DISKUSI sekitar tiga jam di akhir pekan itu luar biasa. Luar biasa untuk para narasumber yang hadir. Luar biasa untuk keterusterangan dan komitmen untuk berbenah. Acara "kopi darat" (kopdar) Forum Academia NTT (FAN) menguak tabir RSUD Kupang yang selama ini tidak terungkap ke ruang publik. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. WZ Johannes Kupang tidak sekadar padat modal dan manusia. Di sana padat masalah.
Direktur RSUD Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG menghangatkan diskusi dengan kejujurannya tentang pelayanan di rumah sakit yang belum sebulan dinakhodainya.Diberi kesempatan bicara pertama kali oleh moderator FAN, Wilson Therik, Alphons menjelaskan dengan runut soal manajemen.
Makalah dipersiapkan dengan baik. Dibagi dalam lima bagian yaitu pendahuluan, gambaran keadaan sekarang, keadaan yang diinginkan, pemecahan masalah dan penutup. Selain makalah, Dokter Aphons juga datang dengan tim lengkap. Ini merupakan apresiasi yang elok buat Forum Academia NTT yang menggagas diskusi.
Alphons jauh dari kesan membela diri apalagi menutup-nutupi kenyataan. Dia menghentak dengan mengungkap realitas RSU Kupang berkaitan dengan pemanfaatan sarana pelayanan, mutu pelayanan dan tingkat efisiensi pelayanan. Dari sejumlah indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan, mutu pelayanan RSU yang berdiri di atas lahan seluas 51.670 meter persegi itu jauh dari standar Departemen Kesehatan (Depkes) RI.
"Dari grafik customer satisfaction index, kepuasan pelanggan internal rumah sakit 59,07 persen dan pelanggan eksternal rumah sakit 65,6 persen. Jika dibandingkan dengan kepuasan pasien menurut standar Depkes 90 persen, maka indeks kepuasan yang dicapai sangat jauh dari target. Kalau masyarakat bilang mutu pelayanan rendah, betul itu," katanya.
Hampir semua peserta diskusi menganggukkan kepala. Dokter Alphons Anapaku telah bicara adanya. Tidak menutupi potret RSUD Kupang. Tingkat mutu atau efisiensi pelayanan pun belum sesuai standar. Standar angka kematian umum (gross death rate) untuk tiap-tiap 1.000 penderita keluar sebesar 30 - 40 per mil (per 1.000 penderita). Fakta di RSUD Kupang, angkanya lebih dari 40 per mil.
Demikian pula untuk indikator net death rate atau angka kematian lebih besar dari 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1.000 penderita keluar. Standar yang masih dapat ditolerir Depkes kurang dari 25 per 1.000 penderita keluar. Yang terjadi di RSUD Kupang, angkanya masih di atas 25 per 1.000 penderita. Pada tahun 2007, angkanya bahkan mencapai 49.
Rata-rata lama dirawat (average length of stay) RSUD Kupang sebesar 5,16 atau belum sesuai standar Depkes yaitu 3-4 hari. "Indikator ini memberikan gambaran bahwa mutu pelayanan RSU Kupang masih di bawah standar," katanya.
Sisi menarik adalah frekuensi pemakaian tempat tidur (bed turn over) dari tahun ke tahun relatif stabil antara 40 - 50 kali. "Turn over interval memenuhi angka ideal berkisar 1-3 hari, dimana tempat tidur tidak ditempati sampai terisi berikutnya tidak melebihi tiga 3 hari. Hal ini berarti rotasi pasien cukup tinggi sehingga tempat tidur tidak menganggur cukup lama," demikian Alphons. Data tersebut menjelaskan betapa rumah sakit rujukan satu-satunya di Propinsi NTT "tidak kekurangan" pasien. Selalu ada yang masuk dan keluar. Datang dan pergi. Bisa juga dimengerti bila pendapatan RSU Kupang tahun 2008 mencapai Rp 30 miliar lebih atau melampaui target Rp 25 miliar.
Setelah dokter Alphons, Wilson Therik memberi kesempatan kepada Ketua Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) Propinsi NTT, Hj. Mus Malessy, S.H. Malessy mengungkapkan daftar keluhan masyarakat tentang pelayanan RSUD Kupang. Sebagai "juru bicara" konsumen, Malessy pun berkata apa adanya.
Ada tujuh poin diungkap Malessy. Pertama, pasien harus menunggu cukup lama bila mau diperiksa dokter apalagi dokter ahli. Kedua, pasien UGD tidak cepat ditangani, dan harus menyelesaikan administrasi terlebih dahulu, bahkan ada pasien sampai meninggal tidak dilayani. Ketiga, bila pasien nginap memerlukan bantuan segera, petugas yang dipanggil enggan melayani. Keempat, para dokter dan dokter ahli bertugas lebih dari 3 tempat sehingga perhatian bagi pasien di RSU hanya sedikit sekali. Kelima, banyak terjadi malpraktik berupa diagnosa yang salah, sehingga operasinya gagal, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Keenam, lingkungan serta kamar yang kurang bersih mengakibatkan pasien tidak betah dan minta pulang walaupun belum sembuh. Ketujuh, kurangnya air bersih dan kotornya toilet (kamar kecil) sehingga keluarga pasien harus membawa air sendiri.
"Inilah kenyataan yang terjadi. Pasien hanya menyaksikan pembangunan gedung mewah dan bertingkat di RSU itu tapi pasien harus bermimpi terus, kapan pelayanan di rumah sakit yang menjadi kebanggaan NTT ini bisa lebih baik dan memuaskan," kata Malessy.
Ketua YLKI NTT menegaskan, RSUD Kupang bukan tempat bagi para pejabat NTT, tokoh masyarakat atau kalangan pengusaha berobat. Kelompok masyarakat itu -- yang secara ekonomis mampu -- memilih berobat ke luar NTT bahkan luar negeri. "Bila kita telusuri berapa banyak orang NTT yang berobat ke luar negeri yakni, Singapura, Penang Malaysia, Australia maupun negara lainnya, maka kita akan terkejut setiap bulan tidak kurang dari 75 sampai 100 orang berobat ke luar negeri. Baik para pejabat, pengusaha, tokoh-tokoh masyarakat maupun masyarakat biasa. Walaupun berobat ke luar negeri biayanya sangat mahal, namun mereka menginginkan pelayanan yang baik, diagnosa yang tepat, kepastian jenis penyakit yang diderita dan memuaskan," kata Malessy.
"Sungguh disayangkan, orang NTT yang hidup ekonominya masih pas-pasan harus mengeluarkan uang untuk berobat ke negara lain. Ironisnya kalau pejabat pemerintah yang berobat keluar negeri, maka ongkos yang bermiliaran rupiah harus ditanggung oleh rakyat," tambah Malessy.
Sentilan ketua YLKI NTT memang dapat memanaskan hati dan kuping. Tetapi suasana diskusi petang itu tetap adem karena spirit diskusi FAN adalah demi pelayanan RSU Kupang yang lebih baik. Bukan menunjuk hidung yang dituding bersalah dan bersorak bagi yang merasa paling benar.
Fakta yang diungkap YLKI melahirkan pertanyaan baru yang menggelitik. Kalau demikian adanya, apakah RSUD Kupang serta rumah sakit milik pemerintah di berbagai daerah di NTT khusus bagi si miskin?
"Anda tidak usah terkejut. Standar pelayanan rumah sakit pemerintah memang untuk kelompok masyarakat kelas bawah. Bukan kelas menengah apalagi kelas atas," kata narasumber ketiga dari Forum Academia NTT, Dr.dr. Hyron Fernandez.
Bagaimana respons Direktur RSU Kupang? Dokter Anapaku lagi-lagi tidak menampik litani keluhan Mus Malessy serta penegasan Hyron Fernandez. Diskusi akhir pekan itu sungguh forum membuka diri terhadap kritik demi sebuah perubahan. Perubahan bernama pelayanan. Pelayanan RSU bisa diukur mulai dari soal kecil seperti cara senyum dan sapa. Bagaimana di RSU Kupang? (bersambung)
Hari Sabtu, 21 Februari 2009, Forum Academia NTT (FAN) menggelar diskusi bulanan "kopi darat" (kopdar) di ruang rapat Redaksi Pos Kupang. Kopdar FAN membedah Pelayanan RSUD Prof.Dr. WZ Johannes Kupang menghadirkan tiga nara sumber yaitu Direktur RSU Kupang, dr. Aphonsius Anapaku, Sp.OG, Ketua YLKI NTT, Mus Malessy dan Dr. Hyron Fernandez (FAN). Dari RSU hadir juga dr. E Frank Touw, dr. Yudith M Kota, drg. Maria K Setyawati, Damita, Yos Here dan David Mandala. Anggota FAN yang ikut diskusi, dr. Adhi Sanjaya, dr. Debby Veronika, Wilson Therik, Rm. Leo Mali, Daiman, Silvester Ndaparoka, Palce Amalo, Hiro Bifel, Leo Ritan, Elcid Li, Gusti Brewon, Volkes Dadi Lado, Paul Sinlaeloe dan Sandro Dandara.
Laporan serial Pos Kupang edisi 3,4 dan 5 Maret 2009 halaman 1