BERICARA korupsi tidak harus berdasarkan fakta. Mengapa? Karena tidak mungkin ada koruptor yang mengaku mencuri uang. Tidak mungkin juga si pelaku mengaku melakukan praktik-praktik korupsi.
Kalau bicara fakta, erat kaitannya dengan pembuktian. Nah, urusan yang itu tu, porsinya aparat penegak hukum. TI Indonesia sadar betul tentang hal itu sehingga tidak mau masuk area hukum. TI Indonesia menilik korupsi dari persepsi publik (pengusaha). Bagi TI Indonesia, berbicara korupsi berdasarkan persepsi publik juga penting.
Bagaimana persepsi tentang korupsi itu terbentuk? Jawabannya bisa dijelaskan secara epistemologis. "Kita tidak perlu berdebat soal metodologi. Epistemologi penting," kata Romo Leo Mali, Pr.Epistemologi adalah ilmu tentang dasar-dasar pengetahuan. Dia meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan.
Menurut Romo Leo, persepsi terbentuk karena pengalaman. Romo Leo memberi contoh. "Saya enam kali ke kantor pajak. Setiap kali ke sana, kasih amplop, urusan beres. Datang kali ketujuh, kebetulan orang yang biasa saya kasih amplop itu sakit, lalu saya bertemu orang lain, saya pun kasih amplop dan urusan beres. Pengalaman berulang-ulang ini membentuk persepsi saya," ujar Romo Leo.
Anggota DPRD Kota Kupang, Nikolaus Fransiskus, S.Ip membagi pengalamannya membantu warga mengurus KTP. "Warga mau urus KTP saja datangi DPRD. Mereka minta bantuan Dewan karena melalui Dewan urusan lebih cepat. Kalau urus sendiri lama. Persepsi ini tidak bisa dibantah. Ada perilaku korupsi, jadi tidak usah kita mengingkarinya," kata Niko Frans.
Persepsi publik tentang korupsi juga bisa terbentuk dari hasil pemantauan/pengamatan langsung. Selain itu, karena pengaruh media massa. Media yang terus-menerus memberitakan praktik- praktik korupsi yang dilakukan orang ini dan itu di instansi publik akan membentuk persepsi publik.
Dalam seminar Sosialisasi IPK Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi, TI Indonesia memang tidak memaparkan secara detail persepsi publik (responden) tentang praktik-praktik korupsi.
Namun, dalam buku "Membedah Fenomena Korupsi: Analisa Mendalam Fenomena Korupsi 10 Daerah di Indonesia", terbitan TI Indonesia, diungkap bentuk-bentuk praktik korupsi yang terjadi dalam hubungan masyarakat (pengusaha) dengan pemerintah daerah. Juga praktik korupsi yang terjadi dalam tata pemerintahan. Buku setebal 194 halaman itu dibagikan kepada semua yang hadir dalam seminar itu.
Buku tersebut tidak memuat bentuk-bentuk praktik korupsi yang terjadi di Kota Kupang, tetapi yang terjadi di Kabupaten Sikka berdasarkan survai TI Indonesia pada tahun 2006. Berikut ini disebutkan beberapanya sekadar contoh.
Dalam urusan perizinan, misalnya, ada responden mengatakan, "Biasanya dalam hal pengurusan izin kegiatan usaha, kita sering membayar lebih agar pengurusan izin menjadi lebih mudah dan cepat."
Dalam kaitan dengan tender proyek, lain lagi. Seorang responden mengatakan, "Kalau mau tender, kita juga harus dekat sama kepala proyeknya, jadi bisa gol tendernya."
Responden lainnya mengatakan, "Memang diadakan proses tender, tetapi sebelum masukin nama kita, kita suka ditawarin untuk beli informasi oleh pejabat setempat. Harganya macam- macam, tapi pernah saya ditawarin untuk beli flash disk yang berisi informasi proyek dengan harga lima puluh juta."
