Catatan tentang "Kupang Terkorup" (1)

Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

KUPANG kota terkorup. Sebaliknya, Yogyakarta kota paling bersih dari praktik-praktik korupsi. Kepolisian dan Bea Cukai paling rentan suap. 

Ini hasil survai Transparency International (TI) Indonesia. Hasil survai ini dipaparkan Manajer Riset TI Indonesia, Frenky Simanjuntak dalam seminar sosialisasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Hotel Kristal Kupang, Selasa (3/2/2009). Jauh sebelum seminar, TI Indonesia sudah merilis hasil survai ini di Jakarta.

Acara seminar mendapat respons besar. Setidaknya dapat dilihat dari jumlah peserta. Peserta yang hadir sebanyak 98 orang, melebihi target yang ditetapkan panitia, 62 orang. Jika dikategorikan, maka peserta paling banyak dari unsur pers (40 orang), disusul pejabat Pemkot Kupang (33 orang), perwakilan LSM/ormas (20 orang), sedangkan pelaku bisnis lima orang. Seminar berlangsung alot dan dinamis. Para peserta produktif bertanya dan memberi pernyataan.


Selain Frenky, pembicara lain adalah Kepala Bidang Pengembangan dan Penyuluhan Anti Korupsi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Gunawan Sunendar, AK, dan Pakar Hukum Tata Negara dari Undana Kupang, Dr. Stefanus Y. Kotan, S. H, M. Hum. Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion DB Putra bertindak sebagai moderator.

Tentang Kupang kota terkorup, Frenky menjelaskan, hasil survai menunjukkan bahwa IPK Kota Kupang 2,97. Skor ini paling rendah di antara 50 kota di Indonesia. Ini menandakan publik menilai bahwa praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat/instansi pemerintah masih lazim terjadi. Data itu juga berarti usaha pemerintah kota dan aparat penegak hukum belum maksimal mengusut dan menindak pelaku korupsi.

Survai dilakukan TI Indonesia selama September - Desember 2008 terhadap 50 kota, terdiri dari 33 ibu kota propinsi, ditambah 17 kota besar. Survai kuantitatif dengan menggunakan kuesioner/metode wawancara tatap muka. Sampel diambil dari tiga kelompok, yaitu pelaku bisnis (60 persen), pejabat publik 30 persen dan tokoh masyarakat 10 persen. 

Pelaku bisnis dibedakan atas tiga kategori, yaitu kecil, menengah dan besar. Umumnya pelaku bisnis bekerja di sektor formal. 

Mengapa pelaku bisnis? Karena pelaku bisnis hampir setiap saat berinteraksi dengan pemerintah daerah."Untuk sampel Kota Kupang, ada 70 responden, terdiri dari pelaku bisnis 44 responden, pejabat publik 19 reponden, tokoh masyarakat 7 responden. Pelaku bisnis kecil 20 responden, menengah 23 responden dan besar satu responden," papar Frenky.

Hasil survai ini mengusik. Membuat gerah. Bagi sejumlah orang yang hadir, stigma kota terkorup rasanya tidak pas. Pasalnya, Kupang sudah menyandang predikat sebagai Kota KASIH. Kota religius. Rumah ibadah ada di mana-mana. Eksekutif dan legislatifnya pemeluk agama yang taat. Setiap hari Jumat dan Minggu selalu ke masjid dan gereja, duduk paling depan. Mata tertutup kepala tunduk, dan tangan menempel erat di dada. Rajin berdoa. Karena itu, mana mungkin Kupang kota terkorup.

Lantaran gerah dengan hasil survai, TI Indonesia pun menjadi sasaran 'tembak'. Hasil survai berikut metodologinya dipertanyakan. Ada keraguan. Keraguan itu tampak dari berbagai pertanyaan dan pernyataan peserta pada sesi dialog.
Apolos Djara Bonga, misalnya. Anggota DPRD Kota Kupang ini mempertanyakan besarnya sampel beserta kriteria pengusaha besar, sedang dan kecil. Hal lain yang ia gugat adalah penelitian yang tidak memperhatikan karakter/konstelasi politik lokal. 
Karakter orangtua NTT tentu tidak sama dengan karakter orang Yogyakarta.

