* Pemakaman Umbu Mehang Kunda (3)
MALAM sebelum pemakaman dilakukan hamayang (sembahyang) oleh ama bokol hama (pendeta marapu). Doa persiapan ini berlangsung di uma bokul, rumah besar milik almarhum. Keluarga anamburung menyiapkan seekor babi jantan dan lima ekor ayam untuk disembelih.
Hati babi dan tali perut ayam dibaca oleh ama bokol hama untuk mengetahui pesan-pesan almarhum, pesan-pesan leluhur untuk keluarga yang ditinggalkan. Hati babi dimasak pada tungku di dekat katoda dan ayamnya dibakar untuk diletakkan di tempat sesajian bersama nasi yang disebut uhu mange'ijing agar leluhur bisa menyantapnya.
Ada lima ekor ayam yang harus disembelih, masing-masing seekor untuk almarhum, seekor untuk umbu tamo (nenek moyang yang namanya digunakan oleh almarhum), seekor untuk nenek moyang, seekor untuk papanggang atau hambanya alrmahum dan seekor untuk marapu. Khusus untuk almarhum ayamnya harus berbulu merah. Ayam itu bisa jantan semua, bisa betina semua, bisa campur- campur antara jantan dan betina.
Hasil penglihatan ama bokol hama,di hati babi terdapat tanda khusus. Sedangkan tali perut ayam menunjukkan marapu memberi izin, umbu tamo juga memberi izin, almarhum sendiri ada izin, dia sudah siap menuju Parai Marapu (surga) dan papanggang atau hamba juga siap mendampingi almarhum. Yang tidak memberikan izin adalah nenek moyang yang ditandai dengan noda pada hati babi. Itu berarti masih ada akibatnya, baik keluarga dalam maupun keluarga luar.
Keluarga perlu membuat upacara lagi untuk memohon ampun setelah penguburan. Jika belum diselesaikan, setiap hati babi yang disembelih pasti tetap ada tanda. Keluarga harus mencaritahu terus sampai mengetahui persoalannya mengapa nenek moyang marah. Upacara adat ini harus tuntas sehingga arwah almarhum tenang dan diterima penguasa jagat raya.
Jika diabaikan keluarga akan mendapat pahala. Seperti apa pahalanya? Baik ama bokol hama maupun tua adat lainnya tidak dapat meramalkan. Menurut Umbu Maramba Hau, pengalaman selama ini, pahalanya bisa berupa sakit, kebakaran, banjir, disambar petir bahkan kematian. Untuk menghindari hal-hal ini, keluarga akan berunding lagi dan melakukan upacara permohonan maaf kepada nenek moyang dengan menyembelih babi dan hamayang oleh ama bokol hama.
Tapi upacara permohonan maaf baru dilakukan setelah amarah nenek moyang itu redah. Sama seperti manusia, disaat dia sedang marah sebaiknya kita jangan dulu meminta maaf, karena amarahnya akan mendidih bahkan akibatnya fatal. Bisa jadi emosinya tidak dapat dikendalikan lalu terjadi tindakan di luar yang diinginkan.
Masyarakat Sumba Timur meyakini suasana seperti itu, juga terjadi pada arwah nenek moyang. Untuk itu, dalam melakukan upacara permohonan maaf, butuh waktu jedah. Jika emosi seseorang sudah redah, mudah memaafkan. Saat itulah upacara itu dapat dilakukan. Keluarga dalam menyelenggarakan upacara permohonan maaf kepada leluhur yang marah, juga akan membaca suasana hati leluhur tersebut.
Perpisahan dan pemberian makan oleh keluarga kepada arwah orang yang meninggal dan arwah leluhur yang datang dengan cara memotong ayam (manu kanjiku reti) dan hamayang sebelum jenazah diberangkatkan ke liang lahat, merupakan penghormatan terakhir. Selain ayam, juga kuda (njara ndangang) sebagai kurban. Hati kuda diambil untuk diramal lalu dimasak pada tungku dekat uma bokul untuk dibuat sesajian, memberi makan kepada roh leluhur yang siap menjemput kedatangan arwah almarhum.
Umbu Maramba Hau menuturkan, almarhum Umbu Mehang Kunda sama sekali tidak meninggalkan pesan kepada keluarga. Keluarga juga tidak mendapat firasat kalau beliau akan meninggal dunia. Untuk itu, keluarga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi sehingga leluhur masih marah saat dilangsungkannya tata upacara pemakaman. Kesan umum yang keluarga terima, almarhum orangnya penyayang, tidak pernah dendam, mudah memaafkan dan sederhana. Semasa hidupnya tidak pernah marah kepada keluarga. Kalaupun marah, sebentar saja, lalu memaafkannya dengan cara guyon.
Itu yang membuat keluarga betul-betul kehilangan seorang bapak, seorang tokoh panutan. Kesan seperti ini, mungkin juga dirasakan pegawai negeri di lingkup Setda Sumba Timur dan masyarakat daerah itu umumnya. (bersambung)