Diskusi Kedaulatan Pangan di NTT (2)

Oleh Marsel Ali dan Apolonia Matilde Dhiu

PANGAN menjadi masalah klasik di NTT yang dari tahun ke tahun selalu terjadi. Usia NTT sudah 50 tahun, tetapi masalah pangan tidak semakin baik, malah cenderung makin parah.

Memang ada upaya dari pemerintah, tapi tidak optimal. Sebetulnya kita punya potensi pangan cukup banyak di daerah ini, tapi belum di kelola optimal oleh masyarakat kita. Dinas Pertanian Tanaman Pangan juga sudah melakukan itu, tetapi semua itu masih jauh dari harapan. 

Demikian disampaikan oleh Pemimpin Umum Pos Kupang, Damyan Godho, dalam diskusi tersebut. Menurut dia, pada tahun 1969, Gubernur NTT, El Tari, mencanangkan tekad swasembada pangan, tetapi tekad itu tidak pernah berhasil dan hingga beliau meninggal tidak ada evaluasinya. Kemudian Gubernur NTT, Ben Mboi melanjutkannya dengan program Operasi Nusa Makmur (ONM) dan Operasi Nusa Hijau (ONH). Dari perspektif ONM, jagung arjuna pernah menjadi topik menarik. Saat terjadi surplus jagung, tetapi petani berang karena ternyata jagung tersebut mudah rusak.

Pihak Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, demikian Damyan, menanggapi itu dengan mendirikan Fakultas Pertanian. Salah satu fokus program dari fakultas ini yaitu pola ilmiah pokok pertanian lahan kering. Obsesi itu luar biasa. Mungkin sejumlah persoalan tersebut di atas menjadi penyebab sehingga pola pertanian tumpang sari yang menjadi tradisi masyarakat hilang. Padahal, kata Damyan, sistem pertanian tumpang sari itu cocok bagi petani di NTT. Jadi, untuk membangun kedaulatan pangan, kita perlu mencari jalan keluar 

Ia melihat persoalan pertanian disebabkan karena banyak tenaga kerja produktif meninggalkan desanya. Faktanya, banyak orang yang mengurus pasport ke luar negeri. Di desa hanya tinggal tenaga tidak produktif lagi. Akibatnya, kelapa tidak dipetik, cengkeh tidak dipetik, kakao tidak dipetik. 

Petani asal Naimata, Petrus Pebe mengatakan, ia seorang petani lahan kering dan hanya mengelola lahan seluas 3.000 meter persegi. Lahan tersebut ditanami jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Masih ada juga tanaman umur panjang sesuai dengan program Walikota Kupang. Hasil jagung setiap tahun hanya sekitar 400 bulir. Semuanya dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga dan 30 bulir untuk persiapan bibit musim tanam tahun berikutnya. Ladang tersebut dikerjakan tanpa sentuhan teknologi. Semua dikerjakan berdasarkan kemampuan dia sendiri.

Untuk menghidupi enam orang anak, tutur Petrus, ia terpaksa harus mencari pekerjaan lain pada musim kemarau. Terkadang ia harus bekerja ekstra keras memecahkan batu untuk dijual. Pekerjaan memecahkan batu selama empat hari baru menghasilkan uang Rp 90.000. Malah Petrus harus menjadi tukang batu dan menjual krei keliling Kota Kupang untuk menambah penghasilan keluarga. 

Sementara itu, Damyan Godho tertarik dengan cerita Petrus Pebe yang mengelola lahan seluas 3.000 meter persegi. Damyan mengatakan, dengan luas lahan seperti itu mengguunakan teknlogi pertanian yang canggih sekalipun, produktivitas pertanian seperti apa. Mampukah untuk kebutuhan dia dan keluarganya? 

Menurut dia, salah satu masalah pertanian kita di NTT adalah luas kepemilikan lahan. Jadi, terbatasnya luas lahan garapan petani merupakan salah satu sebab sehingga apa yang dilakukan petani tidak menjawab kebutuhan pangan petani di desa. Karena itu, 
salah satu rekomendasi dari simposium ini adalah perlunya program memperluas kepemilikan tanah petani di desa. Pemerintah perlu memperhatikan hal itu. 

Berbeda dengan Petrus Pebe, petani lainnya Marthen Taklal, asal Desa Oeteta, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang merupakan tuan tanah di wilayah itu. Setiap tahunnya, ia hanya mengerjakan lahan seluas tiga hektar. Lahan selebihnya dibiarkan 'tidur' tanpa seorang pun yang menggarapnya. Saat ini, ia hanya bisa menghibahkan lahan kepada warga pendatang seperti, Marthen Missa asal TTS.

Marthen Taklal menuturkan, petani setempat sudah mendapat pendampingan dari LSM sehingga pola pertanian tradisional perlahan-lahan mulai berubah. Diantaranya, Plan Internasional sempat membimbing 25 orang petani di Oeteta. Marthen Taklal menjadi pemimpin kelompok itu. 

Kelompok tani yang dipimpinnya itu berhasil mengerjakan empat hektar lahan basah. Setelah LSM pergi, bantuan silih berganti mendatangi warga setempat. Diantaranya, terbentuknya kelompok tani binaan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT sehingga petani bisa menggarap 13 hektar lahan. Pemerintah Kabupaten Kupang membantu dalam bentuk benih unggul. Terakhir, kata Marthen, Politani Negeri Kupang mendatangi warga setempat. Menurut Taklal, bantuan teknologi telah mendorong peningkatan hasil pertanian. 

