KAMOTO Rara Biha (Kamoto Rara Biha atas dan Kamoto Rara bawah) adalah sebuah kampung yang terletak di Desa Kabukarudi, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat.
Jarak tempuh dari Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat ke arah selatan menuju Kamoto Rara Biha sekitar 15 km. Di kampung Kamoto Rara Biha tersebut berdiri 15 rumah adat (6 rumah di Kamoto Rara atas dan 9 rumah di Kamoto Rara bawah) dan dihuni ratusan jiwa.
Disebut Kamoto Rara Biha karena kampung ini memiliki penghuni (dewa) tertinggi sebagai penguasa bumi yang oleh masyarakat setempat disebut Bora Ubu Nalo, Pati Ubu Jara. Kampung Kamoto Rara Biha sejatinya didiami dua suku yakni Suku Modo dan Suku Ubu Teda. Menurut cerita leluhur, kedua suku ini memiliki hubungan saudara.
Untuk mendapatkan pengaruh di masyarakat, kedua suku bersaing menunjukkan kebolehannya, bagaimana menaklukkan alam. Karena itu, keduanya terlibat beberapa kali pertarungan, unjuk kebolehan mistik saling menaklukkan hingga keluar sebagai penguasa.
Pertarungan pertama, memanggil kawula ata (orang utan), artinya berteriak sekuat tenaga di tengah hutan rimba. Manakala ada yang menjawab, berarti dia keluar sebagai pemenang. Pertarungan pertama ini dimenangkan Suku Ubu Teda.
Kemenangan ini dicurigai karena Suku Ubu Teda licik dengan kepiawaiannya terlebih dahulu menempatkan orang di tengah hutan dan pada saat Rato (kepala adat) Suku Ubu Teda berteriak, keluar jawaban dari balik semak hutan belukar hingga Suku Ubu Teda dinobatkan sebagai pemenang.
Merasa tidak puas atas kemenangan yang diraih Suku Ubu Teda, Rato Suku Modo mengajak Rato Ubu Teda berlomba menanam pisang (maikadana mulakalowol/mari kita menanam pisang), pisang siapa yang lebih dahulu berbuah, maka dia keluar sebagai penguasa. Keduanya mulai menanam pisang.
Sebetulnya, tanaman pisang milik Rato Mudo lebih dahulu berbuah. Tapi, Rato Ubu Teda kembali berulah dengan kelicikannya seraya berharap terus memenangkan pertarungan, mengakali Rato Modo dengan mencabut dan menukar pohon pisang milik Rato Modo yang berbuah dan mengganti pohon pisang miliknya yang belum berbuah. Pertarungan ini kembali memberi kesuksesan bagi Rato Ubu Teda.
Dua kali kalah tidak membuat Rato Modo takluk dan mengakui kehebatan Rato Ubu Teda, tetapi justru terus mengajaknya bertarung. Tawarannya langsung diamini Rato Ubu Teda. Kali ini Rato Modo mengajak Rato Ubu Teda, bertarung membangun rumah (maikada rayina uma/mari kita membuat rumah).
Selanjutnya, memindahkan rumah tersebut dari satu tempat ke tempat lain, dari satu bukit ke bukit lain atau dari satu gunung ke gunung lainnya. Keduanya sepakat membangun rumah. Setelah membangun rumah, keduanya mulai melakukan uji kekuatan magis, bagaimana memindahkan rumah tersebut.
Pertama, Rato Suku Modo mempersilakan Rato Suku Ubu Teda memulainya, silakan memanggil kekuatan Anda dan pindahkanlah rumah itu dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu bukit ke bukit lain dan dari satu gunung ke gunung lainnya.
Rato Ubu Teda mulai membaca mantra (magis) memanggil angin dan kekuatan alam kepunyaannya datang membantu memindahkan rumah. Sayangnya, kali ini dia gagal karena permintaan tidak terkabulkan. Magis miliknya tak manjur menghadirkan angin besar dan kekuatan alam lain untuk membantunya memindahkan rumah.
Perlahan tapi pasti, Rato Suku Modo berangsur-angsur bangun berdiri membacakan mantra memanggil kekuatan alam membantunya memenangkan pertarungan. Sekejap angin besar datang (puting beliung) langsung membawa rumah dan memindahkan dari satu ke tempat lainnya sesuai perjanjian.
Akhirnya Rato Ubu Teda mengakui keunggulan Rato Modo.
***
CERITA ini mau menggambarkan bahwa semua perbedaan harus diselesaikan secara jujur, pantang menyerah, mengakui keunggulan orang lain dan mau mengakui kesalahannya (bertobat), maka semua yang kita anggap berat terasa ringan.
Menurut salah seorang pemuda asal Suku Modo, Gela Ngongu, Suku Ubu Teda dan Suku Modo bersaudara dan mendiami Kampung Kamoto Rara Biha. Kamoto Rara Biha adalah kampung yang memiliki kepercayaan terhadap dewa yang diyakini sebagai penguasa tertinggi terhadap bumi ini (Bora Ubu Nalo, Pati Ubu Jara). Karena itu, seluruh urusan adat dan urusan keluarga harus mengundang dia untuk memberikan doa terlebih dahulu agar urusan tetap aman dan lancar serta tetap dalam perlindungan Yang Kuasa.
Pertarungan sebagaimana dipertandingkan kedua suku hanyalah gambaran agar segala persoalan diselesaikan secara kepala dingin, pantang menyerah, jujur dan mau mengakui kesalahan. Masyarakat kampung Kamoto Rara Biha memiliki dewa penguasa bumi (Bora Ubu Nalo, Pati Ubu Jara), yang dipercaya mengatur seluruh kehidupan makhluk hidup dunia ini. Karena itu, seluruh gerak langkah kehidupan manusia harus sejalan dengan perintah dewa. Sebaliknya, bila melakukan kesalahan dan mau mengakui kesalahan (bertobat), maka akan diberikan pengampunan dengan menyiram air suci yang disebut Burnave.
Konon Burnave sangat mujarab menyembuhkan segala macam penyakit. Dahulu, ketika suasana kehidupan keagamaan (adat merapu) masih sangat kental, hampir semua warga takut dan sangat menghormati suku modo. Pasalnya, kalau salah terhadap suku ini berakibat fatal yang bisa menimbulkan marah bahaya hingga korban jiwa.
Pada waktu itu, ketika menyebut suku Modo, pikiran orang langsung tertuju pada suku penguasa alam ((Bora Ubu Nalo, Pati Ubu Jara), dan air khasiat (Burnawe) yang dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit yang menyerang manusia.
Saat ini, 30 tahun kemudian, kejayaan masa lalu, ketangguhan masa lalu sebagaimana tertanam dalam budaya tak tampak lagi. Budaya Bora Ubu Nalo, Pati Ubu Jara dan Burnawe tidak sakral lagi seiring perkembangan dunia dewasa ini.
Perkembangan zaman membawa manusia lupa akan budaya leluhurnya, dan budaya modern membawa manusia hidup penuh kegamangan gemerlap dunia bahkan menjerumuskan manusia ke dunia hitam. (Petrus Piter)