Bani

Cerita dari rantau
Flobamora kembali naik daun


IZINKAN beta bertutur tentang masa kecil dulu di kampung ketika televisi belum ada, komputer masih jauh dan radio merupakan sebuah kemewahan. Izinkan beta reka ulang secuil memori masa bocah yang tersisa. Masa kanak-kanak di kampung udik Flores bagian tengah ketika tokoh hero seperti Batman, Kura Kura Ninja, Naruto dan Spider Man entah masih di mana. 

Sebagai bocah angkatan medio 1970-an, tuan dan puan dapat membayangkan sendiri bagaimana kondisi kehidupan di kampung pada zaman itu. Serba terbatas! Lembaran koran atau majalah merupakan barang langka. Jangan tanya lagi buku bacaan bagi anak-anak. Radio satu-satunya sumber informasi. Tapi itu barang luks yang pemanfaatannya dimonopoli orang dewasa. Di zaman beta kecil radio bukan 'teman' anak-anak. Radio cuma milik pastor, guru dan kepala desa.


Maka kisah kepahlawanan yang merangsang imajinasi tidak kami peroleh dari bahan bacaan, buku atau tayangan televisi seperti anak zaman sekarang. Kisah kepahlawanan kami dapat dari cerita para guru SD. Tapi cuma kisah sepotong serta kaku tentang riwayat perjuangan para pahlawan nasional seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari dan lain-lain.

Kisah para pahlawan nasional itu tidak cukup menarik serta merangsang imajinasi dibandingkan dengan kisah jagoan kampung kami di tanah rantau. Terutama perantau di Jakarta, ibu kota negara Indonesia. Ketika beta bocah, mendengar atau mengenal seseorang yang tinggal di Jakarta langsung tersembul kekaguman, dia itu pastilah orang hebat. Manusia luar biasa!

Ada satu nama yang sampai detik ini tetap mengisi ruang batin. Sebut saja Om Bani, bukan nama asli. Pertama kali kudengar namanya saat kelas III SD. Suatu hari bersama teman-teman sepermainan beta ikut menguping pembicaraan sekelompok pemuda kampung kami. Saat mengaso di kuwu (semacam balai beratap alang) yang letaknya di tengah perkampungan, para pemuda itu bercerita tentang kehebatan Bani. Kuwu multifungsi. Selain untuk mengaso, kuwu merupakan tempat musyawarah adat atau makan bersama warga sekampung pada acara tertentu.

Seorang pemuda yang baru pulang dari Jakarta bercerita penuh semangat tentang kiprah Om Bani. Kami, bocah kampung dengan badan dekil tak beralas kaki duduk melongo, menyimak serius sampai mulut menganga ikhwal kehebatan Om Bani di Jakarta. Banyak orang takut pada Bani. Karena keberaniannya bakupukul, dia dibayar mahal pejabat tinggi atau orang-orang kaya sebagai pengawal serta penagih utang. Hidupnya enak. Punya rumah bagus, istri cantik, ke mana-mana naik oto (mobil).

Diceritakan dengan rinci bagaimana cara Bani menekuk seseorang atau sekelompok orang asal daerah tertentu karena suatu perkara. Adegan-adegan perkelahian dijelaskan dengan bangga oleh pemuda kampung yang baru pulang dari Jakarta itu. 

Apakah kisah heroisme Bani telah dibumbui atau tidak, otak kekanakan kami yang masih lugu belum mampu menganalisis. Yang segera lekat hanyalah decak kagum! 

Cerita tentang Bani bukan cuma sekali. Kisah "kepahlawanan" itu terus bergulir dari mulut ke mulut. Jadi topik pembicaraan kaum bapak saat istirahat di ladang, gunjingan ibu-ibu tatkala mengetam padi dan bahan diskusi remaja kampung di sela-sela menangkap udang di kali. Kisah berulang hingga puluhan tahun kemudian. 

Bani legendaris. Bisa hidup enak di Jakarta karena kekuatan fisik serta keberaniaan. Dia dipuji, disegani dan dihormati. Bani adalah idola. Model orang sukses. Tak sedikit pemuda di kampung kami ingin seperti Om Bani.

***
OM Bani sudah pergi. Sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Namun, figur Om Bani kembali memancing memori tatkala Flores, salah satu wilayah kecil di beranda Flobamora naik daun lagi dalam sepekan terakhir. Dari tanah rantau, Flores menjadi buah bibir. Sumber liputan utama media massa dalam dan luar negeri. 

Flores sebagai satu identitas kultural dan etnis menghiasai langit Nusantara lantaran empat laki-laki asal wilayah ini, yakni Fransiskus Tadon Kerans, Daniel Daen, Hendrikus Kia Walen dan Eduardus Mbete diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, 14 Maret 2009. Pembunuhan berbumbu asmara segitiga itu juga diduga melibatkan tokoh terkenal, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Antasari Azhar.

Memang naif jika buru-buru menyimpulkan citra Flores atau citra anak Flobamora sebagai tukang pukul, penagih utang sampai label pembunuh. Toh tidak sedikit pula "orang Flores" dan atau "orang NTT" yang baik dan bermutu kelas dunia. 

Bagi beta, prahara Nasrudin menegaskan fakta betapa "preman NTT" di Jakarta serta sejumlah tempat di tanah itu bukan isapan jempol. Fakta menyakitkan tetapi yang pahit dan "memalukan" ini harus diterima dengan lapang dada. 

Belum lama NTT heboh dengan kasus Tibo Cs, kini giliran Daniel dkk. Hidup di Jakarta memang keras, tetapi haruskah bertahan hidup dengan cara membunuh? Menghilangkan nyawa atas nama keluguan menjalankan "tugas negara"? Maafkan beta yang belum menemukan cukup alasan untuk mempercayai "keluguan" itu. 

Siapakah mereka? Bukan orang lain. Mereka adalah wajah kita sendiri. Preman lazimnya anak-anak putus sekolah. Besar dalam lingkungan yang akrab dengan kultur kekerasan sejak bocah. Agaknya tradisi berburu dan meramu dengan naluri kekerasan primitif belum sungguh hilang dari kepribadian kolektif orang Flores atau orang NTT pada umumnya. Itulah pekerjaan rumah kita. Siapa berani maju bertanggung jawab guna memutus rantai kekerasan yang "merusak citra NTT" hari- hari ini? Apa kabar pemerintah? Di mana gerangan gereja serta institusi sosial Flobamora. Premanisme itu ada di rumah kita. (dionbata@poskupang.co.id)

Pos Kupang edisi Senin, 11 Mei 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes