KUPANG, PK -- Hasil survai Transparency International Indonesia (TII) yang menyatakan bahwa Kupang sebagai kota terkorup dari 50 kota di Indonesia pada tahun 2008 patut direfleksikan oleh segenap pemangku kepentingan untuk melakukan pembenahan serius terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat di Kota Kupang.
Demikian benang merah yang ditarik dari seminar Sosialisasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik yang diselenggarakan TI Indonesia di Hotel Kristal-Kupang, Selasa (3/2/2009).
Kesimpulan ini disarikan setelah pemaparan materi oleh tiga pembicara dan sesi dialog (tanya jawab) peserta dengan pembicara. Ketiga pembicara dimaksud yaitu Frenky Simanjuntak (Manajer Riset TI Indonesia), Gunawan Sunendar, AK (Kepala Bidang Pengembangan dan Penyuluhan Anti Korupsi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara) dan Dr. Stefanus John Kotan, SH. M.Hum. Bertindak sebagai moderator, Dion DB Putra (Pemimpin Redaksi Skh. Pos Kupang).
Peserta seminar berasal dari kalangan akademisi, pejabat pemerintah, anggota DPRD, aktivis LSM, pers dan mahasiswa. Seminar dibuka Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe.
Frenky Simanjuntak menyatakan, Indeks Persepsi Korupsi Kota Kupang pada tahun 2008 adalah 2,97. Skor paling rendah dari kota lain ini mengindikasikan bahwa persepsi pelaku bisnis di Kota Kupang yang menilai bahwa praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat/institusi pemerintah masih lazim terjadi. Ini juga berarti bahwa usaha pemerintah kota dan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi belum maksimal.
Frenky menjelaskan, survai TI Indonesia di 50 kota selama September-Desember 2008, terdiri dari 33 ibu kota propinsi dan 17 kota besar. Survai menggunakan kuisioner dengan metode wawancara tatap muka. Sampel diambil dari tiga kelompok, pelaku bisnis (60 persen), pejabat publik 30 persen dan tokoh masyarakat 10 persen. Pelaku bisnis terdiri dari tiga kategori yaitu, kecil, menengah dan besar. Umumnya pelaku bisnis bekerja di sektor formal yang selalui berurusan dengan izin usaha dan NPWP.
Sampel Kota Kupang, jelas Frenky, ada 70 responden, terdiri dari pelaku bisnis 44 responden, pejabat pemerintah 19 reponden dan tokoh masyarakat 7 responden. Responden pelaku bisnis kecil 20 orang, menengah 23 orang dan besar 1 orang.
Menurut Frenky, persepsi suap yang dimaksud TI Indonesia dalam hal pengajuan izin usaha, prosedur pelayanan umum, pembayaran pajak, pemberian kontrrak pemerintahan, mendapat keputusan hukum yang menguntungkan, mempengaruhi pembentukan regulasi, hukum kebijakan dan mempercepat proses birokrasi. Sedangkan persepsi pelaku bisnis tentang koruspi dalam hal penggelapan oleh pejabat publik dan pertentangan kepentingan (dalam tender).
John Kotan mengatakan tidak meragukan validitas dan akurasi hasil survai TI Indonesia. Menurut John Kotan, hasil survai TI Indonesia sesungguhnya menegaskan fenomena korupsi yang telah terjadi selama ini, meski masih perlu diperkaya dengan variabel lainnya.
Sepanjang belum ada survai lain dengan desain metode yang lebih handal dan data yang lebih akurat, tegasnya, maka hasil survai TI Indonesia tentang IPK 2008 patut dijadikan acuan.
Gunawan Sunendar mengatakan, hasil survai TI Indonesia sering dijadikan acuan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai bahan masukan untuk mewujudkan terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima.
Seminar Indeks Persepsi Korupsi ini, berlangsung alot. Sejumlah peserta mempersoalkan akurasi hasil survai dan mempertanyakan metodologi yang digunakan TI Indonesia. Anggota DPRD Kota Kupang, Apolos Djara Bonga, misalnya, menyatakan, perlu ada sanksi hukum kepada TI Indonesia jika diketahui hasil survai tidak benar. Pasalnya, TI Indonesia telah memberi stigma kota terkorup bagi Kota Kupang.
Di awal kegiatan, Communication Officer TI Indonesia, Florian Vernaz mengatakan, hasil survai yang menempatkan Kota Kupang sebagai kota terkorup di Indonesia sebenarnya bisa digunakan sebagai acuan dalam memperbaiki persepsi korupsi di NTT.
"Saya mengajak semua kalangan di Kota Kupang untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di kota ini untuk memperbaiki persepsi korupsi. Dengan demikian, kinerja pelayanan publik bisa dapat ditingkatkan," kata Florian Vernaz.
Walikota Kupang, Daniel Adoe dalam sambutannya ketika membuka kegiatan tersebut, mengatakan, pemerintah kota telah membuat delapan kebijakan praktis yang dinilai dapat meminimalisir terjadinya praktik KKN.
Delapan kebijakan tersebut, di antaranya, pengumuman testing CPNS secara transparan, tender proyek secara terbuka lewat media massa, pengangkatan dan penempatan pejabat melalui fit and propert test dan bekerja sama dengan media massa untuk mendorong masyarakat melakukan kontrol terhadap pemerintah. Pemkot juga telah membuka kotak saran. "Saya sendiri telah menyiapkan telepon khusus untuk menerima pengaduan/laporan masyarakat," kata Daniel Adoe.
Terkait upaya menata pemerintahan yang baik, John Kotan mengatakan perlu penetapan standar kompetensi pejabat dan anggota legislatif secara baik. Jika tidak ada standar kompetensi maka selalu terbuka ruang terjadinya KKN.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah proses pembuatan kebijakan publik harus dilakukan secara trasnparan. Rakyat harus diberi ruang partisipasi dan kontrol atas kebijakan publik. (aca)