Jangan jadi Pengecut Rocha

Skema Catenaccio
ITALIA adalah negara yang melahirkan sepakbola negatif. Ini sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat pecinta sepakbola. Bahwa saat ini Italia menjadi surga para bintang lapangan hijau, memiliki kompetisi liga paling marak sejagat serta telah menanggalkan kesan negatif itu - dunia toh tetap akan mengenang gaya cattenacio-nya.

    Cattenacio mengajarkan orang bermain bola bukan untuk sebuah keindahan. Bola tak laik dinikmati sebagai salah satu karya seni. Yang penting ialah menang, harus bisa menumpas lawan dalam  waktu 2x45 menit pertandingan.

    Praktek paling nyata dari sepakbola negatif ala Italia adalah bertahan habis-habisan.  Barikade pertahanan harus berlapis-lapis untuk menjaga lawan memasukkan bola. Bila perlu setiap aksi pemain lawan yang membahayakan harus dibabat. Prinsipnya, pemain sih boleh lewat, tetapi bola tidak!

    Untuk mewujudkan sasarannya, sepakbola negatif biasanya menempatkan tujuh sampai delapan pemain di zona pertahanan. Cuma satu striker yang disiapkan untuk melakukan counter attack (serangan balik). Dalam posisi sudah unggul, seluruh pemain bahkan turun memperkuat daerah pertahanan.

    Itulah sebabnya cattenacio selalu melahirkan rasa benci terhadap sepakbola. Tim yang memainkan pola ini kerap disapa pengecut, tidak bersikap jantan di lapangan. Italia ketika masih kuat menerapkan prinsip itu - menjadi monster paling menakutkan. Kebencian dunia membuat Italia tahu diri lalu perlahan meninggalkannya -- terutama pada era kepemimpinan Arigo Sacchi.

    Lawan dari sepakbola negatif ialah sepakbola menyerang, yang kita ketahui sangat teguh dipegang Belanda lewat total football. Rinus Michel merupakan tokoh paling sukses dengan sepakbola menyerang ini. Total football membuat tim nasional atau klub-klub Belanda sangat disegani setiap lawannya.

    Tetapi, sejarah pun telah membuktikan, fanatisme akan sepakbola menyerang jua yang menobatkan Belanda sebagai juara tanpa mahkota. Prinsip menyerang tanpa henti, hasilnya justru kecolongan pada detik-detik kritis. Sakit sekali!

***

    RASA sakit hati akibat praktek sepakbola negatif itu direguk Ajax Amsterdam ketika menjamu Panathianikos Yunani pada putaran pertama semifinal Piala Champions dua pekan silam. Menguasai pertandingan sejak babak pertama, menyerang tanpa henti ke setiap lini, Ajax malah kecolongan gol Krsytof Warzyca hanya tiga menit menjelang pertandingan bubar.

    Kemenangan Panathinaikos 1-0 di Stadion De Meer Amsterdam kala itu merupakan buah strategi pelatih Juan Ramon Rocha yang memerintahkan pemainnya melakukan pertahanan total. Para penonton menyaksikan aksi pemain Ajax menyerang, namun tak satupun gol tercipta karena ketatnya pertahanan anak-anak Rocha. Rocha memang berhasil melabuhkan impiannya. Tetapi tindakan "pengecut" itu sangat keterlaluan karena Juan Ramon Rocha berdarah Argentina, ia datang dari negara berkultur anti-sepakbola negatif.

    Rabu malam ini (17 April 1996)  waktu Athena atau Kamis dini hari (18/4/1996) sekitar pukul 02.30 Wita, pasukan Ramon Rocha kembali menjamu Ajax, juara bertahan Piala Champions 1996 di kandangnya. Anda yang menggemari kulit bundar sebaiknya meluangkan waktu untuk begadang, karena RCTI langsung menayangkannya dari Athena.

    Bagaimana aksi para pemain Panathinaikos di depan pendukung fanatiknya? Apakah penampilan dua pekan silam di Amsterdam kembali terulang? Bila strategi di Stadion De Meer dipertahankan Rocha, pertandingan malam ini akan sangat membosankan. Bagi penikmat bola yang mendewakan permainan atraktif - pola defensif ala cattenacio Italia amat menyebalkan. Rocha bakal ditangisi sebagai "pengecut" yang hanya mendambakan kemenangan untuk membalas dendam atas kekalahan Panathinaikos 0-2 dari Ajax pada final Piala Champions 25 tahun silam di Stadion Wembley.

    Apapun hasil akhir pertandingan Kamis dini hari nanti, Ajax hampir pasti tetap pada kulturnya menyerang selama pertandingan. Tak ada pilihan lain bagi Louis van Gaal karena untuk lolos ke final timnya harus menang minimal 2-0. Risiko kecolongan, sudah tidak penting, karena Ajax berada pada posisi sangat dilematis. Daripada sekadar basa-basi menyerang, lebih baik mandi sekalian.

    Kita berharap Panathinaikos berani melakukan langkah serupa sehinga duel kali ini menjadi tontonan yang nikmat. Paling tidak, sedikit demi sedikit memberi kepuasan karena Anda mungkin cukup lelah dan terkuras stamina, lantaran harus mete (begadang) sampai hari menjelang fajar. Selamat menyaksikan. **


Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra,
juga  Pos Kupang edisi Rabu, 17 April 1996.  Artikel ini dibuat menjelang pertandingan semifinal kedua Piala Champions Eropa antara Ajax melawan tuan rumah Panathinaikos di Athena 17 April 1996. Ajax akhirnya lolos ke final bertemu Juventus, Italia. Dalam final di Roma 22 Mei 1996, kedua tim bermain imbang 1-1. Juventus juara berkat kemenangan lewat adu penalti 4-2.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes