Pria berusia 54 tahun ini suka mengenakan songkok dengan aksesori khas Alor, Nusa Tenggara Timur. Tidak jarang pula ia memakai baju dari tenun tradisional. Kostumnya itu dimaksudkan sebagai ajakan bagi orang lain untuk mencintai produk lokal.
Pria itu adalah Ansgerius Takalapeta, Bupati Alor, NTT, periode 1999-2009. Ia termasuk salah seorang yang tak menikmati acara seremonial. Salah satu yang khas darinya adalah menyertakan penanaman pohon dalam setiap kegiatan.
"Jika ada program menanam 1.000.000 anakan pohon, setelah sampai 999.999 anakan yang ditanam, kami sisakan satu pohon untuk peresmian. Tetapi, sebelumnya kami kontrol, apakah semuanya telah ditanam secara benar atau tidak," katanya di Kupang, pertengahan Juli 2008.
Ia mengemukakan, hal itu untuk menunjukkan betapa penting mengontrol pohon yang ditanam daripada "sekadar" peresmian penanaman satu pohon sebagai simbol.
Ketika memulai tugas sebagai Bupati Alor pada 1999, sebagian besar daratan Alor masih gersang. Sejumlah sumber air di daerah ini terancam kering karena budaya tebas bakar dan tanam masih kuat di kalangan masyarakat setempat.
Takalapeta lalu mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang isinya melarang masyarakat melakukan kegiatan tebas bakar dan tanam. Dalam perda itu juga disebutkan kewajiban masyarakat ikut menanam pohon di setiap lahan kritis.
Pada tahun 2002 Takalapeta mencanangkan Hutan Wisata Nostalgia di wilayah Kecamatan Kalabahi yang luasnya 10 hektar. Lahan ini disediakan pemerintah daerah, termasuk bibit tanamannya, seperti mangga, jambu mete, cengkih, cendana, gaharu, kelapa, jati, mangga, pisang, dan mahoni. Hutan ini sebagai contoh agar masyarakat pun rajin menanam.
"Semua tamu yang datang ke Alor kami beri kesempatan menanam pohon, memberi nama pohon, nama penanamnya, serta tanggal dan tahun tanamnya. Di antara para tamu itu adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono, Menteri Kehutanan, staf Unicef, sampai para turis asing," ceritanya.
Lokasi hutan itu sengaja dipilih yang berdekatan dengan sejumlah sumber mata air. Dengan demikian, selama musim kemarau beberapa mata air di sekitarnya tidak lagi mengalami kekeringan.
Penangkaran rusa
Areal hutan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menanam aneka jenis pohon, tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk penangkaran rusa (Cervus timorensis). Jenis hewan ini terancam punah karena maraknya perburuan dan pembukaan lahan pertanian.
Agar masyarakat tak lagi memburu hewan, ia berusaha meyakinkan mereka bahwa binatang peliharaan pun pada mulanya liar. Tetapi, setelah dipelihara, hewan menjadi jinak.
Masyarakat juga diajak menangkar rusa di lahan mereka sendiri, selain di areal Hutan Wisata Nostalgia. Sebagai imbalan, mereka yang berhasil menangkar lebih dari tiga ekor hewan diberi penghargaan Rp 250.000.
"Jika jumlah rusa sudah banyak, kami jual. Tanduknya bisa dipakai untuk bahan membuat aksesori," kata Takalapeta.
Hutan Wisata Nostalgia juga disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat Alor, yakni sebagai hutan pamali yang tidak boleh diganggu. Jika masyarakat menebang pohon di hutan itu, akan terjadi bencana alam atau arwah nenek moyang yang mendiami hutan tersebut marah dan mengganggu penghuni rumah.
Masyarakat Alor menyebut hutan itu mamar, artinya areal sekitar sumber mata air yang tak boleh diganggu. Bahkan, masyarakat berusaha menanam dan merawat hutan tersebut karena terbukti menghasilkan sumber air untuk kehidupan.
"Kami usulkan agar yang ditanam itu bernilai ekonomis, seperti kemiri, pinang, kopi, mangga, pisang, nangka, dan kenari. Tanaman seperti itu bernilai ganda, memelihara sumber air sekaligus memberi kesejahteraan ekonomi masyarakat," katanya.
Cendana dan jati
Setiap kunjungannya ke kecamatan atau desa, selalu diwarnai kegiatan menanam meskipun itu ia lakukan pada musim kemarau. Setelah itu, petugas di kecamatan atau desa yang bersangkutanlah yang bertanggung jawab menyirami tanaman tersebut. Ia memberi contoh, dari 50 pohon yang ditanam pada musim kemarau, sebanyak 10-20 pohon bisa tumbuh sampai musim hujan tiba.
