KUPANG, PK -- Contreng, sebuah kata yang baru muncul berkaitan dengan perubahan teknik memilih dari mencoblos yang telah lama dikenal dari pemilihan umum (Pemilu) ke pemilu di Indonesia, namun pada pemilu tahun ini berubah menjadi contreng. Perubahan ini menimbulkan kebingungan terutama bagi masyarakat di desa-desa.
Anggota DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT), Pius Rengka, dalam suatu percakapan di Kupang, Jumat (6/2/2009), mengatakan, dirinya mencoba melakukan survei kecil-kecilan di sejumlah tempat, dan menemukan betapa orang di kampung-kampung bingung dengan kata contreng.
"Rakyat sudah terbiasa dengan kata "tusuk" atau "coblos" sehingga bingung ketika mendapat penjelasan bahwa pemberian suara pada Pemilu legislatif tanggal 9 April mendatang dengan cara menconteng," kata Rengka.
Dia menambahkan, seorang tokoh masyarakat Manggarai di Flores bagian barat yang ditemuinya terbingung-bingung ketika memperoleh penjelasan bahwa pemberian suara nanti, dengan cara menconteng.
"Conteng itu apa, kami di Manggarai belum tahu,"kata Pius Rengka mengutip tokoh masyarakat yang tidak disebutkan namanya itu. Namun, lanjut Rengka, pengakuan seorang tokoh masyarakat di Manggarai itu sama dengan warga di tempat lain di pelosok NTT.
Karena itu, Rengka membayangkan, betapa repotnya warga di desa yang berpendidikan rendah masuk ke tempat pemungutan suara (TPS) dengan membuka surat suara yang lebar dan panjang sebanyak empat lembar (untuk DPRD kabupaten/kota. DPRD propinsi, DPR dan DPD), mencari lambang partai, mencari nama figur, lalu mencontreng.
Dia menambahkan, meskipun sudah diberi contoh dan peragaan, warga di kampung-kampung yang berpendidikan rendah dan tidak terbiasa memegang alat tulis, mengalami kesulitan untuk mencontreng.
Pengamat politik dari FISIP Unika Widya Mandira Kupang, Drs. Mikael Tomy Susu, MSi, secara terpisah mengatakan, perubahan cara memilih dari coblos atau tusuk ke contreng, bisa memicu kesalahan, mengakibatkan banyak suara rakyat yang sia-sia. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah-daerah harus lebih banyak melakukan simulasi.
"Tanpa simulasi yang cukup luas dan merata di pelosok-pelosok, banyak orang tidak tahu cara memberikan suara pada hari pemilihan nanti dan ini bisa menurunkan kualitas demokrasi,"kata Tomy. (ant)
Pos Kupang 7 Februari 2009 halaman 8