MANTAN Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq akhirnya divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 1 tahun penjara. Seperti diwartakan Tribun Manado kemarin, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Luthfi terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
"Menyatakan Luthfi Hasan Ishaaq terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), secara bersama-sama," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal Lubis saat membacakan putusan Luthfi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (9/12/2013).
Luthfi bersama rekannya Ahmad Fathanah terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi. Uang itu diterima Luthfi saat menjabat anggota Komisi I DPR RI dan Presiden PKS. Melalui penasihat hukumnya Luthfi berniat mengajukan banding atas vonis hakim tersebut.
Dari reaksi yang berkembang pascavonis, majelis hakim Tipikor
dinilai telah menjatuhkan hukuman yang setimpal. Sebagai pejabat negara Lutfhi menunjukkan perilaku yang tidak patut diteladani. Lagipula dia seorang pemimpin partai politik terkemuka di negeri ini . Sebagai pemimpin partai yang melahirkan calon-calon pemimpin bangsa, Luthfi Hasan Ishaaq mencederai kepercayaan yang sangat besar kepadanya untuk memberikan keteladanan.
Menarik perhatian kita lantaran sidang pembacaan vonis hukuman untuk mantan Presiden PKS itu bertepatan dengan masyarakat memperingati Hari Anti Korupsi. Sebuah momentum yang elok. Waktu yang pantas untuk refleksi dan introspeksi sudah seriuskah bangsa Indonesia dalam perang melawan korupsi?
Kita acungi jempol atas kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini. KPK tiada henti menjerat dan memproseshukum para tersangka koruptor. Namun, langkah KPK tentu saja belum cukup. Masih diperlukan kerja sama yang lebih apik antara semua pemangku kepentingan agar praktik korupsi di negeri ini benar-benar bisa diminimalisir sekecil mungkin.
Dari sisi regulasi, misalnya, UU Tipikor butuh revisi. Seperti dikatakan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun, pemerintah dan DPR belum berkomitmen merevisi UU Tipikor sesuai dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Tama mengatakan beberapa ketentuan dalam UNCAC, seperti peningkatan kekayaan secara tidak wajar (illicit enrichment), jual beli pengaruh (trading influence), dan pasal lainnya, belum diatur dalam UU Tipikor. Menurut dia seperti dikutip Kompas.Com, jika pasal-pasal itu masuk ke UU Tipikor maka efek jera sungguh terjadi. Tama mengatakan masih banyak pasal-pasal yang terdapat dalam UNCAC belum diadopsi dalam UU Tipikor.
Padahal, ia mengatakan, Indonesia sudah meratifikasi konvensi PBB tersebut. Terkait dengan peningkatan kekayaan secara tidak wajar dan jual-beli pengaruh, Tama menyatakan hal tersebut sudah diatur dalam pasal 20 dan 18 UNCAC. Kasus korupsi kuota suap impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq menunjukkan kebuntuan karena tidak adanya ketentuan yang mengatur jual-beli pengaruh dalam UU Tipikor. Mudah-mudahan sentilan peneliti ICW tersebut menggungah pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi agar perang melawan korupsi di negeri ini lebih efektif. *