Apolos menduga pengusaha yang ditetapkan sebagai sampel adalah orang yang kecewa/tidak mendukung walikota dan wakil walikota Kupang pada saat survai dilakukan.

"Perlu ada sanksi hukum terhadap TI Indonesia jika diketahui hasil survainya tidak benar. Pasalnya, TI Indonesia telah memberi stigma kota terkorup bagi Kota Kupang," tegas Apolos.
Apolos juga mempertanyakan seberapa besar hasil survai ditindaklanjuti aparat penegak hukum. "Kalau hasil survainya tidak ditindaklanjuti, maka sama saja dengan bohong," tohok Apolos.

TI Indonesia juga 'disindir' Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, saat membuka kegiatan. "Kiranya survai yang dilakukan, hasilnya benar-benar bebas dari pesan sponsor dan berada dalam koridor proporsionalitas dan objektivitas, serta dilandasi oleh tujuan yang murni dengan cara-cara yang profesional serta tidak diboncengi oleh pihak tertentu yang memiliki tendensi bagi kepentingan pribadi atau kelompok," kata Adoe.

'Sindiran' Adoe berangkat dari pengalaman pribadinya. Adoe mengatakan, dia pernah menjadi korban lembaga survai. Dia berkisah, sebelum pemilihan Walikota Kupang tahun 2007, sebuah lembaga survai mengumumkan bahwa dirinya hanya mendapat dukungan 5 persen dari warga Kota Kupang. "Nyatanya saya yang menjadi walikota," katanya.

Dalam dunia penelitian, hasil survai beserta metodologinya memang kerap dipersoalkan. Apalagi kalau survai dilakukan oleh lembaga yang tidak kapabel serta menuruti saja kemauan sponsor. Tetapi, sepanjang survai dilakukan menurut metode penelitian yang tepat dan benar serta jauh dari pesan sponsor, maka hasilnya dapat diakui. 

Dari dua kategori lembaga survai ini, di mana posisi TI Indonesia? Jawabannya sangat tergantung sudut pandang dan kepentingan masing-masing orang.

Frenky Simanjuntak mengatakan, jika sebuah hasil penelitian dipertanyakan, maka harus dalam kerangka berpikir ilmiah.
Lebih lanjut, Frenky mengatakan, hasil survai IPK Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik merupakan hasil survai TI Indonesia yang ketiga kalinya diluncurkan. Pada tahun 2004, TI Indonesia meluncurkan IPK Indonesia terhadap 21 kabupaten/kota. Sedangkan pada tahun 2006, TI Indonesia meluncurkan IPK Indonesia terhadap 32 kabupaten/kota, salah satunya Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. IPK untuk Maumere sebesar 3,52, paling rendah di antara kabupaten/kota lainnya. Hasil tersebut menandakan masih tingginya tingkat korupsi di Maumere.

Stefanus Kotan mengatakan, survai merupakan cara kerja akademik. Karena itu, kesangsian terhadap suatu survai harus dibuktikan dengan survai baru atas objek yang sama. 
"Ada ruang untuk melakukan penelitian ulang untuk mendalami variabel yang digunakan. Sepanjang penelitian lain belum ada, maka hasil survai TI Indonesia dapat diterima," kata John Kotan, demikian sapaan Stefanus Kotan. Dia juga menegaskan, metodologi yang digunakan TI Indonesia dalam penelitian ini sudah memenuhi syarat.

John Kotan menegaskan, sebuah penelitian tidak ada dampak hukumnya. Menurut dia, seandainya setiap penelitian disertai pertanggungjawaban hukum, maka lembaga permasyarakatan (LP) sudah tidak bisa menampung orang-orang kampus. "Semua kita yang alumni (kampus) ini akan ada di LP, karena kita semua pasti pernah melakukan penelitian, " kata John Kotan. (bersambung)

Pos Kupang edisi Rabu, 25 Februari 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes