BEGITULAH Julianus Akoit memilih judul pertama untuk laporannya tentang sejumput soal di perbatasan Indonesia- Timor Leste. Laporan Julianus Akoit dipublikasikan secara serial oleh Harian Pos Kupang tanggal 14-16 Februari 2008. Saya mengutip kembali beberapa bagian di bawah ini.
Nyonya Maria Cun Romea (50) mengacungkan jari tangannya lalu berdiri. Sejenak ia menarik napas dalam-dalam. Matanya berkaca-kaca, menahan isak tangis. Suaranya terbata-bata dan terdengar parau.
"Kalo on bin le susar, ela le'uf, het tamat fin, ka tem teu batas sonu, hit paok ninik nok hit loet pilu taba batas noel," ujarnya.
Artinya kurang lebih seperti ini: Kalau ada keluarga yang meninggal dunia, kami tidak bisa menyeberang ke desa sebelah untuk menyampaikan ucapan turut berduka cita. Kami hanya datang di batas tepi sungai lalu mengirim nyala lilin, air mata dan uang duka cita lewat air yang mengalir di sungai.
Sejenak perempuan paruh baya asal Sakato, Oekusi itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Semua yang hadir hanya tertunduk diam. Tidak ada yang bersuara. Semua membisu.
Lalu ia melanjutkan, "Hit toet neu hit palenat nua sin, nan sa moe kit on ia?" ujarnya dalam nada tanya. Artinya kira-kira demikian: Coba kita tanya kepada dua pemerintah (maksudnya Indonesia dan Timor Leste, Red), kenapa kita diperlakukan seperti ini? (Pos Kupang, 14 Februari 2008, halaman 1)
Siapa yang hari ini sanggup memberi jawaban kepada Maria Cun Romea? Apakah Pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui Pemerintah Propinsi NTT, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, Pemerintaha Distrik Oekusi atau siapa?
Curahan hati Maria Cun Romea sekadar menegaskan soal besar di depan mata bahwa kehidupan masyarakat di perbatasan kedua negara masih menyisakan banyak perkara, pekerjaan rumah dan kemungkinan banyak jatuh korban baru kalau para pemangku kepentingan di Propinsi NTT cuma berpangku tangan.
Sebagaimana dilaporkan Pos Kupang, menjelang akhir 2007 Fundacao Fatu Sinai Oe-Cusse, sebuah LSM dari Distrik Oekusi, Timor Leste, dibantu Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) NTT, menggelar dialog yang melibatkan 600-an warga 24 desa di 10 titik sepanjang garis perbatasan RI - Timor Leste.
Isu yang dibahas dalam dialog yaitu masalah pemberlakuan Pas Lintas Batas (PLB), pasar tapal batas dan pembentukan lembaga adat bersama. Akhir Januari 2008, Direktur Departemen Bilateral Kementerian Luar Negeri Timor Leste, Marcos da Costa, memberi sinyal PLB segera diberlakukan Juli 2008. Tapi harapan itu sirna ketika Presiden Timor Leste, Ramos Horta, terluka parah ditembak gerombolan tentara pemberontak yang dipimpin Mayor Alfredo Reinado, Senin 11 Februari 2008. Konflik berdarah ini berdampak pada kelanjutan realisasi hasil dialog itu. Pemberlakuan PLB yang disetujui pemerintah kedua negara melalui pendandatangan nota kesepahaman (MoU) tanggal 11 Desember 2003 -- agaknya sulit direalisaskan bulan Juli mendatang.
Maka jika terjadi lagi peristiwa duka di tapal batas, keluarga kembali hanya memandang dari kejauhan. Mengirim air mata duka lewat sungai. Ini tragedi. Timor yang satu utuh -- terbelah atas nama panji negara berbeda. Indonesia-Timor Leste.
