Derita Korban Banjir Manado

Lelah dan pedih tak mampu disembunyikannya walau senyum tipis tetap merekah. Peninggalan orang tuanya lenyap disapu banjir 17 Februari 2013 lalu.

MATA Tomy Gagansa, warga Dendengan Dalam Lingkungan VII, Manado menyimpan sejuta kesedihan. Lelah dan pedih tak mampu disembunyikannya, walau senyum tipis tetap merekah. Peninggalan orang tuanya lenyap disapu ganasnya banjir 17 Februari 2013 lalu.

Tanah di dekatnya bekas rumahnya  tak menunjukkan apapun. Lantai sudah tertutup tebalnya tanah yang makin hari makan keras ditimpa sengatan sinar mentari. Rangka bangunan tripleks itu pun lenyap tak berbekas. Hampir tak ada yang tersisa. Televisi satu-satunya beserta harta tak seberapa sirna tersapu banjir.  Bahkan Tomy memilih kaos yang seharusnya melekat di badannya tetap melingkar di lehernya yang kurus keriput itu. "Ini kaos satu-satunya yang tertinggal,"ujarnya sambil tertawa pedih saat berbincang dengan Tribun Manado, Sabtu (2/3/2013).

Tomy kini hanya berlindung pada ruang 1 x 1 meter peresegi yang berdinding dan beratapkan seng berkarat. Ruang rindangnya hanya diisi kumpulan daun rambutan masih berdiri tegak di atasnya. Tomy pun tinggal sendiri ditemani kokok ayam satu- satunya yang masih bisa menyelamatkan diri. "Istri ke rumah orang tuanya beserta dua anak. Sedangkan anak yang satu di Politeknik,"katanya.

Bukan hanya bahan  dinding dan atap yang dipakai Tomy dari bekas banjir. Piring, gelas dan wadah plastik yang dipakai Tomy juga berkat  "kebaikan hati" air sungai yang sudi menyisipkanya di tengah tanah dan pasir. "Saya mencucinya kembali dan memakainya. Ini ditemukan setelah banjir surut,"ujarnya.

Tomy masih terlalu lelah untuk membangun kembali puing-puing pondok tempat bernaung peninggalan orang tuanya itu. Ia berharap mendapatkan bantuan pemerintah. Akan tetapi, ia pasrah juga jika kesempatan baik itu tidak berpihak padanya. "Saya sih berharap ada bantuan. Tapi kalau tidak saya belum tahu kapan bisa membangun rumah itu kembali,"tuturnya.

Tomy akui belum bisa bangkit dari keterpurukan. Pekerjaaannya sebagai sopir angkutan umum belum bisa ditekuninya lagi. Tidak ada modal apapun yang bisa dijaminkannya untuk masa depan. Tomy beusaha irit. Ia ingat beras itu bukan diusahakannya sendiri. "Ini  bantuan dari orang-orang yang peduli dengan kami. Saya hanya memasak air," katanya.

Tomy tidak mau  hidup dari bantuan orang lain. Akan tetapi, ia belum mempunyai sesuatu untuk membangun hidupnya kembali. Bahkan pindah pun belum menjadi pilihan. "Di sini masih aman,"katanya enteng.(david manewus)

Sumber: Tribun Manado 3 Maret 2013 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes