Diskusi Kedaulatan Pangan di NTT (3)

Oleh Hyeron Modo dan Yoseph Sudarso

"KITA tanam jagung untuk makan telur dan daging. Batang jagung, tongkol jagung dan biji jagung bisa menjadi pakan ternak seperti sapi dan kambing. Sapi dan kambing menghasilkan daging, susu dan kulit. Kencing dari sapi dan kambing bisa menghasilkan nitrat yang berfungsi sebagai pupuk, bio urine dan gas metana." 

Pernyataan itu disampaikan oleh Ir. Zet Malelak, dosen dan peneliti dari Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang dalam diskusi terbatas tentang Kedaulan Pangan di NTT. 

Menurut dia, seseorang yang menanam jagung tidak harus makan jagung. Ini sebuah thesis yang selalu ia kembangkan dalam rangka membuka wawasan bersama bahwa betapa tanaman lokal seperti jagung bukan hal yang sederhana. Jagung bisa menjadikan segala-galanya. Zet mencontohkan orang di Amerika Serikat menanam jagung bukan untuk mengkonsumsi jagung. Orang Amerika menanam jagung untuk peternakan. 

Biji jagung bisa menghasilkan tepung, bahan dasar bubur jagung beras, beras jagung, makan ringan (cemilan) dan pakan ternak. Jadi, konversi dan diversifikasi jagung menjadi sarat mutlak. "Petani kita hidup dengan 0,15 dolar Amerika Serikat (AS) per hari. Padahal, standar Bank Dunia 2 dolar AS per hari. Kita ini tergolong sangat miskin. Ini semua terkait soal menentukan kebijakan birokrasi. Petani tidak, kami peneliti lebih tidak dihargai, untuk apa mau meneliti," ujarnya. 

Menurut Zet, solusi yang harus dilakukan adalah diversifikasi dan konversi pangan lokal, misalnya, jagung. Kalau kita makan jagung seperti yang kita makan sekarang ini, itu namanya gila. Kalau kita orangtua tidak masalah, tetapi anak-anak pasti tidak bergizi.

Zainal Arifin, dosen Politani Kupang, setuju dengan pemikiran Zet Malelak. Ia menyatakan, kalau masyarakat (petani) tanam jagung tidak berarti harus makan jagung. Tetapi, bagaimana jagung yang dihasilkan oleh petani itu bisa menjadi uang, dan uang itu bisa beli telur atau daging. Karena itu, kalau masyarakat tanam jagung lalu tidak mampu beli telur, tidak mampu beli daging, maka rawan pangan tidak akan habis. Jadi, tanam jagung tidak untuk makan jagung, tapi makan daging, makan telur, dan makan beras (nasi).


Kasubdin Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) NTT, Ir. Nixon M Balukh, juga sependapat dengan Zet Malelak bahwa yang perlu dilakuan adalah pola pengembangan diversifikasi usaha sebagai sumber pendapatan masyarakat. Pola ini dengan mengkonversi hasil limbah pangan menjadi nilai tambah dan pengembangan usaha lainnya. 

Untuk diversifikasi usaha ini, kata Nixon, ada beberapa tahapan yang dilakukan. Pertama, diversifikasi produski pangan melalui intensifikasi. Kedua, diversifikasi ketersediaan pangan. Kenapa tidak semua wilayah tidak mampu menghasilkan pangan yang dibutuhkan masyarakatnya? Itu karena keterbatasan sumber daya. Ketiga, diversifikasi konsumsi pangan. Ketahanan pangan lebih bermain pada area itu. Pada tataran konsumsi pangan, kita harus menghasilkan penataan menu lokal. 

Diversifikasi konsumsi pangan, misalnya, buat jagung instan seperti mie instan, yang kalau makan tinggal celup di air. Mengapa kita tidak berpikir ke sana. Untuk itu, sosialisasi diversifikasi pangan jagung ini perlu dilakukan secara kontinyu. Kalau ini jalan, minimal kita sudah mengurangi ketergantungan pada beras.