Api dalam sekam
Terkatung-katungnya pemberlakuan PLB merupakan salah satu sumber keresahan masyarakat di perbatasan. Tali persaudaraan, hubungan kekerabatan mereka seolah "dikekang" oleh ketentuan pemerintah dua negara, RI - Timor Leste.
Misalnya, untuk mengunjungi saudara laki-lakinya yang tinggal di Desa Sakato (Okusi - Timor Leste) karena menikah dengan gadis di sana, seorang warga Wini (TTU-Indonesia) harus ke Atambua, Kabupaten Belu untuk mengurus paspor dan visa, baru bisa menyeberang ke desa sebelah.
Padahal jarak rumahnya dengan rumah saudara laki-lakinya itu cuma 150 meter. Jika nekat menyeberang diam-diam, sangat mungkin ditangkap tentara yang menjaga perbatasan. Kalau ditangkap, urusannya bisa panjang dan berliku. Kita sudah biasa mendengar warta penangkapan. Bahkan kejadian yang lebih miris hingga jatuh korban jiwa.
Pas Lintas Batas (PLB) merupakan terobosan yang sangat baik dan telah dipraktekkan di beberapa negara. Usul yang muncul adalah PLB RI-Timor Leste itu diurus masing-masing kepala desa di tapal batas. Jika ada warga yang mau menghadiri acara kedukaan, pesta adat, pesta nikah, pesta Natal dan Paskah, bisa pakai PLB. Boleh ada uang administrasi yang dipungut kepala desa. Tapi pungutan itu tidak membebani penduduk setempat. Jika PLB diberlakukan, akan sangat membantu penduduk di perbatasan. Mereka dapat bepergian tanpa dihantui perasaan takut melanggar batas negara dan dihukum.
Saya kembali mengutip kata-kata Direktur Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) NTT, Victor Manbait, S.H, yang memprakarsai dialog warga di tapal batas akhir tahu 2007 lalu. Ia menjelaskan tanda khusus PLB harus disepakati bersama dua negara.
"Soal pemberlakuan PLB, mesti ada kesepakatan teknis pelaksanaannya oleh Timor Leste dan RI. Sambil menunggu kebijakan pemberlakuan PLB, saya kira pemerintah desa di dua negara yang ada di tapal batas bisa memberlakukan surat jalan dengan diketahui oleh aparat keamanan yang bertugas di tapal batas," demikian Manbait (Pos Kupang, 14 Februari 2008).
Terkatung-katungnya regulasi yang memudahkan bagi penduduk di kawasan perbatasan RI-RDTL hanyalah salah satu masalah dari litani persoalan di sana. Kecuali karena masalah politik dalam negeri Timor Leste yang belum stabil, pemerintah Indonesia tidak cukup dengan menyalahkan atau menuding. Toh sekecil apapun kejadian di tapal batas, masyarakat dan pemerintah kedua negara sama-sama merasakan dampaknya.
Masih banyak perkara lain yang urgen. Beberapa bisa disebut, misalnya kepastian titik batas antara Indonesia-Timor Leste. Sampai saat ini pemerintah kedua negara masih memegang peta wilayah berbeda. Persoalan ini ibarat api dalam sekam.
Sesewaktu akan menyala dan meledak. Tidak sekadar terpaut motif politik, tetapi juga ekonomi, sosial dan budaya.
Di bidang ekonomi, pemerintah RI sudah melakukan sejumlah langkah guna menghidupkan aktivitas di tapal batas. Pemerintah membangun pasar tradisional di sejumlah titik di kawasan tapal batas Kabupaten Belu seperti di Motaain, Turiskain dan Motamasin. Selain di Belu, pemerintah Indonesia juga membangun tiga unit tradisional di wilayah Kabupaten TTU yang berbatasan langsung dengan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oekusi.
