari sebelum turnamen musim ini bergulir menilai, dua lapangan di Ende memenuhi syarat.
Ya, penilaian tersebut tentunya tidak keliru. Toh sampai kemarin, 18 pertandingan berakhir lancar dan sukses. Cuma geliat penonton di Kota Ende ini, setidaknya mulai menanam resah di hati panitia, inspektur pertandingan maupun tim-tim peserta, sekalipun mungkin hal itu tak terkatakan. Sampai pertandingan, Kamis (2/12/1999), penonton begitu tega melanggar pagar pembatas yang terjalin dari tali nilon dan batang bambu. Mereka ramai-ramai masuk lapangan hingga ke garis putih bahkan tega masuk semeter lebih ke dalamnya.
Teriakan, imbauan, harapan atau peringatan panitia bagaikan senandung di padang gurun. Tak didengar sedikitpun. Siapa yang salah? Tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Barangkali cuma tertitip saran ini, tegakkanlah aturan dan petugas keamanan mungkin perlu bekerja lebih giat - dengan berdiri persis di pagar pembatas mencegah penonton nakal yang nekat masuk lapangan gundul Marilonga atau Perse. Saya kira, penonton di Ende bukan bermental hooligan, mereka belum memenuhi syarat penjahat atau buaya darat. Wajah mereka masih inosen, penuh senyum, lugu dan bersahabat. Meski ada pula yang sudah coba-coba membuang kelikir kecil ke dalam lapangan atau senang bermain abu, skalanya masih terbatas. Dengan jamahan tangan panitia yang lebih baik sedikit, lebih tegas sedikit, lebih bersusah payah sedikit dan dengan sedikit senyum berwibawa, saya percaya penonton Kota Ende bisa tahu diri. **
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Jumat, 3 Desember 1999. Artikel ini dibuat berkaitan dengan aksi para penonton selama kejuaraan El Tari Memorial Cup 1999 di Ende.