INGGRIS adalah tanah air sepakbola, ibu yang melahirkan cabang olahraga terpopuler di bumi. Seluruh dunia tahu tentang hal itu dengan baik. Sejarah bola mencatatnya dengan tinta emas dan segala orang menerima tanpa prasangka. Tetapi Inggris adalah ibu yang malang dan tidak bahagia. Ibu yang kesepian karena sang anak pergi sangat lama, bertualangan terlampau jauh hingga ke mana-mana, begitu mesra mengasihi dan dikasihi oleh segala bangsa, sehingga ia lupa pada ibu kandung yang melahirkannya.
Memang, pada suatu penggalan masa yang sudah lama sekali, anak bandel itu sempat pulang ke pangkuan ibunda. Tahun 1966, Britania yang menjadi tuan rumah World Cup menyanyikan tembang football coming home. Koor itu sungguh terbukti ketika Moore dkk menumbangkan Jerman Barat 4-2 pada final tanggal 30 Juli 1966. Jules Rimet, tropi resmi Piala Dunia 1966 direbut Inggris. Sri Ratu yang hadir di Stadion Wembley mengucapkan selamat, seluruh rakyat Inggris larut dalam pesta. Pelatih Alf Ramsey dipuja laksana dewa.
Namun, pesta itu hanya berlangsung sekali dan begitu cepat berakhir. Hari berganti, musim berlalu, bulan dan tahun terus bergulir, tapi prestasi Inggris tak lagi mencapai langit. Sebagai ibu kandung, segala cara sudah ditempuh agar sang anak betah di rumah sendiri. Ironisnya anak itu lebih memilih pergi jauh. Dengan entengnya ia berjalan-jalan menikmati indahnya pantai Brasilia dengan gadis-gadis latin bermata coklat, mengunjungi negeri musikal Jerman, menikmati anggur oranye Belanda, bergoyang tango bersama bocah Argentina atau tenggelam dalam pesta dansa di negeri mode Perancis dan Italia.
Setelah 1966, tim nasional Inggris memang selalu gagal di event dunia, baik Piala Eropa maupun Piala Dunia. Ketika Piala Eropa 1996 berlangsung di tanah Inggris, ada harapan baru akan datangnya gelar terbaik. Sayang sekali, kenangan manis 1966 tak terulang. Inggris kalah 5-6 di semifinal melawan Jerman yang akhirnya menjuarai Euro 96 dengan mematuk Ceko 2-1 di final.
***
STADE de Municipal Toulouse, Selasa dini hari tanggal 23 Juni 1998 adalah hari kejatuhan Inggris untuk kesekian kalinya. Dalam tatapan mata 35.000 penonton, Inggris ditumbangkan Rumania 2-1 justru pada saat pertandingan tinggal setengah menit. Dan Petrescu menerima bola lambung dari lapangan tengah dengan dadanya. Pergerakannya di rusuk kanan area penalti Inggris coba dihadang Grame Le Saux. Kiper David Seaman maju mempersempit ruang tembak, tetapi Petrescu lebih cepat menggulirkan bola lewat celah selangkang Seaman dan bergulir anggun menembus gawang. Sekitar 20.000 pendukung Inggris membisu. Pelatih Glen Hodlle hanya bisa menopang dagu. Ia seolah tak percaya, hanya tujuh menit setelah bintang belia Mchael Owen menyamakan skor 1-1, segalanya sirna.
Rumania menjadi tim pertama dari grup G lolos ke 16 besar, sedangkan nasib Inggris berada di tepi jurang setelah sebelumnya Kolombia mematahkan Tunisia 1-0. Pertandingan akhir melawan Kolombia 27 Juni 1998 akan menjadi pengadilan akhir. Hasil seri cukup bagi Inggris untuk lolos, tetapi grafik Kolombia sedang menanjak dan kemungkinan Inggris gagal bukan khayalan.
Penampilan awal Inggris di Piala Dunia Perancis 1998 memang masih jauh dari memuaskan. Tanpa kehadiran playmaker Paul "Gazza" Gascoigne yang dicoret Hodlle karena suka minum bir sampai teler -- tim Inggris kehilangan "jiwa" dan irama khas kick and rush. Paul Ince yang makin tua tak banyak berperan. Paul Scholes dan David Beckham kurang berpengalaman membangun organisasi blok tengah yang mapan. Masih untung ada Michael Owen yang tampil gemilang dan melahirkan secercah asa untuk hari esok Britania. Hanya dengan kerja keras seluruh pemain dan pembenahan tim oleh Glen Hodlle, peluang Inggris ke 16 besar masih terbuka.
Namun, perjuangan untuk itu sangat berat. Sejak kemarin, rakyat Inggris telah habis-habisan memaki Shearer cs. Dengan judul besar dan mencolok, pers Inggris menghujat Hodlle. The Sun, The Mirror dan Independent menulis sinis dan pesimis. Pesimisme pers semakin kental seiring ulah hooligans yang tak berperikemanusiaan.
Usai memporak-porandakan Kota Marseille Minggu lalu saat merayakan kemenangan Inggris 2-0 atas Tunisia, pendukung Inggris justru makin beringas di Toulouse. Hampir 1.000 hooligans membuat huru-hara di pusat kota. Bahkan wartawan dan dua fotografer Inggris sendiri dihajar. "Tingkah mereka merusak kehormatan bangsa," kata Perdana Menteri Tony Blair yang mengutus Kevin Hurley, Kepala Detektif ke Perancis guna mengawasi para perusuh. "Kalau terus begini, Inggris tak mungkin jadi juara dunia," kata Menteri Olahraga Inggris, Tony Branks dengan nada putus asa. *
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Rabu, 24 Juni 1998. Artikel ini dibuat menanggapi hasil buruk yang diraih tim nasional Inggris di Piala Dunia 1998 serta event internasional lainnya.