Mantan Kepala Dinas Perkebunan NTT, Ir. Umbu Pura Woha berpendapat, masalah pangan di NTT adalah makanan pokok kita berubah dari jagung ke beras, yang nota bene membutuhkan air lebih banyak untuk irigasi. Jadi, mengubah pola makan ini juga malapetaka. Dalam ketahanan pangan, makanan pokok kita adalah jagung dan jenis jagung lainnya seperti sorgum dan ubi-ubian. Jeni-jenis tanaman ini tidak membutuhkan banyak air, tetapi itu semua kita lupakan.

Dosen Politani Kupang, Moch Hasan, mengatakan, yang perlu dilakukan tidak hanya mengajak masyarakat untuk tanam jagung, tetapi bagaimana mengubah image makan jagung seperti makan roti sehingga gengsi naik dan orang yang menanam bangga. Untuk bisa menciptakan kedaulatan pangan, demikian Hasan, kalau tiap keluarga memiliki lahan defintif, baik berupa sertifikat tanah dan sewa maupun hak guna. 
Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) Undana Kupang, Prof. Dr. Samuel Pakan, M.S, mengatakan, menjadi tugas kita semua mengubah orientasi petani menuju komersial. Petani harus dapat diubah sehingga nasib anak cucunya tidak seperti nasib petani saat ini. Menurut dia, sentuhan teknologi menjadi penting bagi petani untuk mengubah keadaannya saat ini menjadi lebih baik.

Pakan berpendapat, menanam jagung tidak saja untuk produksi, tapi ada aspek lain, yakni aspek pendidikan. "Kenapa generasi muda kita tidak tahu lagi jagung yang mana. Dengan kita menanam kembali jagung, suatu saat generasi muda kita tahu bahwa kita punya potensi. Jadi, ada efek pendidikan yang perlu ditularkan kepada anak cucu kita," ujarnya.

Selain itu, kalau mengembangkan kembali jagung berarti kita membuat saving terhadap sumber daya alam yang ada. Sebab, jika tidak dibuat dengan program yang jelas, lama kelamaan akan hilang semua. Ia menilai apa yang sudah dikembangkan sekarang adalah suatu upaya tidak hanya dalam kontesk untuk produksi dan konsumsi, tetapi kita mewarisi potensi dan nilai-nilai yang baik untuk anak cucu kita. Sebab, kalau anak cucu kehilangan nilai-nilai yang baik yang diberikan leluhur kita, ini akan menjadi stagnasi budaya yang membahayakan bagi mereka. 

Pakan dan dosen Fakultas Pertanian (Faperta) Undana Kupang, Ir. Rafael Leta Levis, M.Si, mengatakan, orientasi konsumsi masyarakat NTT sudah beralih dari pangan lokal ke beras.

Menurut Pakan dan Rafael, Indonesia paling tinggi konsumsi beras di dunia, 100 kg beras/kapita per tahun, sedangkan Jepang 60 kg dan Thailand 50 kg. Ini persoalan bagi bangsa kita karena 20 tahun sampai 30 tahun ke depan ada persaingan beras, dimana negara-negara di Asia Selatan beralih dari gandum ke beras. 

Rafael menegaskan, pemerintah perlu mencari solusi agar masyarakat kembali ke pangan lokal. "Kita ajak petani agar kembali ke pangan lokal. Pemerintah sudah melakukan itu, tetapi pendekatannya proyek sehingga jadi masalah". 

Pakan dan Rafael menyampaikan, tahun 2007 Faperta Undana bekerja sama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT ke Lembor dan Satar Mese untuk mencoba mengembangkan pola tanam padi ke palawija, terutama saat musim kemarau. Ini tidak berjalan baik karena pemerintah tidak mendukung.

Untuk kembali ke pangan lokal, misalnya, jagung, kata Pakan, perlu ada gebrakan guna mengembalikan persepsi masyarakat bahwa kadar vitamin dan protein jagung lebih tinggi daripada beras. Dengan cara itu secara perlahan 10 tahun akan datang masyarakat berorientasi menjadikan jagung sebagai konsumsi lokal.

Menurut Pakan, petani kita masih lemah di pasca panen. Dan. dalam aspek budidaya, petani masih lemah di pemupukan. Petani tahu pemupukan, tapi tidak tahu bagaimana memupuk yang baik, bagaimana memelihara yang baik, petani belum tahu. Juga perbenihan merupakan kelemahan lain bagi petani kita karena mereka masih menggunakan benih alamiah. (bersambung)

Pos Kupang edisi 23 Februari 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes