IBARAT tikus mati di lumbung padi. Pepatah itu tepat untuk melukiskan kondisi kita di NTT. Pada satu sisi kita memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, tetapi di sisi lain, saban tahun rakyat di daerah ini selalu mengalami rawan pangan.
Apakah kita tidak mampu mengelolanya karena sumber daya manusia (SDM) yang di sektor pertanian belum cukup memadai? Apakah petani kita sudah tidak berniat lagi untuk bercocok tanam karena orientasi pemenuhan kebutuhan pangan kita sudah bergeser dari pangan lokal dan cenderung mendatangkan bahan pangan dari luar, seperti beras melalui Badan Usaha Logistik (Bulog)? Ataukah karena ketidakseimbangan dalam kebijakan pertanian?
Akademisi dari Politani Negeri Kupang, Ir. Zainal Arifin, MP, yang empat tahun terakhir ini lebih banyak bergelut bersama petani mengelola lahan mamar di Baumata dan Oeteta, menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi kita di NTT mengalami rawan bahan pangan. Sebab, potensi pangan lokal kita melimpah, hanya kita belum kelola optimal. "Jadi. tidak pantas kita rawan pangan, dan saya pikir itu tidak perlu terjadi. Sama artinya dengan kita krisis pangan di atas lumbung pangan. Punya potensi lahan
yang luas, tapi tidak dikelola optimal," tegasnya.
Nahor Taklal, salah seorang petani asal Oetata, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, sependapat dengan Zainal Arifin. Menurut Nahor, potensi NTT khususnya lahan kering cukup besar, tetapi sumber daya manusia agak kurang sehingga lahan tidur terlalu banyak.
Selama lima tahun mengumpulkan data di lapangan, kata Zainal Arifin, kami melihat bahwa salah satu penyebab rawan pangan khususnya rawan pangan kronis adalah potensi sumber daya alam yang belum dikelola optimal. Tetapi, ini bukan satu- satunya, masih banyak hal. Mungkin kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan hal-hal lainnya.
Menurut dia, lahan-lahan potensial di NTT ini cukup banyak, misalnya, di Konga, Kabupaten Flores Timur (Flotim), produksi padi masih di bawah standar antara, yakni antara satu ton sampai dua ton ton per hektar. Padahal produksi terendah saja empat ton per hektar. Artinya, kita masih bisa tingkatkan sampai enam ton per hektar karena sumber air tersedia. Begitu juga di dekat pusat informasi seperti di Baumata, Oenesu, dan yang paling luas di Oeteta dan kawasan sekitarnya seperti Bipolo dan Pariti, bisa ribuan hektar. "Saya pernah kunjung bersama direktur Politani. Saya katakan pada masyarakat di sana, kalau ada yang rawan pangan maka itu rawan pangan di atas lumbung. Karena apa yang bisa kita lakukan, lahan subur, tetapi dikelola tidak optimal. Sumber air tersedia, tetapi dikelola pun tidak optimal. Itu salah satu sumber rawan pangan kronis," kata Zainal.
Pola penggarapan yang dilakukan selama ini, demikian Zainal, dalam satu tahun hanya satu kali tanam. Kadang-kadang tiga tahun baru ditanam lagi karena dianggap tidak subur. Anehnya, musim kemarau tidak ditanami, padahal air tersedia. Karena itu, dalam tahun ini Politani Negeri Kupang mencoba dengan kelompok tani Maosofa untuk tanam jagung dengan mengadopsi model Baumata. Untuk sementara ini empat hektar dan lumayan hasilnya, ada penghasilan bulanan (jagung), tahunan (sapi).
Tinggal dipikir apa yang perlu ditanam lagi, seperti pisang, kelapa, sirih, pinang. Kalau ada yang punya pinang 200 pohon, dia bisa sejahtera. Jadi, kalau sudah begitu tidak ada rawan pangan. Pola pertanian yang dikembangkan oleh Politani Negeri Kupang di Baumata dan Oeteta merupakan pola pertanian tumpang sari. Di dalam satu areal lahan ditanami berbagai jenis tanaman, seperti sayur-sayuran (untuk panen mingguan), jagung (untuk panen bulanan), pisang (untuk tahunan), dan sapi (panen tahunan).
