Oleh Eugenius Mo'a
KABUPATEN Lembata baru saja memasuki usia kesembilan tahun, setelah lepas dari kabupaten induk, Flores Timur. Walau secuil, sudah terlihat dampak otonomi itu bagi masyarakatnya. Kabupaten kaya mineral tambang ini dikelilingi wilayah perairan seluas 3.353,995 km persegi dengan panjang garis pantai 492,80 km. Kabupaten ini meliputi 78 desa pantai dari keseluruhan 140 desa/kelurahan. Ini memberikan alasan perbandingan wilayah pantai dan 'gunung' hampir seimbang.
Di darat Lembata kaya mineral. Di laut juga sama kayanya. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata, wilayah ini punya potensi lestari perikanan tangkap 44.903,175 ton/tahun, terdiri dari ikan pelagis 6.88,995 ton/tahun, ikan demersal 3.705,625 ton/tahun. Selain itu, potensi non ikan 34.315,575 ton/tahun seperti nener, cumi-cumi, lobster/udang dan kerang-kerangan.
Perikanan budidaya punya prospek menjanjikan. Sayang, budidya ikan belum dikembangkan menjadi usaha kontinyu. Budidaya ikan kerapu baru seluas 102,5 ha, kerang mutiara 300 ha, rumput laut 1.977,9 ha, namun yang efektif dikembangkan 860 ha, selain teripang 330,5 ha. Padahal karakteristik perairan Lembata telah menciptakan rumput laut Lembata dikenal punya kualitas keragenan (protein) tertinggi 97 persen, (NTB 96 persen) dari semua wilayah di Indonesia.
Sajian angka-angka ini masih jauh dari cita-cita menjadikan sektor kelautan sebagai sektor primadona. Padahal, di mana-mana potensi laut Lembata ramai diperbincangkan, didiskusikan. Yang selama ini terbayang dari sektor kelautan Lembata cumalah atraksi tradisional penangkapan ikan paus oleh nelayan Lamalera.
Fenomena yang tak kalah menariknya, ialah betapa banyak nelayan lokal yang miskin pengetahuan dan pengalaman menangkap dan mengelola hasil tangkapannya secara baik dan benar. Miskin keterampilan dan pengetahuan itu menyebabkan banyak nelayan Lembata tak lebih dari penonton menyaksikan nelayan luar yang lebih cerdas dan gesit dengan peralatan tangkap modern. Segala jenis ikan dari kualitas ekspor sampai kualitas pasar lokal dan 'papalele; digaruk habis. Ikan kerapu, misalnya, potensinya menjanjikan. Namun, siapa berani membudidayakannya dalam skala besar? Padahal jenis ikan ini dicari di pasar domestik dan eksport.
Memang, sektor perikanan dan rumput laut tumbuh signifikan. Teluk sepanjang Pantai Lewoleba, dari Waijarang di arah barat sampai ke timur di Lamahora dan seterusnya melintas ke utara sampai ke Tanjung Batu, praktis tak ada wilayah perairan yang kosong. Rumput laut yang dikelola perorangan atau kelompok nelayan terlihat menghampar.
Suntikan bantuan dari pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan berdampak sangat positif. Harga rumput laut kering di pasaran juga cukup bagus dan budidaya yang mudah telah menciptakan daya darik dan persaingan di kalangan warga pesisir. Tak ayal, mereka berlomba-lomba membudidayakannya.
Pada tahun 2007, produksi rumput laut kering yang dipasarkan keluar dari Lembata mencapai 250 ton/bulan. Tahun 2008 produksinya mencapai 450 ton/bulan. Jumlah ini belum termasuk pembelian ilegal yang dilakukan pengepul luar Lembata ke kampung-kampung pesisir.
Besarnya potensi perikanan dan kualitas nomor satu rumput laut telah memperkuat posisi tawar pemerintah daerah dengan pemerintah tingkat atas atau dunia usaha yang ingin berinvestasi. Namun 'mimpi' itu belum tampak dari sebagian besar waktu yang sudah dihabiskan untuk perjalanan dinas luar.
Di darat juga sama kayanya. Sejak 1925, Lembata sudah jadi incaran para geolog, peneliti Eropa dan Asia. Terletak di ujung timur jalur magmatik Sunda-Banda menjadikan Lembata kaya kandungan logam dasar.
Sudah orang pintar datang dan melakukan survai di Lembata. Geolog, H. Ehrat melakukan survai geologis dan pertambangan di Pulau Flores dan Lembata pada 1925. Dilanjutkan H.A. Brouwer meneliti geologi dan petrologi batuan alkali di Pulau Adonara, Lomblen dan Batutara tahun 1940. Tahun 1949 giliran Van Bemmelen yang mengorek isi perut Lembata untuk melakukan penelitan.
Kegiatan serupa kembali diadakan Koesomadinata S dan Noya Y (1983), Noya Y (1990), dan Hanafi S (1993) yang menghasilkan peta keterpadatan mineralisasi logam. Semua penyelidikan itu menyimpulkan perut Pulau Lembata terdapat emas, tembaga, perak dan timbal.
Penginderaan jarak jauh dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi (LPPG), sebuah badan di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung dengan Geological Survey of Japan (GSJ), menghasilkan rekomedasi tak beda jauh dengan penelitian sebelumnya.
Kajian LPPG dan GSJ menemukan hasil menakjubkan, yakni isi perut Lembata kaya akan emas. Yang luar biasa, kualitas emas Lembata jauh lebih hebat dari emas Cikotok di Jawa Barat dan Kalimantan.
Kenapa Lembata dijepret? Ryochi Kouda, staf GSJ menjelaskan Lembata kaya akan barit. Ia mengatakan, Pulau Sulawesi dan Flores juga dipotret. Namun tertutup awan, gambarnya tidak jelas. Berdasarkan foto satelit Landsat-3, kata Kouda, tampak struktur lingkaran yang diduga bekas kaldera, sejenis gunung berapi. Diameternya 10 km di bagian timur Lembata.
Kajian ilmiah para pakar ini sampai juga ke telinga investor. Dari 1970 sampai 2008, Lembata jadi incaran banyak investor. Mereka datang silih berganti, hingga yang terakhir yang grup Merukh Enterprises masih bercokol di tanah Lembata.
Investor ini telah menyelesaikan sejumlah tahap kegiatannya penyelidikan umum pertambangan dan eksplorasi bahan galian tembaga, emas dan mineral pengikutnya berdasarkan keputusan Bupati Lembata Nomor 37 Tahun 2005 tanggal 1 November 2005.
Saking besarnya investasi yang tak bisa dibiayai sendiri, Merukh menggandeng KPG Kupfer-Produkte Gmbh Jerman melalui kontrak karya. Sekadar diketahui, Pukuafu Indah punya saham 20 persen, bersama Newmont Gold Company (USA) (45 persen) dan Sumitomo Corporation Jepang (35 persen) pada PT Newmont Nusa Tenggara mengeksplotasi emas di Sumbawa.
Pertanyaan penting dan terbuka sekarang, entahkah kekayaan Lembata itu bakal menjadikan warganya makmur di tanah airnya sendiri? Ataukah mereka bakal terpinggirkan oleh pemilik modal? Jika hari-hari ini banyak warga Lembata meradang kemiskinan, meratap kekurangan bahan makanan, maka sedang terjadi sebuah ironi besar: tikus mati di lumbung padi. *
Pos Kupang edisi Jumat, 28 November 2008 halaman 1