Di samping itu, ia juga membuat program penyediaan areal seluas 100 hektar untuk menanam cendana dan 200 hektar lahan jati di Alor. Kawasan ini menjadi proyek percontohan tanaman cendana dan jati di NTT.
Takalapeta yang putra Alor ini mengaku tak bisa menyembunyikan rasa senang bila pada kunjungan berikutnya ia melihat hasil tanaman itu. Ia sering datang ke suatu desa karena diundang warga untuk ikut memanen hasil perdana tanaman kopi, jambu mete, vanili, dan cengkih mereka.
Gerakan menanam ini merata di 17 kecamatan sehingga tidak ada kesenjangan kemiskinan yang tajam antara kecamatan satu dan lainnya. Kecamatan Pantai Barat di Pulau Pantar, misalnya, sampai tahun 1999 tak punya andalan sumber daya alam dan termasuk kecamatan termiskin. Tetapi, sejak 2005 daerah ini dijuluki "kecamatan jambu mete".
Setelah lima tahun Takalapeta memimpin Alor (1999-2004), kesejahteraan hidup masyarakat meningkat. Ini antara lain dilihat dari sebagian rumah warga yang semula berdinding bambu, berganti permanen. Siswa putus sekolah yang semula sekitar 4.000 orang per tahun, turun menjadi sekitar 1.400 orang.
Tak heran kalau ia terpilih lagi sebagai Bupati Alor periode 2004-2009. Selain itu, berbagai penghargaan dari pemerintah dan institusi lain pun jatuh ke tangannya.
Ia senang mendapat penghargaan, tetapi yang lebih membuatnya bahagia adalah melihat ribuan putra Alor bisa menjadi sarjana dari hasil perkebunan vanili, kopi, kelapa, kemiri, dan pinang, selain hasil laut.
"Penerbangan Kupang-Alor yang semula hanya satu kali dalam sepekan sudah menjadi enam kali. Banyak warga Alor yang tidak lagi menggunakan perjalanan laut, tetapi mampu menumpang pesawat ke Kupang," katanya.
Atas semua jasanya itu, Takalapeta pada 5 Juni meraih penghargaan Kalpataru dalam bidang lingkungan hidup untuk kategori pembina. Panitia Kapaltaru 2008 mendata 136 nomine. Dari jumlah ini mengerucut menjadi 12 orang dengan empat kategori, yakni perintis lingkungan 5 orang, pengabdi dan penyelamat lingkungan masing-masing 3 orang, serta hanya seorang pembina lingkungan. Dialah Ansgerius Takalapeta. (Kompas/Kornelis Kewa Ama)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/06/00470661/takalapeta.dan.gerakan.menanam.di.alor
Pria itu adalah Ansgerius Takalapeta, Bupati Alor, NTT, periode 1999-2009. Ia termasuk salah seorang yang tak menikmati acara seremonial. Salah satu yang khas darinya adalah menyertakan penanaman pohon dalam setiap kegiatan.
"Jika ada program menanam 1.000.000 anakan pohon, setelah sampai 999.999 anakan yang ditanam, kami sisakan satu pohon untuk peresmian. Tetapi, sebelumnya kami kontrol, apakah semuanya telah ditanam secara benar atau tidak," katanya di Kupang, pertengahan Juli 2008.
Ia mengemukakan, hal itu untuk menunjukkan betapa penting mengontrol pohon yang ditanam daripada "sekadar" peresmian penanaman satu pohon sebagai simbol.
Ketika memulai tugas sebagai Bupati Alor pada 1999, sebagian besar daratan Alor masih gersang. Sejumlah sumber air di daerah ini terancam kering karena budaya tebas bakar dan tanam masih kuat di kalangan masyarakat setempat.
Takalapeta lalu mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang isinya melarang masyarakat melakukan kegiatan tebas bakar dan tanam. Dalam perda itu juga disebutkan kewajiban masyarakat ikut menanam pohon di setiap lahan kritis.
Pada tahun 2002 Takalapeta mencanangkan Hutan Wisata Nostalgia di wilayah Kecamatan Kalabahi yang luasnya 10 hektar. Lahan ini disediakan pemerintah daerah, termasuk bibit tanamannya, seperti mangga, jambu mete, cengkih, cendana, gaharu, kelapa, jati, mangga, pisang, dan mahoni. Hutan ini sebagai contoh agar masyarakat pun rajin menanam.
"Semua tamu yang datang ke Alor kami beri kesempatan menanam pohon, memberi nama pohon, nama penanamnya, serta tanggal dan tahun tanamnya. Di antara para tamu itu adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono, Menteri Kehutanan, staf Unicef, sampai para turis asing," ceritanya.
Lokasi hutan itu sengaja dipilih yang berdekatan dengan sejumlah sumber mata air. Dengan demikian, selama musim kemarau beberapa mata air di sekitarnya tidak lagi mengalami kekeringan.
