Rakyat tetap miskin
KURANG dari sepuluh tahun rumah induk bernama Flobamora telah mekar membengkak jadi 21 daerah tingkat II. Luar biasa! Tuan dan puan yang bertahun-tahun hidup di rumah ini dengan hanya mengenal 12 kabupaten dan satu kota madya, tiba-tiba melihat wilayah otonom baru tumbuh subur di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Peningkatannya hampir mencapai 100 persen.
Dulu sebelum era Reformasi kita hanya mengenal 12 bupati se-NTT dan seorang walikota. Nama mereka yang mengenakan lambang burung Garuda di dada itu mudah diingat. Wajah pun familiar. Bila ditanya anak-anak SD mampu menjawab benar dan dapat mengeja nama lengkap serta nama kabupaten yang dipimpinnya.
Sekarang tak mudah lagi menjawab. Jangankan murid SD atau SLTP. Sarjana baru lulusan perguruan tinggi di Kota Kupang atau kota lain di NTT belum tentu tahu nama bupati-wakil bupati se-Nusa Tenggara Timur. Harap maklum. Yang kini memakai burung Garuda di dada sebanyak 40 orang hebat. Hebat karena dipilih langsung oleh rakyat (minus Sabu Raijua yang baru diresmikan 26 Mei 2009). Bila digenapkan dengan pasangan gubernur-wakil gubernur, di seluruh Flobamora terdapat 42 putra terbaik yang disapa pemimpin. Mereka orang-orang terpilih.
Demikianlah salah satu kisah sukses Reformasi yang mengakhiri rezim pemerintahan sentralistik melalui otonomi daerah (otda) sejak 2001. Bulan Mei 2009 ini genap sewindu pelaksanaan otda serta desentralisasi fiskal di Indonesia.
Data Kompas 22 Mei 2009 sungguh menarik perhatian. Betapa otda telah melahirkan banjir uang ke kas daerah. Selama otda porsi belanja APBN yang ditransfer ke daerah telah mencapai 67,4 persen, lebih besar dari rata-rata negara maju anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang cuma 38 persen dan Cina yang 60 persen. Jumlah pegawai negeri sipil yang dipindahkan ke daerah sebanyak 2,5 juta orang. Demikian pula jumlah urusan pemerintah pusat yang diserahkan ke daerah. Menurut UU No.32/2004, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota masing-masing berwenang menangani 16 jenis urusan mulai dari perencanaan hingga pengendalian pembangunan.
Sebelum otda, porsi ABPN yang masuk ke NTT masih dalam satuan miliar rupiah. Sekarang berbunyi triliun saban tahun. Tahun ini bahkan menembus angka 10 triliun rupiah. Dulu cuma 13 pemimpin, sekarang Flobamora diurus 42 pemimpin. Jumlah aparatur daerah bertambah, pejabat kian banyak, anggota parlemen pun demikian. Apakah terjadi akselerasi pembangunan daerah, pemenuhan standar minimal pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat Flobamora terdongkrak?
Tuan dan puan tahu jawabannya. Banjir uang ke kantong daerah tidak diiringi kisah indah indikator kinerja ekonomi daerah, kinerja keuangan, pelayanan publik dan kinerja aparatur daerah. Sewindu otda Flobamora masih menyanyikan lagu lama. Lagu ketertinggalan, kemiskinan, ketimpangan dan buruknya infrastruktur ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Lagu busung lapar, prahara gizi buruk.
Pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) NTT hari ini masih di level buntut dari 33 propinsi. Angka kematian ibu melahirkan memang menurun dari angka 554/100.000 ke 306/100.000 kelahiran hidup. Namun, angka itu masih jauh di atas rata-rata nasional. Potret pendidikan tidak lebih baik dibanding masa sebelum otda.
Bagaimana pembangunan infrastruktur ekonomi? Bisa dilukiskan sebagai terbengkelai untuk tidak menyebutnya tak terurus. Persentase jalan rusak terus meningkat. Jangankan jalan desa di pelosok, jalan protokol di dalam kota pun bergelombang dan berlubang. Moda transportasi laut yang menjadi sarana "pemersatu" wilayah kepulauan ini nasibnya sama seperti dulu. Kapal-kapal di sini adalah kapal tua yang telah letih berlayar di bagian lain Indonesia. Di manakah pusat pertumbuhan ekonomi baru yang tumbuh selama otda?
Flores, Sumba, Timor, Rote dan Sabu bermekaran. Egoisme wilayah justru kian mengental. Rupanya pemekaran wilayah bukan jalan keluar meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti argumen para elite daerah ketika berjuang mewujudkan daerah otonom baru. Maka waspadalah terhadap pihak yang kini getol memekarkan wilayah lagi. Ujungnya sekadar uber kursi dan kuasa.
Banjir uang ke kantong daerah diiringi pula tsunami penyalahgunaan. Jika dulu korupsi berlangsung di pusat pemerintahan negara, sekarang marak meriah di daerah-daerah. Bukankah tuan dan puan kini biasa menyaksikan mantan kepala wilayah serta para pembesar daerah masuk sel tahanan? Masuk sehari lalu sakit?
Kinerja aparatur negara tercermin bening lewat warta perkelahian kepala dan wakil kepala daerah, baik secara terang-terangan maupun diam-diam di belakang panggung. Kalau pemimpin sibuk berkelahi mana sempat mengurus rakyat? Reformasi birokrasi cuma pemanis di bibir saja. Otda lebih menimbulkan huru-hara dan hura-hura ketimbang sukacita bagi rakyat.
Tentu tidak mungkin kita kembali ke masa lalu. Langkah mundur bila rezim sentralistik kembali dijunjung. Perayaan sewindu otda mestinya mengembalikan spirit desentralisasi pada tujuan awal: dekatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Cukup sudah orientasi politik administratif. Saatnya orientasi ekonomi pembangunan yang kontekstual dengan kebutuhan rakyat Flobamora bukan copy paste atau latah meniru daerah lain.
Sewindu otda beta merindukan pemikir otda. Flobamora tidak kekurangan profesor, doktor, magister tamatan dalam dan luar negeri. Kalau kini mereka sibuk urus politik, bangga jadi tim ahli atau dewan pakar tak apalah. Semoga masih ada waktu berpikir tentang otda yang cocok bagi Flobamora agar perayaan sepuluh tahun otda di beranda rumah kita nanti, tak terdengar suara inspektur upacara berkata lantang, gerak di tempat grakk!!! (dionbata@poskupang.co.id)
Pos Kupang edisi Senin, 25 Mei 2009 halaman 1