Ketiga pasar tradisional itu berlokasi di Napan (Kecamatan Miomafo Barat), Wini (Kecamatan Insana Utara), Haumeniana (Kecamatan Miomafo Timur) dan sebuah pasar di Nekliu, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang. Tetapi sudah berulang dilaporkan media massa, pasar-pasar itu tidak berfungsi. Tidak ada aktivitas perdagangan di sana. Akar soalnya kembali ke titik semula, PLB. Usia MoU PLB hampir lima tahun. Namun, realisasinya masih sebuah tanda tanya.
Pers berbuat apa?
Catatan di atas sekadar ilustrasi kecil tentang masalah yang dihadapi masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste. Pertanyaan penting sesuai tema diskusi kita hari ini adalah: Insan pers di Nusa Tenggara Timur (NTT) berbuat apa? Apa yang telah dan akan mereka kerjakan untuk mendorong masyarakat perbatasan RI-Timor Leste dapat hidup berdampingan secara damai?
Mengingat saratnya bibit dan potensi konflik di perbatasan RI- Timor Leste, maka pendekatan jurnalisme yang perlu dikembangkan terus-menerus oleh insan pers Indonesia (NTT) adalah jurnalisme damai. Tidak bisa lain!
Pengamatan sambil lalu yang saya lakukan menunjuk pada kenyataan berikut ini. Insan pers di NTT belum memainkan peran yang dibutuhkan untuk mendorong terciptanya masyarakat di perbatasan untuk hidup berdampingan secara damai. Arus utama jurnalisme yang berkembang di daerah ini masih memperlihatkan peran jurnalis sebagai anjing penjaga (watch dog). Di tingkat praksis, wartawan cenderung menunggu terjadinya kekerasan atau konflik di tapal batas baru meliput fakta dan data dengan menganut prinsip cover both side. Pilihan ini tidak salah. Tetapi peran wartawan sekadar melaporkan peristiwa atau kejadian.
Menurut saya, peran semacam itu tidak cukup. Wartawan NTT
hendaknya menyadari bahwa mereka berkarya di daerah dengan potensi konflik yang tinggi. Maka arus utama yang dikembangkan adalah jurnalisme alternatif. Pilihannya jatuh pada jurnalisme damai, bukan jurnalisme perang. Jurnalis tidak berperan sebagai anjing penjaga semata. Tidak menunggu datangnya peristiwa atau konflik.
Sebaliknya mereka proaktif untuk mencegah terjadinya kekerasan atau konflik dan meliput peristiwa secara berimbang dari segala sisi secara kualitatif (cover multisides). Aliran ini berpandangan mengakomodir kedua pihak yang berkonflik saja tidak cukup, tapi harus melibatkan semua pihak terkait.
Jurnalisme damai dikembangkan oleh Johan Galtung, seorang profesor perdamaian asal Norwegia. Galtung mempopulerkan istilah jurnalisme damai tahun 1970-an. Ketika itu dia mencermati banyaknya jurnalis yang menerapkan prinsip jurnalisme perang.
Diasumsikan, jurnalisme perang sama halnya dengan jurnalis yang meliput pertandingan olahraga. Yang ada hanyalah fokus pada kemenangan pihak yang bertanding. Jurnalisme damai diasumsikan sebagai orang yang meliput kesehatan. Jurnalis kesehatan akan menjelaskan perjuangan seorang penderita kanker melawan sel-sel kanker yang menggoroti tubuh penderita. Sang jurnalis tentu akan menceritakan penyebab terjadinya kanker dan memberikan gambaran tentang upaya penyembuhannya serta pencegahan yang bisa dilakukan.
Sekarang setiap wartawan NTT (Indonesia) dapat bertanya kepada dirinya sendiri, di manakah dia berada ketika melaporkan masalah yang melanda masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste? Pewarta damai atau menebarkan perang?
Bagian dari solusi
Sering diingatkan bahwa media massa bukan hanya menyuguhkan fakta dan realita, tapi perlu menjadi bagian dari solusi. Jurnalisme damai adalah praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri. Jurnalisme damai mengembangkan liputan yang berkiblat kepada masyarakat (people oriented).