NTT sebagai daerah agraris memiliki luas lahan 1,6 juta hektar. Dari jumlah itu, seluas 1,5 juta hektar lahan pertanian kering dan 227 ribu hektar lahan pertanian basah. Sementara data dari Badan Ketahanan Pangan NTT menyebutkan, lahan bakar seluas 262.407 hektar, dan saat ini yang sudah difungsikan hanya 77 ribu hektar. Menurut Zainal, kalau saja menaikkan produksi perhektar menjadi empat ton, maka NTT bisa surplus pangan.
Tetapi, kenyataannya selama lima tahun terakhir, hasil pertanian hanya 2,6 ton per hektar untuk satu kali tanam per tahun. Kalau tanam satu kali setahun mencapai empat ton per hektar standar produksi rendah, maka NTT bisa surplus beras, walau kita beralih dari jagung ke beras. Lahan kering di NTT lebih luas lagi jumlahnya. Misalnya, lokasi persawahan Tarus lahan potensial yang sudah difungsikan baru 45 persen. Kalau dinaikan menjadi 60 persen, kita bisa swasembada. Selain itu, kata Zainal, pada umumnya di NTT lahan yang difungsikan sebagian tidak optimal bila dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga. Jumlah keluarga rawan pangan sampai Agustus 2008 mencapai 66.000 jiwa per kepala keluarga (empat jiwa).
Hasil kajian baik melalui penelitian sendiri dan mahasiswa terkait lahan potensial tercatat sekitar 1.500.000 hektar menyebar di Pulau Timor seperti, Besikama, Biboki Utara, Dataran Bena, Polo, Pariti, Oesao, Baumata dan Oenesu. Di Flores lebih banyak lagi lahan potensial yang belum digarap optimal. Misalnya, di Konga, Flores Timur. Konga itu mungkin satu ton lebih satu hektar, karena air tersedia. "Saya lihat Oeteta, Pariti bisa ribuan hektar lahan tidak dikelola optimal. Potensi air tanah mencukupi. Lahan potensial itu dikelola tiga tahun sekali pada musim penghujan," ujar Zainal.
Politani Negeri Kupang, lanjutnya, sempat mencoba menanam jagung musim kemarau di Oeteta. Hasilnya cukup menggembirakan. Komoditasnya ditata sedemikian rupa.
Menurut dia, ada banyak lahan mamar di NTT yang jika dikelola dengan baik akan memberikan hasil yang menggembirakan bagi petani. Mamar itu semacam hutan tani tradisional yang di dalamnya ada tanaman pisang, pinang, kelapa, ubi-ubian dan lain- lain. Kalau ada mamar pisang, berarti dominan pisang, tetapi ada kelapa, pinang dan ubi-ubianan. Sekarang kita coba menata kembali mamar pisang. Saya sebut menata kembali dengan teknologi, pisang diletakan di mana, pinang di mana dan lain-lain. Ini semacam tanaman sela. Pengalaman saya di lapangan, banyak lahan potensial di NTT yang belum ditata kembali secara baik sejak zaman Belanda. Yang perlu diperhatikan adalah menata kembali lahan-lahan mamar, bukan mengubah. Misalnya, mamar pinang dan mamar kelapa yang sudah tua diubah dengan tanaman lain sehingga lebih produktif. Untuk mencapai itu tidak mudah karena harus diskusi intensif dengan para petani.
Kalau petani bisa panen setiap minggu dari tanaman tumpang sari di lahan mamar, kata Zainal, petani kita tidak mungkin rawan pangan. Pisang bisa jadi kebutuhan harian, kemudian kelapa, pepaya, kangkung air, pakan ternak, ayam petelur, kambing dan sapi paron. Pisang bisa menjadi penghasilan harian petani; penghasilan triwulan petani, seperti jagung, kol dan sebagainya; Penghasilan tahunan petani, yakni sapi, ubi-ubian, nangka dan lain-lain.
Jadi, yang kami terapkan dalam pengelolaan lahan mamar di Baumata dan Oeteta denganc ara mengunjungi beberapa petani dan mendiskusikan dengan mereka untuk mengelola lahan-lahan mamar yang ada. Ini dilakukan setiap tahun dan tidak pernah berubah. Lalu kami coba hadir di kantor desa di salah satu desa di Kabupaten Kupang, kami mengelompokkan dalam hutan mamar tersebut, mana yang menjadi hasil harian petani.
