ilustrasi |
Mau bilang apa? Inilah negeri yang makin tua usia, tetapi semakin kekanak-kanakkan. Pluralisme mulai ditiadakan sebagai jatidiri bangsa. Kemajemukan tak lagi elok diletakkan sebagai keutamaan Indonesia. Kita bergerak menuju keseragaman. Yang gemuk jumlah bisa paksa kehendak. Yang gendut angka dapat berbuat apa saja. Usia kita “baru” 63 tahun, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdengar sayup. Samar terasa!
Dulu para Bapak dan Ibu Bangsa merindukan Indonesia hidup seribu tahun lagi. Lestari dalam Taman Sari Nusantara yang pelangi. Bhineka tunggal ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Hari ini ketika dunia sudah berpikir migrasi ke Mars, kita bahkan masih mengatur pakaian dalam. Dan, begitu banyak orang bersorak. Girang gembira.
Analisis, usul, saran bahkan sikap resisten sejak RUU itu dibahas seolah tak bermakna. Aksi walk out Fraksi PDIP dan PDS serta penolakan terbuka pemerintah dan rakyat Bali, Sulawesi Utara tidak mampu menggugurkan keputusan paripurna DPR. Demokrasi toh bukan sekadar Anda setuju atau tidak. Demokrasi juga menyangkut angka. Unggul angka, jadilah pemenang. “Kami lebih banyak kok dilawan? Jangan macam-macam” Sungguh nikmat menjadi mayoritas!
Definisi porno dibikin elastis. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual...”
Maka besok ketika seorang ibu muda yang sedang menunggu bis tujuan Kefa di Terminal Oebobo spontan membuka bra guna menyusui anaknya bisa dianggap porno. Dinilai melanggar UU Pornografi karena mengeluarkan buah dada di muka umum (terminal = ruang publik). Apalagi bila ada orang yang mengaku buah dada ibu itu membangkitkan hasrat seksualnya! Posisi perempuan dan anak sungguh lemah dalam UU ini. UU yang mengatur sampai soal masturbasi. Luar biasa elite politik di Senayan. Sampai onani pun mereka urus sebagai perwujudan fungsi legislasi. UU Pornografi itu tumpang tindih dengan KUHP dan UU Perlindungan Anak.
Bacalah pasal 20-22. UU itu akan menyuburkan kelompok ekstrim di negeri ini. Memberi kesempatan besar kepada masyarakat untuk melibas apa saja yang dianggap porno. Pasal-pasal itu melegalkan aksi kekerasan. Jauh sebelum adanya UU Pornografi, sudah ada kelompok ekstrim yang bertindak dengan motif tertentu. Cukup sering mengatasnamakan moral agama. Tinggal menunggu waktu, konflik horisontal akan lebih mengental. Preman-preman berbusana suci nan agung semakin riang bergerilia. Bersorak menghujat, menggugat. Memukul, menendang. Mungkin juga membunuh atas nama moral. UU Pornografi nyata tentang politisasi moralitas dan agama. Yang gendut angka telah memenangkan hasrat mereka.
Kita angkat topi untuk Bali. Pemerintah dan DPRD dengan tegas menyatakan tidak akan melaksanakan UU tersebut. NTT bukan Bali dan tidak harus sama dengan Pulau Dewata. Tapi Flobamora perlu bersikap, setidaknya mengantisipasi kemungkinan UU Pornografi menghancurkan tradisi dan budaya di sini. Beta khawatir dansa tombak, misalnya, yang sudah jadi tradisi pesta syukuran nikah atau apa saja di NTT dicap porno karena nyong dan nona bagoyang sambil peluk pinggang.
Beta cemas ketika anak nona kita yang pakai rok pendek harus masuk penjara gara-gara ada orang yang merasa rok itu membangkitkan hasrat seksualnya. Jangankan rok pendek. Rok panjang atau seluruh bagian tubuh tertutup busana kecuali biji mata pun bisa membangkitkan hasrat bila ”isi kepala” Anda memang menjurus ke sana.
Beta cemas ketika anak nona kita yang pakai rok pendek harus masuk penjara gara-gara ada orang yang merasa rok itu membangkitkan hasrat seksualnya. Jangankan rok pendek. Rok panjang atau seluruh bagian tubuh tertutup busana kecuali biji mata pun bisa membangkitkan hasrat bila ”isi kepala” Anda memang menjurus ke sana.
UU ini juga melanggar HAM. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan terminologi "persenggamaan yang menyimpang". Kelompok yang dimaksud pasal ini adalah kaum gay dan lesbian. Pasangan homoseksual. WHO sejak 1993 menyatakan homoseksualitas bukan penyimpangan. Apa yang salah dengan lesbian, gay? Mereka juga manusia. Bangsa lain sudah berwisata ke ruang angkasa, kita bangga membuat UU tentang senggama. Bangsa yang sedang sakit jiwa?
Tentu kita masih berharap Peraturan Pemerintah (PP) yang akan dikeluarkan nanti menghargai keunikan budaya Nusantara, tidak menimbulkan multitafsir UU Pornografi. Dan, semoga judicial review MK tetap memihak pluralisme Indonesia. Berharap polisi, jaksa dan hakim memiliki nurani. Penegakan hukum tidak mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Sebuah bangsa, sebuah negeri bukan tanpa akhir. Kita merindukan NKRI yang utuh. NKRI sebagai rumah bersama. Di rumah inilah kita lahir, tumbuh, hidup dan akhirnya mati. Flobamoraku, masihkah kita tidur lelap? Jangan lengah. Yang kuat jumlah bisa melakukan segalanya. Sesuka hati, seturut hasrat. (dionbata@poskupang.co.id)
Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 3 November 2008 halaman 1