Berbeda dengan jurnalisme perang yang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas dan kerusakan material. Pola seperti ini banyak dianut infotaiment di Indonesia yang lebih suka melaporkan konflik rumah tangga selebritis.
Penganut jurnalisme perang enggan menggali asal-usul konflik, mencari alternatif penyelesaian dan berempati pada dampak kemanusiaan yang ditimbulkannya. Jurnalisme perang lebih suka memperjauh jarak pihak berkonflik dalam kerangka kalah-menang, bukan mendekatkan keduanya untuk berdamai.
Galtung mendorong pers mengubah teori klasik jurnalisme perang menjadi jurnalisme damai (peace journalism). Pers harus mengambil peran memprovokasi pihak yang bertikai menemukan jalan keluar. Pers melakukan pendekatan menang-menang dan memperbanyak alternatif solusi konflik.
Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua semua pihak memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur dari kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik. Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik.
Jurnalisme damai memberi porsi sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan menyebutkan nama pelaku kejahatan di kedua belah pihak.
Bagi penggagas junalistik damai itu, pers bukanlah sekadar penyampai informasi apa adanya soal darah dan kemarahan, melainkan harus kreatif membangun debat publik yang sehat bagi kepentingan umum yang luas: memberikan empati pada anak-anak yang telantar, penderitaan rakyat tak berdosa akibat konflik. Wartawan perlu menyadari bahwa masyarakat tidak suka dengan pemberitaan konflik, kekerasan dan kurang manusiawi. Masyarakat membutuhkan laporan dengan bingkai (frame) lebih luas, lebih berimbang dan akurat.
Tidak lagi menunggu
Jurnalisme damai diharapkan menjadi referensi bagi wartawan di NTT dalam mengemas laporan tentang kehidupan masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste. Sudah saatnya kita mengembangkan jurnalisme alternatif ini. Kita tidak cukup lagi hanya menunggu peristiwa bernilai berita tinggi di perbatasan baru bergegas meliput. Hari ini pun kita bisa ke sana untuk menggali dan menemukan persoalan yang dihadapi saudara- saudari kita sendiri. Jujur saja, liputan semacam itu masih sangat minim. Dapat dihitung dengan jari.
Mari kita belajar dari konflik Aceh ketika para jurnalis menjadi sangat sulit mengungkap kebenaran secara cover both side akibat patron patriotisme bahkan nasiolisme. Atas nama patriotisme, argumen tentang obyektivitas, etika atau kebenaran menjadi kabur.
Timor Leste jelas berbeda dengan Aceh. Patriotisme tidak mungkin diletakkan secara keliru ketika kita memotret persoalan di perbatasan kedua negara. Sebagaimana saya sebut pada bagian lain tulisan ini, hanya ada satu TIMOR. Kita tidak patut memilih diksi "mereka" orang Timor Leste dan "kami"
warga NRI. Media massa di NTT hendaknya tidak menebarkan bahasa perang dalam pemberitaannya.
Konflik memang tidak serta-merta berhenti karena media hadir dan leluasa meliput. Namun, liputan yang berimbang dan akurat, liputan yang mendalam dan menawarkan solusi bisa menciptakan dalam. Sebab, salah satu fungsi media adalah memberikan pencerahan.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggugah insan pers di NTT untuk kembali membaca buku Sembilan Elemen Jurnalisme yang terbit di Indonesia tahun 2003. Dalam buku itu, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme yang harus diketahui wartawan dan sangat diharapkan publik.
Ingatlah selalu bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran dan loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Hari ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel kembali bertanya kepada wartawan yang berkarya di NTT, kepada siapakah loyalitas itu Anda persembahkan? Jangan-jangan loyalitas kepada elite saja! **
Kupang, 18 Juni 2008/Dion DB Putra
* Disampaikan dalam acara Forum Peningkatan Peran Media Massa di Daerah Perbatasan RI- Timor Leste. Acara ini diselenggarakan Badan Infokom NTT di Aula El Tari Kupang, Kamis, 19 Juni 2008.