Penangkaran rusa
Areal hutan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menanam aneka jenis pohon, tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk penangkaran rusa (Cervus timorensis). Jenis hewan ini terancam punah karena maraknya perburuan dan pembukaan lahan pertanian.
Agar masyarakat tak lagi memburu hewan, ia berusaha meyakinkan mereka bahwa binatang peliharaan pun pada mulanya liar. Tetapi, setelah dipelihara, hewan menjadi jinak.
Masyarakat juga diajak menangkar rusa di lahan mereka sendiri, selain di areal Hutan Wisata Nostalgia. Sebagai imbalan, mereka yang berhasil menangkar lebih dari tiga ekor hewan diberi penghargaan Rp 250.000.
"Jika jumlah rusa sudah banyak, kami jual. Tanduknya bisa dipakai untuk bahan membuat aksesori," kata Takalapeta.
Hutan Wisata Nostalgia juga disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat Alor, yakni sebagai hutan pamali yang tidak boleh diganggu. Jika masyarakat menebang pohon di hutan itu, akan terjadi bencana alam atau arwah nenek moyang yang mendiami hutan tersebut marah dan mengganggu penghuni rumah.
Masyarakat Alor menyebut hutan itu mamar, artinya areal sekitar sumber mata air yang tak boleh diganggu. Bahkan, masyarakat berusaha menanam dan merawat hutan tersebut karena terbukti menghasilkan sumber air untuk kehidupan.
"Kami usulkan agar yang ditanam itu bernilai ekonomis, seperti kemiri, pinang, kopi, mangga, pisang, nangka, dan kenari. Tanaman seperti itu bernilai ganda, memelihara sumber air sekaligus memberi kesejahteraan ekonomi masyarakat," katanya.
Cendana dan jati
Setiap kunjungannya ke kecamatan atau desa, selalu diwarnai kegiatan menanam meskipun itu ia lakukan pada musim kemarau. Setelah itu, petugas di kecamatan atau desa yang bersangkutanlah yang bertanggung jawab menyirami tanaman tersebut. Ia memberi contoh, dari 50 pohon yang ditanam pada musim kemarau, sebanyak 10-20 pohon bisa tumbuh sampai musim hujan tiba.
Di samping itu, ia juga membuat program penyediaan areal seluas 100 hektar untuk menanam cendana dan 200 hektar lahan jati di Alor. Kawasan ini menjadi proyek percontohan tanaman cendana dan jati di NTT.
Takalapeta yang putra Alor ini mengaku tak bisa menyembunyikan rasa senang bila pada kunjungan berikutnya ia melihat hasil tanaman itu. Ia sering datang ke suatu desa karena diundang warga untuk ikut memanen hasil perdana tanaman kopi, jambu mete, vanili, dan cengkih mereka.
Gerakan menanam ini merata di 17 kecamatan sehingga tidak ada kesenjangan kemiskinan yang tajam antara kecamatan satu dan lainnya. Kecamatan Pantai Barat di Pulau Pantar, misalnya, sampai tahun 1999 tak punya andalan sumber daya alam dan termasuk kecamatan termiskin. Tetapi, sejak 2005 daerah ini dijuluki "kecamatan jambu mete".
Setelah lima tahun Takalapeta memimpin Alor (1999-2004), kesejahteraan hidup masyarakat meningkat. Ini antara lain dilihat dari sebagian rumah warga yang semula berdinding bambu, berganti permanen. Siswa putus sekolah yang semula sekitar 4.000 orang per tahun, turun menjadi sekitar 1.400 orang.
Tak heran kalau ia terpilih lagi sebagai Bupati Alor periode 2004-2009. Selain itu, berbagai penghargaan dari pemerintah dan institusi lain pun jatuh ke tangannya.
Ia senang mendapat penghargaan, tetapi yang lebih membuatnya bahagia adalah melihat ribuan putra Alor bisa menjadi sarjana dari hasil perkebunan vanili, kopi, kelapa, kemiri, dan pinang, selain hasil laut.
"Penerbangan Kupang-Alor yang semula hanya satu kali dalam sepekan sudah menjadi enam kali. Banyak warga Alor yang tidak lagi menggunakan perjalanan laut, tetapi mampu menumpang pesawat ke Kupang," katanya.
Atas semua jasanya itu, Takalapeta pada 5 Juni meraih penghargaan Kalpataru dalam bidang lingkungan hidup untuk kategori pembina. Panitia Kapaltaru 2008 mendata 136 nomine. Dari jumlah ini mengerucut menjadi 12 orang dengan empat kategori, yakni perintis lingkungan 5 orang, pengabdi dan penyelamat lingkungan masing-masing 3 orang, serta hanya seorang pembina lingkungan. Dialah Ansgerius Takalapeta. (Kompas/Kornelis Kewa Ama)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/06/00470661/takalapeta.dan.gerakan.menanam.di.alor