"Proses tender kan untuk proyek-proyek besar, nah untuk proyek-proyek kecil, seringkali penunjukan langsung. Karena kan biasanya sebelum seorang pejabat naik, maka ia butuh sokongan dana, nah pengusaha masuk di situ, selanjutnya ketika pejabat itu berhasil naik, dia harus bayar hutang dengan memberikan beberapa proyek."
"Yang jadi masalah adalah tim seleksi tender orangnya cuma itu-itu saja, karena emang yang punya lisence sebagai tim seleksi cuma beberapa orang di sini. Jadi, siapa yang deket sama orang itu yang biasanya menang tender."
Adapun bentuk-bentuk praktik korupsi dalam tata pemerintahan, sebagaimana diungkap responden tokoh masyarakat adalah, "Korupsi berawal dari kebijakan, draf aturan diterima tanpa melalui mekanisme kontrol publik. Apakah melalui neko-neko sehingga proses pengesahannya lebih mudah tanpa melibatkan partisipasi publik? Rumusan APBD, pengadaan komputer yang harganya Rp 4 juta, misalnya, di-mark up menjadi Rp 7 juta. Perjalanan dinas yang berlebihan."
Diyakini masih banyak lagi praktik korupsi dalam hubungan pengusaha dan pemerintah daerah. Apa yang terjadi di Sikka rasa-rasanya tidak jauh berbeda dengan daerah lain, termasuk di Kota Kupang. Pasalnya, aparatur kita masih bermental koruptif. Setiap pelayanan yang diberikan, mesti ada imbalannya.
Jika persepsi publik seperti ini, maka sesungguhnya hasil survai TI Indonesia menegaskan fenomena korupsi yang telah terjadi selama ini di NTT, khususnya di Kota Kupang.
Data hasil monitor PIAR NTT pada tahun 2008, ada 108 kasus dugaan korupsi yang terjadi di 13 kabupaten/kota dan Propinsi NTT. Sebaran kasus per wilayah cukup merata dan berkisar 2 - 14 kasus. Kota Kupang menempati urutan kedua terbanyak (13 kasus korupsi), setelah Kabupaten Rote Ndao (14 kasus). Di bawah Kota Kupang ada pemerintah provinsi (12 kasus), Kabupaten Kupang (11 kasus), Kabupaten TTS dan Kabupaten Sikka (9 kasus).
Sementara data penyidik tindak pidana KKN Polda NTT tahun 2003-2008, sebagaimana disampaikan John Kotan, telah terjadi 11 kasus yang ditangani penyidik Polresta Kupang.
Data lainnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT menemukan penyimpangan pengelolaan keuangan di Kota Kupang selama 2004 - 2007 senilai Rp 101 miliar. Sampai saat ini, temuan itu belum ditindaklanjuti Pemerintah Kota Kupang.
Menariknya, nilai temuan BPK Perwakilan NTT ini lebih kecil dari temuan Pemerintah Kota Kupang sendiri yaitu senilai Rp 158,8 miliar lebih. Angka ini diumumkan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe saat menggelar jumpa pers di ruang Garuda Kantor Walikota, Jumat (20/2/2009).
Dari total penyimpangan senilai Rp 158,8 miliar lebih, yang belum diselesaikan Rp 12,46 miliar lebih. Rinciannya, yang terjadi di lembaga DPRD Kota Kupang senilai Rp 8,8 miliar dan sisanya Rp 4 miliar ada di satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Persepsi disertai data kasus korupsi yang dipaparkan menunjukkan bahwa publik (pelaku bisnis) melihat korupsi masih lazim terjadi di Kota Kupang. Usaha pemerintah dan aparat penegak hukum juga belum maksimal dalam mengusut dan menindak pelaku korupsi. Kalau memang demikian potretnya, mengapa kita harus mengelak? Kenapa harus malu mengakuinya? (bersambung)
Pos Kupang edisi Kamis, 26 Februari 2009 halaman 1