Nyonya Maria Cun Romea (50) mengacungkan jari tangannya lalu berdiri. Sejenak ia menarik napas dalam-dalam. Matanya berkaca-kaca, menahan isak tangis. Suaranya terbata-bata dan terdengar parau.
"Kalo on bin le susar, ela le'uf, het tamat fin, ka tem teu batas sonu, hit paok ninik nok hit loet pilu taba batas noel," ujarnya.
Artinya kurang lebih seperti ini: Kalau ada keluarga yang meninggal dunia, kami tidak bisa menyeberang ke desa sebelah untuk menyampaikan ucapan turut berduka cita. Kami hanya datang di batas tepi sungai lalu mengirim nyala lilin, air mata dan uang duka cita lewat air yang mengalir di sungai.
Sejenak perempuan paruh baya asal Sakato, Oekusi itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Semua yang hadir hanya tertunduk diam. Tidak ada yang bersuara. Semua membisu.
Lalu ia melanjutkan, "Hit toet neu hit palenat nua sin, nan sa moe kit on ia?" ujarnya dalam nada tanya. Artinya kira-kira demikian: Coba kita tanya kepada dua pemerintah (maksudnya Indonesia dan Timor Leste, Red), kenapa kita diperlakukan seperti ini? (Pos Kupang, 14 Februari 2008, halaman 1)
Siapa yang hari ini sanggup memberi jawaban kepada Maria Cun Romea? Apakah Pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui Pemerintah Propinsi NTT, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, Pemerintaha Distrik Oekusi atau siapa?
Curahan hati Maria Cun Romea sekadar menegaskan soal besar di depan mata bahwa kehidupan masyarakat di perbatasan kedua negara masih menyisakan banyak perkara, pekerjaan rumah dan kemungkinan banyak jatuh korban baru kalau para pemangku kepentingan di Propinsi NTT cuma berpangku tangan.
Sebagaimana dilaporkan Pos Kupang, menjelang akhir 2007 Fundacao Fatu Sinai Oe-Cusse, sebuah LSM dari Distrik Oekusi, Timor Leste, dibantu Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) NTT, menggelar dialog yang melibatkan 600-an warga 24 desa di 10 titik sepanjang garis perbatasan RI - Timor Leste.
Isu yang dibahas dalam dialog yaitu masalah pemberlakuan Pas Lintas Batas (PLB), pasar tapal batas dan pembentukan lembaga adat bersama. Akhir Januari 2008, Direktur Departemen Bilateral Kementerian Luar Negeri Timor Leste, Marcos da Costa, memberi sinyal PLB segera diberlakukan Juli 2008. Tapi harapan itu sirna ketika Presiden Timor Leste, Ramos Horta, terluka parah ditembak gerombolan tentara pemberontak yang dipimpin Mayor Alfredo Reinado, Senin 11 Februari 2008. Konflik berdarah ini berdampak pada kelanjutan realisasi hasil dialog itu. Pemberlakuan PLB yang disetujui pemerintah kedua negara melalui pendandatangan nota kesepahaman (MoU) tanggal 11 Desember 2003 -- agaknya sulit direalisaskan bulan Juli mendatang.
Maka jika terjadi lagi peristiwa duka di tapal batas, keluarga kembali hanya memandang dari kejauhan. Mengirim air mata duka lewat sungai. Ini tragedi. Timor yang satu utuh -- terbelah atas nama panji negara berbeda. Indonesia-Timor Leste.
Api dalam sekam
Terkatung-katungnya pemberlakuan PLB merupakan salah satu sumber keresahan masyarakat di perbatasan. Tali persaudaraan, hubungan kekerabatan mereka seolah "dikekang" oleh ketentuan pemerintah dua negara, RI - Timor Leste.