Anggota Kelompok Tani asal Oeteta, Nahor Taklal mengakui hal itu. Menurut dia, kerja kelompok bisa mendorong peningkatan hasil pertanian. Petani setempat merasakan hal itu. Pengakuan para petani tersebut diatas menjadi sumber kajian menarik. Para petani kita bukan tidak mau bekerja tetapi keterbatasan yang ada pada mereka menjadi persoalan yang rumit dan butuh pendampingan dalam waktu cukup lama.

Mulai tahun 2008 Politani Negeri Kupang sudah mendatangi warga Oeteta. Ada bantuan stimulan bagi warga setempat, yakni biaya sewa traktor, bibit, pupuk dan pompa air. Semua bantuan tersebut hanya merangsang agar petani bisa melakukan lebih dari sekedar apa yang dibuat selama ini.

Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) Undana Kupang, Prof. Dr. Samuel Pakan, M.S, mengatakan, menjadi tugas kita semua mengubah orientasi petani menuju komersial. Petani harus dapat diubah sehingga nasib anak cucunya tidak seperti nasib petani saat ini. Menurut dia, sentuhan teknologi menjadi penting bagi petani untuk mengubah keadaannya saat ini menjadi lebih baik.

Kasubdin Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) NTT, Ir. Nixon M Balukh, mengatakan, NTT Food Summit 2008 di Maumere, Kabupaten Sikka sudah menghasilkan konsep dan aksi bersama dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan di NTT. Rumusannya sudah bagus, tinggal bagaimana implementasinya dan pola pendekatan yang dilakukan. 

Ketika bicara soal ketahanan pangan ke depan kembali ke potensi di masing-masing wilayah itu. Yang terjadi selama ini, kata Nixon, kita merumuskan kebijakan tanpa mempertimbangkan secara matang tentang potensi yang ada. Kalau dikatakan ada kebijakan pemerintah yang salah, itu benar. Salah satunya kalau saja dari dulu kebijakan orientasi pangan di NTT sudah kepada pangan lokal, maka persoalannya mungkin relatif sedikit. 

Tetapi kita di NTT terjebak pada kebijakan nasional yang mengangkat padi sebagai makanan utama. "Kita ikut tidak apa-apa, tetapi bagaimana secara regional kita mengangkat jagung dan ubi kayu jauh lebih tinggi dari beras. 

Selain itu, kondisi sekarang sekitar 120 ribu ton beras didatangkan dari luar. Mungkin 10-20 tahun ke depan mereka tidak akan suplai beras lagi untuk NTT karena kebutuhan mereka sendiri meningkat. Karena itu, kita harus menetapkan orientasi kedaulatan pangan ini ke suatu strategi jangka panjang. Sekarang kita sudah harus meningkatkan nilai sosial apakah jagung, ubi atau kacang menjadi sejajar, bahkan lebih tinggi dari beras. Menurut dia, meningkatnya konsumsi beras dipengaruhi perubahan orientasi. 

Sedangkan Yudith dari BKPP NTT mengatakan, bicara soal ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek, yakni ketersediaan pangan, distribusi pangan, dan pola konsumsi. 

Kapuslit Budpar Undana, Ignas Sinu, menyatakan, bicara kedaulatan pangan atau ketahanan pangan akan berujung pada upaya bagaimana menanggulangi kelaparan di NTT. Itu berarti juga kita menghargai tanaman yang diwariskan masyarakat NTT. Sinu pernah meneliti soal kacang hijau di Belu tahun 1996, semuanya roboh diterpa angin. Ternyata kacang yang ditanam berasal dari luar, sementara tanaman lokal sudah hilang.

Kebiasaan lain di Flores Timur, demikian Sinu, orang tidak mau makan padi yang ditumbuknya, tetapi menukarkannya dengan beras di toko. Penelitian di kampung- kampung di Ende juga mendapatkan kalau data jagung sulit diperoleh karena sebagian warga tidak lagi menanam jagung.

Kekuatan paling besar sebenarnya ada pada pemerintah, apakah kita bisa mengakali dana dari Jakarta untuk kepentingan daerah dengan mengangkat potensi lokal. Menurut dia, kesalahan besar pemerintah selama ini, kaget ketika mengetahui masyarakat lapar. Saat itu orang lalu bicara tentang beras dan padi. Saat lapar diberi beras sehingga kenyang. Saat itu tidak bicara soal potensi wilayah dan teknologi.

Konkritnya, kita kampanye kembali soal jagung dan ubi-ubian. Kita harus menyadari potensi lahan basah cukup. Kita mulai sepakat untuk kampanye terus menerus soal pangan lokal. Gubernur NTT sudah mengawali itu dengan mengumandangkan agar konsumsi pangan lokal paling kurang sehari dalam sepekan.

Dalam diskusi terungkap bahwa NTT sebagai daerah agraris dengan luas lahan pertanian 1,6 juta hektar. Rinciannya, 1,5 juta hektar lahan pertanian kering dan 227 ribu hektar lahan pertanian basah.Tetapi, ironisnya pangan masih tetap menjadi masalah bagi masyarakat NTT. Padahal, lahan dan potensi pangan lokal kita di daerah ini mampu mengatasi kekurangan pangan jika dikelola optimal. Sampai kapankah petani di NTT bisa memiliki kecukupan pangan? Pertanyaan ini hendaknya menjadi perhatian kita semua, terutama pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus melihat hal ini sebagai persoalan serius. (bersambung)

Pos Kupang edisi 22 Februari 2009 halaman 1 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes