Kalau di Pulau Jawa budaya kerja sama terkenal dengan sebutan gotong royong yang akhirnya diadopsi menjadi budaya nasional, maka di kampung Nuanage, Desa Lokalaba, Kecamatan Mauponggo-Kabupaten Nagekeo, tradisi kerja sama ini dikenal dengan nama kema sama (kerja sama, Red).
Tidak diketahui kapan budaya kema sama muncul karena tidak ada catatan tertulis yang ditinggalkan. Yang pasti bentuk kerja sama tersebut sudah ada sejak zaman nenek moyangku dulu ketika mereka membuka kampung Nuanage.
Bermodalkan kema sama, nenek moyangku berhasil membuka kampung di atas ketinggian. Tanpa kema sama, mustahil mereka berhasil membuka kampung Nuanage seperti yang saya kenal sekarang ini. Memang tak ada catatan tertulis yang ditinggalkan, namun batu-batu besar sebagai fondasi rumah yang hingga kini masih tersisa setidak-tidaknya menjadi bukti otentik bahwa kema sama sudah ada sejak zaman nenek moyangku dulu.
Melihat kondisi kampungku yang secara geografis berada di atas ketinggian bahkan boleh dikatakan sebagai kampung tertinggi di Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo, maka rasanya wajar kalau penduduk di kampungku sangat akrab dengan yang namanya kema sama. Tanpa kema sama tidak mungkin mereka berhasil membangun jalan setapak menuju kampung Nuanage walaupun hingga kini belum berhasil dilewati oleh kendaraan roda empat. Dengan kema sama pula warga di kampungku berhasil menarik kayu dari hutan hanya bermodalkan seutas tali untuk membangun rumah.
Hal lain dari bentuk kema sama adalah pembangunan sarana air minum untuk warga kampung. Sebelum warga kampung mengenal pipa, mereka sudah secara bersama-sama membangun saluran air dengan menggunakan belahan bambu yang berfungsi seperti pipa. Meski jarak antara mata air dan kampung sepanjang 5 km, berkat kema sama akhirnya pemasangan belahan bambu tersebut berjalan dengan baik dan airpun mengalir ke kampung Nuanage. Air mengalir pertama kali ketika saya berusia sekitar 5 tahun. Bersama teman-teman dan seluruh warga kampung kami menyambutnya dengan sukacita.
Wujud lain dari kema sama adalah pembangunan rumah warga, kerja kebun, kematian. Yang cukup fenomenal adalah pelaksanaan pembangunan Kapela St Martinus Nuanage. Kalau dilihat secara normal rasanya tidak mungkin warga kampung yang berada di atas ketinggian dan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor bahkan jauh dari jalan raya itu mampu membangun kapela. Namun warga setempat dengan ulet membangun kapela yang bahan bangunannya permanen.
Untuk memuat bahan bangunan berupa semen, seng ataupun besi warga setempat menggunakan jasa kuda atau dipikul. Tidak ada keluh-kesah dari warga berkat semangat kema sama. Untuk membangun kapela tersebut warga kampung meskipun 100 persen beragama Katolik, memiliki ikatan kekerabatan yang sangat kuat dengan warga kampung lain yang sebenarnya berasal dari Kampung Nuanage juga. Mereka pada umumnya kerabat yang beragama Islam namun mereka ikut bersama warga kampung Nuanage membangun kapela.
Ada satu istilah yang populer di kalangan warga untuk menyebut semangat kema sama yakni too jogho waga sama. Papa yakha, yang artinya bangun dan pikul bersama-sama serta saling bantu.
Secara harafiah istilah itu menyatakan bahwa dengan semangat kema sama semua warga memikul berat ataupun ringan karena dengan dasar kerjasama, maka sesuatu hal atau pekerjaan yang berat sekalipun menjadi ringan.
Saat ini situasi dan kondisi zaman semakin maju, namun semangat kema sama yang ada di Nuanage tidaklah luntur oleh perkembangan zaman. (romualdus pius)
Pos Kupang edisi Sabtu, 28 Maret 2009 halaman 10