Misalnya, untuk mengunjungi saudara laki-lakinya yang tinggal di Desa Sakato (Okusi - Timor Leste) karena menikah dengan gadis di sana, seorang warga Wini (TTU-Indonesia) harus ke Atambua, Kabupaten Belu untuk mengurus paspor dan visa, baru bisa menyeberang ke desa sebelah.
Padahal jarak rumahnya dengan rumah saudara laki-lakinya itu cuma 150 meter. Jika nekat menyeberang diam-diam, sangat mungkin ditangkap tentara yang menjaga perbatasan. Kalau ditangkap, urusannya bisa panjang dan berliku. Kita sudah biasa mendengar warta penangkapan. Bahkan kejadian yang lebih miris hingga jatuh korban jiwa.
Pas Lintas Batas (PLB) merupakan terobosan yang sangat baik dan telah dipraktekkan di beberapa negara. Usul yang muncul adalah PLB RI-Timor Leste itu diurus masing-masing kepala desa di tapal batas. Jika ada warga yang mau menghadiri acara kedukaan, pesta adat, pesta nikah, pesta Natal dan Paskah, bisa pakai PLB. Boleh ada uang administrasi yang dipungut kepala desa. Tapi pungutan itu tidak membebani penduduk setempat. Jika PLB diberlakukan, akan sangat membantu penduduk di perbatasan. Mereka dapat bepergian tanpa dihantui perasaan takut melanggar batas negara dan dihukum.
Saya kembali mengutip kata-kata Direktur Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) NTT, Victor Manbait, S.H, yang memprakarsai dialog warga di tapal batas akhir tahu 2007 lalu. Ia menjelaskan tanda khusus PLB harus disepakati bersama dua negara.
"Soal pemberlakuan PLB, mesti ada kesepakatan teknis pelaksanaannya oleh Timor Leste dan RI. Sambil menunggu kebijakan pemberlakuan PLB, saya kira pemerintah desa di dua negara yang ada di tapal batas bisa memberlakukan surat jalan dengan diketahui oleh aparat keamanan yang bertugas di tapal batas," demikian Manbait (Pos Kupang, 14 Februari 2008).
Terkatung-katungnya regulasi yang memudahkan bagi penduduk di kawasan perbatasan RI-RDTL hanyalah salah satu masalah dari litani persoalan di sana. Kecuali karena masalah politik dalam negeri Timor Leste yang belum stabil, pemerintah Indonesia tidak cukup dengan menyalahkan atau menuding. Toh sekecil apapun kejadian di tapal batas, masyarakat dan pemerintah kedua negara sama-sama merasakan dampaknya.
Masih banyak perkara lain yang urgen. Beberapa bisa disebut, misalnya kepastian titik batas antara Indonesia-Timor Leste. Sampai saat ini pemerintah kedua negara masih memegang peta wilayah berbeda. Persoalan ini ibarat api dalam sekam.
Sesewaktu akan menyala dan meledak. Tidak sekadar terpaut motif politik, tetapi juga ekonomi, sosial dan budaya.
Di bidang ekonomi, pemerintah RI sudah melakukan sejumlah langkah guna menghidupkan aktivitas di tapal batas. Pemerintah membangun pasar tradisional di sejumlah titik di kawasan tapal batas Kabupaten Belu seperti di Motaain, Turiskain dan Motamasin. Selain di Belu, pemerintah Indonesia juga membangun tiga unit tradisional di wilayah Kabupaten TTU yang berbatasan langsung dengan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oekusi.
Ketiga pasar tradisional itu berlokasi di Napan (Kecamatan Miomafo Barat), Wini (Kecamatan Insana Utara), Haumeniana (Kecamatan Miomafo Timur) dan sebuah pasar di Nekliu, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang. Tetapi sudah berulang dilaporkan media massa, pasar-pasar itu tidak berfungsi. Tidak ada aktivitas perdagangan di sana. Akar soalnya kembali ke titik semula, PLB. Usia MoU PLB hampir lima tahun. Namun, realisasinya masih sebuah tanda tanya.
