LIMA detik saja, mana tahan? Jannes Eudes Wawa menulis judul menggelitik itu di blognya, http://eudeswawa.kompasiana.com. Beta sungguh tak tahan segera membaca isi blog wartawan Harian Kompas lulusan FIA Undana tahun 1993 tersebut. Apa lagi yang hendak Jannes ceritakan? Beta mengenal mantan mahasiswa sosilogi itu sebagai penulis TKI. Dia juga piawai menganalisis masalah perikanan, kelautan serta bisnis penerbangan.
Ternyata Jannes menulis sesuatu di luar kebiasaan yaitu tentang efektivitas alat peraga kampanye. Rupanya politik menggoda perhatiannya pula. Jannes mewartakan dua kabar sekaligus. Kabar baik dan buruk. Baik sebagai bahan evaluasi. Buruk karena bakal mengganggu tidur para calon anggota legislatif (caleg) yang hari-hari ini gesit dan giat memperkenalkan diri kepada pemilih.
Jannes menggelitik para caleg dengan pertanyaan, apakah mereka pernah mengukur efektivitas alat peraga kampanye dalam meraup suara pemilih 9 April 2009? Demi memperkuat argumentasinya, dia mengutip peneliti dari Bandung School of Communication Studies, Santi Indra Astuti.
Santi mengatakan, ribuan spanduk, baliho dan stiker caleg hanya menjadi sampah visual. Warga enggan menyimak pesan-pesan yang hendak disampaikan caleg lewat media tersebut karena sangat tidak ramah di mata. Menurut Santi, warga hanya memiliki waktu sekitar 3 hingga 5 detik untuk menyimak pesan dalam atribut kampanye. "Sementara banyak baliho yang kalimatnya panjang-panjang," kata Santi dalam Kompas edisi Jabar, 21 Januari 2009. Menyimak 3 hingga 5 detik saja, mana tahan? Mana mungkin lama tersimpan dalam memori manusia yang terbatas?
Santi mengusulkan para caleg berkampanye dengan cara ekstrim. Misalnya, berorasi hingga memecahkan rekor MURI atau menggelar bakti sosial yang menyedot perhatian media massa. Jika media tertarik dan mempublikasikannya, dampaknya luar biasa terhadap popularitas caleg. Nah, siapa di antara ribuan caleg di beranda Flobamora mau merespons usul ini? Mumpung masih ada waktu! Beriklan di media massa itu bukan salah jalan. Menulis artikel atau memberi pernyataan tentang masalah aktual lewat media massa berganda hasilnya.
Survei terbaru oleh sebuah lembaga ternama di Indonesia juga mengungkapkan, pemilih lebih suka melihat poster, baliho dan spanduk dengan gambar cantik dan ganteng. Tetapi mereka cuma tertarik pada gambar bukan baca pesannya. Hal itu karena terlalu banyak poster, spanduk dan baliho yang mereka lihat di pinggir jalan, tembok gedung, rumah, pepohonan, kaca mobil. Ribuan alat peraga caleg membuat warga bingung. Kiranya ini secuil kabar gembira bagi caleg cantik dan ganteng. Berbahagialah tuan dan puan dengan karunia keindahan itu.
Simak pula hasil survei Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah (LPPD) Semarang yang dirilis 3 Februari 2009. Hasil survei itu menunjukkan hanya sekitar 15 persen masyarakat tahu tentang caleg yang akan dipilih. Sisanya 85 persen belum tahu caleg secara detail. Direktur Eksekutif LPPD, Teguh Yuwono, menjelaskan survei dilakukan di 10 daerah pemilihan Jawa Tengah dengan responden 1.000 pemilih potensial.
"Caleg yang gencar memasang poster atau spanduk itu ternyata fungsinya sebatas perkenalan diri," kata Teguh Yuwono yang melakukan survei selama Desember 2008 (Pos Kupang, 5 Februari 2009). Kendati lokasi survei di Jawa Tengah, beta yakin situasinya tidak beda jauh dengan Nusa Tenggara Timur. Kalau ditanya hari ini, sebagian besar pemilih Flobamora akan mengaku jujur belum mengenal caleg. Tak apa-apa bagi caleg. Toh hari H Pemilu masih dua bulan dari sekarang.
Survei LPPD juga menunjukkan pemilih menyukai caleg yang tampil percaya diri berdasarkan kemampuan. "Pemilih tidak suka terhadap caleg yang terlalu mengandalkan tokoh-tokoh lain, seperti Bung Karno atau figur lokal atau nasional. Caleg yang memajang foto diri dengan latar belakang tokoh nasional atau figur lokal atau foto ayahnya menunjukkan caleg itu tak percaya diri," kata Teguh Yuwono yang juga dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang.
Coba tuan dan puan perhatikan poster, baliho atau spanduk di Kupang atau kota lain di NTT? Lihat lebih dari lima detik, siapa saja caleg yang memasang foto diri dengan latar belakang "orang lain" di kanan atas atau samping? Jangan buru-buru bikin konklusi negatif. Pasang foto "orang besar" bukan berarti tidak PD alias percaya diri. Foto itu sekadar menambah modal percaya diri yang sudah ada.
Peran orang ketiga biasanya merusak rumah tangga atau hubungan asmara dua insan. Bagi caleg justru kebutuhan. Menurut survai LPPD Semarang, orang ketiga paling berperan dalam mempengaruhi pilihan caleg yaitu 28 persen, disusul 22 persen ditentukan sendiri oleh pemilih dan 21 persen atas faktor panutan alias ketokohan. Cuma 7,5 persen memilih caleg karena famili. Artinya, hubungan keluarga bukan andalan utama. Malah keluarga bisa menikam dari belakang!
Siapa orang ketiga? Beta kira para caleg Flobamora tahu dan mereka sudah lama lakukan pendekatan, untuk tidak menyebutnya "cari muka". Orang ketiga itu bisa pastor, pendeta, ustad. Bisa juga mosalaki (pemimpin adat), sahabat, anggota arisan, teman seforum. Jalin hubungan mesra dengan mereka adalah keniscayaan. Kalau teman tapi mesra? Wah, yang ini beta no comment sa! (dionbata@poskupang.co.id)