ilustrasi |
Maka, saya sangat terkejut ketika menjelang akhir dekade 1980-an, dalam bincang-bincang lepas dengan beberapa rekan wartawan di Jakarta, salah seorang diantaranya yang kebetulan berasal dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menyelutuk dengan nada bertanya. "Apakah Pancasila bisa menjamin persatuan dan kesatuan Bangas sepanjang masa? Lalu Dari Sabang sampai Merauke atau Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, sampai kapan akan tetap berkumandang? Apakah Jakarta, akan tetap menjadi pusat segala-galanya di Republik ini?
Pembicaraan bernada pertanyaan dari rekan wartawan yang terbilang senior ini juga aneh buat saya karena dia justru salah satu lullusan Penataran P4 Tingkat Nasional. Namun kemudian saya sadar bahwa rekan wartawan ini tidak asal omong. Dia rupa-rupanya sedang bingung, kuatir dan gelisah melihat arah, situasi, perkembangan, prospek dan perkiraan ke depan serta terutama perilaku manusia Indonesia di sekitarnya.
Saya pun semakin menyadari bahwa kebingungan, kekhawatiran dan kegelisahan rekan wartawan tadi sebenarnya bukan hanya menjadi soal 1-2 orang saja. Ternyata memang tidak sedikit manusia di negara ini dilanda kegelisahan yang sama. Apakah Politisi, Ulama, Pengusaha, Cendikiawan bahkan Birokrat dan orang asing pun sama. Saya pun meyakini kegelisahan ini sebagai suatu masalah bangsa yang sangat gawat, ketika ikut dalam Seminar Pendidikan Wawasan Kebangsaan di Ciloto Jawa Barat, Juli 1993. Seminar diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Strategi dan Pembangunan (LPSP) atas sponsor Konrad Adenauer Stiftung Jerman (KAS) Perwakilan Indonesia.
Mengikuti seminar ini sungguh merupakan keberuntungan. Karena dari seminar ini saya bisa memahami kegelisahan para tokoh seperti Gus Dur (Ketua PB NU/kini Presiden RI), Jend (pur) Soemitro (mantan Pangkobkamtib), Prof.DR. Moelyarto Tjokrowinoto (Guru Besar Ilmu POlitik UGM), Prof. DR. Parangtopo (Guru Besar Fisika UI) tentang hari depan negara kebangsaan Nusantara kita. Juga Rm. Mangunwijaya (alm), EP Tambunan (mantan Gubernur Sumatera Utara), DR. J.Riberu (Anggota MPR/DPR) dan DR. Leo Kleden (Rektor Seminari Tinggi Ledalero).
Tampil dengan makalah berjudl "Masihkah diperlukan Wawasan Kebangsaan dewasa ini" Gus Dus yang suka ceplas-ceplos itu mempertanyakan wujud demokrasi sebagai wahana Negara Kebangsaan Indonesia. Sambil menoleh ke Jend. Soemitro, Gus Dus berkata: "Siapa mau percaya jika jenderal-jenderal yang dulunya tukang tangkap demonstran dan demokrat, tapi sekarang bicara demokrasi? Dan lucu, begitu pensiun, para jenderal itu bertingkah seolah-olah lebih demokrat dibanding demokrat-demokrat yang dulu ditangkap. Lalu demokrasi macam mana yang akan ditumbuhkan di negeri," tanya Gus Dus agak gelisah.
Dr Yan Riberu, anggota MPR/DPR dari Golkar yang tampil dengan makalah Program Pendidikan Wawasan Kebangsaan kemudian seolah mengenyahkan keletihan para peserta seminar denagn gurauan yang sarkartis. Kata Riberu ketika tidur malam sebelum seminar, ia bermimpi didatangi arwah seorang pendiri Republik. Dengan wajah bengkak penuh amarah, Pendiri Republik ini mencak-mencak. Arwah tersebut sangat merisaukan nasib dan masa depan negara kebangsaan Nusantara.
"Dimasa depan" kata arwah tersebut, "nasib negeri yang dulu diperjuangkan kemerdekaannya dengan daerah, tidak menentu. Karena Pancasila hanya menjadi buah bibir. Dalam praktek yang dilakukan adalah Pancadosa. Sila Pertama menjadi keuangan, bukan Ketuhanan Yang Maha Kuasa. Sila Kedua menjadi Kebinatangan yang buas tidak beradab,bukan Kemanusiaan yang adil dan Beradab.
Selanjutnya sila ketiga menjadi Pemerantakan bangsa atas dasar SARA, sila keempat menjadi Pembadutan wakil rakyat dan sila kelima menjadi Bencana sosial bagi seluruh rakyat. Itulah dosa-dosayang sudah terlalu lama dilakukan dan cukup mustahil bisa berakhir denagn mudah. Jadi janganlah merasa aneh jika kelak ada warga di suatu (bekas) wilayah Nusantara menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai kumandang tidak bermakna dengan menggantikan kata-kata Indonesia Tahan Air-ku menjadi Indonesia raya Air-MU.
Bagi kita di NTT, pada hari-hari awal milenium ketika sekarang, rupa-rupanya 'mimpi' Dr Yan Riberu yang bukan mimpi sesungguhnya. Artinya kenyataan. Menjadi pembicaraan umum kala ribut-ribut soal pilih Kepala Daerah misalnya, maka buntut-buntutnya nanti soaluang. Uang di atas semua-muanya, menjadi alat ataupun tujuan. Rupa-rupanya di masa datang, siapa saja bisa jadi Kepala Daerah asalkan ada uang.
Minum mabok yang sering berakhir dengan perkelahian atau perkosaan terkesan dipandang seolah sesuatu yang normal dengan bermain angka-angka 'statistik' kriminal yang menurun sebagai bukti kita masih manusia beradab. Sementara ratusan ribu pembayar pajak tetap setia membayar Pajak Penerangan Jalan, mereka pun harus juga setia menikmati jalan dan lorong gelap bertahun-tahun. Dan itu namanya Keadilana. Namun siapa peduli dengan rangkaian Pancasila?? (damyam godho)
Sumber: Pos Kupang 17 Januari 2000 hal 1