Pers berbuat apa?
Catatan di atas sekadar ilustrasi kecil tentang masalah yang dihadapi masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste. Pertanyaan penting sesuai tema diskusi kita hari ini adalah: Insan pers di Nusa Tenggara Timur (NTT) berbuat apa? Apa yang telah dan akan mereka kerjakan untuk mendorong masyarakat perbatasan RI-Timor Leste dapat hidup berdampingan secara damai?
Mengingat saratnya bibit dan potensi konflik di perbatasan RI- Timor Leste, maka pendekatan jurnalisme yang perlu dikembangkan terus-menerus oleh insan pers Indonesia (NTT) adalah jurnalisme damai. Tidak bisa lain!
Pengamatan sambil lalu yang saya lakukan menunjuk pada kenyataan berikut ini. Insan pers di NTT belum memainkan peran yang dibutuhkan untuk mendorong terciptanya masyarakat di perbatasan untuk hidup berdampingan secara damai. Arus utama jurnalisme yang berkembang di daerah ini masih memperlihatkan peran jurnalis sebagai anjing penjaga (watch dog). Di tingkat praksis, wartawan cenderung menunggu terjadinya kekerasan atau konflik di tapal batas baru meliput fakta dan data dengan menganut prinsip cover both side. Pilihan ini tidak salah. Tetapi peran wartawan sekadar melaporkan peristiwa atau kejadian.
Menurut saya, peran semacam itu tidak cukup. Wartawan NTT
hendaknya menyadari bahwa mereka berkarya di daerah dengan potensi konflik yang tinggi. Maka arus utama yang dikembangkan adalah jurnalisme alternatif. Pilihannya jatuh pada jurnalisme damai, bukan jurnalisme perang. Jurnalis tidak berperan sebagai anjing penjaga semata. Tidak menunggu datangnya peristiwa atau konflik.
Sebaliknya mereka proaktif untuk mencegah terjadinya kekerasan atau konflik dan meliput peristiwa secara berimbang dari segala sisi secara kualitatif (cover multisides). Aliran ini berpandangan mengakomodir kedua pihak yang berkonflik saja tidak cukup, tapi harus melibatkan semua pihak terkait.
Jurnalisme damai dikembangkan oleh Johan Galtung, seorang profesor perdamaian asal Norwegia. Galtung mempopulerkan istilah jurnalisme damai tahun 1970-an. Ketika itu dia mencermati banyaknya jurnalis yang menerapkan prinsip jurnalisme perang.
Diasumsikan, jurnalisme perang sama halnya dengan jurnalis yang meliput pertandingan olahraga. Yang ada hanyalah fokus pada kemenangan pihak yang bertanding. Jurnalisme damai diasumsikan sebagai orang yang meliput kesehatan. Jurnalis kesehatan akan menjelaskan perjuangan seorang penderita kanker melawan sel-sel kanker yang menggoroti tubuh penderita. Sang jurnalis tentu akan menceritakan penyebab terjadinya kanker dan memberikan gambaran tentang upaya penyembuhannya serta pencegahan yang bisa dilakukan.
Sekarang setiap wartawan NTT (Indonesia) dapat bertanya kepada dirinya sendiri, di manakah dia berada ketika melaporkan masalah yang melanda masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste? Pewarta damai atau menebarkan perang?
Bagian dari solusi
Sering diingatkan bahwa media massa bukan hanya menyuguhkan fakta dan realita, tapi perlu menjadi bagian dari solusi. Jurnalisme damai adalah praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri. Jurnalisme damai mengembangkan liputan yang berkiblat kepada masyarakat (people oriented).
Berbeda dengan jurnalisme perang yang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas dan kerusakan material. Pola seperti ini banyak dianut infotaiment di Indonesia yang lebih suka melaporkan konflik rumah tangga selebritis.
Penganut jurnalisme perang enggan menggali asal-usul konflik, mencari alternatif penyelesaian dan berempati pada dampak kemanusiaan yang ditimbulkannya. Jurnalisme perang lebih suka memperjauh jarak pihak berkonflik dalam kerangka kalah-menang, bukan mendekatkan keduanya untuk berdamai.
Galtung mendorong pers mengubah teori klasik jurnalisme perang menjadi jurnalisme damai (peace journalism). Pers harus mengambil peran memprovokasi pihak yang bertikai menemukan jalan keluar. Pers melakukan pendekatan menang-menang dan memperbanyak alternatif solusi konflik.
Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua semua pihak memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur dari kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik. Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik.
Jurnalisme damai memberi porsi sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan menyebutkan nama pelaku kejahatan di kedua belah pihak.
Bagi penggagas junalistik damai itu, pers bukanlah sekadar penyampai informasi apa adanya soal darah dan kemarahan, melainkan harus kreatif membangun debat publik yang sehat bagi kepentingan umum yang luas: memberikan empati pada anak-anak yang telantar, penderitaan rakyat tak berdosa akibat konflik. Wartawan perlu menyadari bahwa masyarakat tidak suka dengan pemberitaan konflik, kekerasan dan kurang manusiawi. Masyarakat membutuhkan laporan dengan bingkai (frame) lebih luas, lebih berimbang dan akurat.
Tidak lagi menunggu
Jurnalisme damai diharapkan menjadi referensi bagi wartawan di NTT dalam mengemas laporan tentang kehidupan masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste. Sudah saatnya kita mengembangkan jurnalisme alternatif ini. Kita tidak cukup lagi hanya menunggu peristiwa bernilai berita tinggi di perbatasan baru bergegas meliput. Hari ini pun kita bisa ke sana untuk menggali dan menemukan persoalan yang dihadapi saudara- saudari kita sendiri. Jujur saja, liputan semacam itu masih sangat minim. Dapat dihitung dengan jari.
Mari kita belajar dari konflik Aceh ketika para jurnalis menjadi sangat sulit mengungkap kebenaran secara cover both side akibat patron patriotisme bahkan nasiolisme. Atas nama patriotisme, argumen tentang obyektivitas, etika atau kebenaran menjadi kabur.
Timor Leste jelas berbeda dengan Aceh. Patriotisme tidak mungkin diletakkan secara keliru ketika kita memotret persoalan di perbatasan kedua negara. Sebagaimana saya sebut pada bagian lain tulisan ini, hanya ada satu TIMOR. Kita tidak patut memilih diksi "mereka" orang Timor Leste dan "kami"
warga NRI. Media massa di NTT hendaknya tidak menebarkan bahasa perang dalam pemberitaannya.
Konflik memang tidak serta-merta berhenti karena media hadir dan leluasa meliput. Namun, liputan yang berimbang dan akurat, liputan yang mendalam dan menawarkan solusi bisa menciptakan dalam. Sebab, salah satu fungsi media adalah memberikan pencerahan.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggugah insan pers di NTT untuk kembali membaca buku Sembilan Elemen Jurnalisme yang terbit di Indonesia tahun 2003. Dalam buku itu, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme yang harus diketahui wartawan dan sangat diharapkan publik.
Ingatlah selalu bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran dan loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Hari ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel kembali bertanya kepada wartawan yang berkarya di NTT, kepada siapakah loyalitas itu Anda persembahkan? Jangan-jangan loyalitas kepada elite saja! **
Kupang, 18 Juni 2008/Dion DB Putra
* Disampaikan dalam acara Forum Peningkatan Peran Media Massa di Daerah Perbatasan RI- Timor Leste. Acara ini diselenggarakan Badan Infokom NTT di Aula El Tari Kupang, Kamis, 19 Juni 2008.