Politani mencoba mengembangkan kompetensi dengan perguruan tinggi se- Indonesia, baik swasta maupun negeri. Kegiatanya, Iwub (inkubator wirausaha baru), Sibermas (sinergi pemberdayaan potensi masyarakat), unit Uji (usaha jasa dan industri) dengan cara mengurangi kegiatan pelatihan. Kebun Unit Uji Baumata sudah dikerjakan tahun 2004. Kini terdapat 300 rumpun pisang beranga dan setiap hari siap panen.
Masyarakat di Oeteta, Kecamatan Sulamu, untuk mencegah rawan bahan pangan, maka mau tidak mau harus memanfaatkan lahan yang selama ini belum tersentuh sama sekali. "Saya lihat lahan di Oeteta itu potensial. Kalau warga setempat setiap tahun kekurangan pangan berarti sebenarnya mereka itu rawan pangan dalam lumbung pangan, atau orang kelaparan dalam lumbung," kata Zainal.
Moch. Hasan dari Politani Negeri Kupang berpendapat bahwa untuk pertanian lahan kering perlu diakukan pola pertanian terpadu. Jadi, walaupun menaman jagung, pasti ada ternak. Kalau pola pertanian terpadu, maka diharapkan keluarga itu mau berusaha di dalam usaha tani itu.
Pola perkebunan tumpang sari yang dikembangkan Politani Negeri Kupang hasilnya menggembirakan. Tokoh masyarakat Baumata yang pertama memberi contoh mengubah kebun mamar menjadi areal tanaman pisang beranga. Ini contoh untuk mengingatkan kita bahwa petani sangat sulit termotivasi bila tidak memberi contoh praktis. Jika pola ini dikembangkan di NTT secara luas, maka diyakini suatu saat nanti NTT tidak lagi krisis pangan.
Sementara itu, Nikson Balukh, dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan NTT mengatakan, rawan pangan di NTT disebabkan beberapa hal. Pertama, kegagalan tanam dan kegagalan panen. Hal ini karena kondisi alam dan serangan penyakit. Kedua, produksi dan stok pangan, karena masalah produkivitas pertanian rumah tangga yang rendah disebabkan oleh masih diminati usaha tani yang subsistem dari semi komersil menuju ke komersil.
Ketiga, pendapatan yang masih rendah. Makanya perlu diversifikasi usaha, tidak bisa tidak karena kalau hanya satu usaha gagal, selesai sudah. Keempat, harga pangan yang tinggi akibat distribusi antar wilayah yang masih belum bisa berjalan dengan baik. Selain itu, ternyata ternak yang dimiliki masyarakat belum digunakan secara intensif sebagai keperluan konsumsi sehari-hari.
Menurut dia, pendekatan yang harus kita lakukan kalau kita mau mengatasi masalah ketahanan pangan di NTT, yakni pengembangan pangan untuk ketahanan pangan, dan pendekatan pengembangan pangan untuk peningkatan akses atau pendapatan masyarakat. (bersambung)
Catatan Redaksi
KAMIS, 5 Februari 2009, Pos Kupang menggelar diskusi terbatas bertema Kedaulatan Pangan Lokal di NTT. Diskusi menampilkan lima narasumber, yakni Petrus Pebe (petani asal Naimata), Marthen Taklal dan Nahor Taklal (petani asal Oeteta), Ir. Zet Malelak (dosen Fakultas Pertanian UKAW Kupang), Ir. Zainal Arifin, MP (dosen Politani Kupang). Peserta antara lain Ir. Umbu Pura Woha (Mantan Kepala Dinas Perkebunan NTT), Damyan Godho (Pemimpin Umum Pos Kupang), Ir Jack Oematan (Direktur Politani), Ir. Rafael Leta Levis (dosen Faperta Undana), Prof. Dr.Samuel Pakan, M.S (Faperta Undana), Miqdonth Abolla (Dinas Pertanian NTT), Made Sudirta, Yudith P, Nixon Balukh (Badan Ketahanan Pangan NTT), Ignasius Sinu (Kapuslit Budpar Undana), Moch Hasan (Politani) dan Rudolf Sain (Faperta UKAW). Hasil diskusi dirangkum Marsel Ali, Hyeron Modo, Apolonia Matilde Dhiu, dan Yosep Sudarso.
Pos Kupang edisi 21 Februari 2009 halaman 1