SEDARI dulu, NTT dikenal sebagai salah satu daerah potensial. Potensial dalam hal kekayaan alam. Ada tambang marmer di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS). Ada tambang mangan yang hingga kini belum dieksploitasi di Kabupaten Kupang. Ada juga tambang emas, potensi pariwisata, dan sebagainya.
Malah akhir-akhir ini NTT juga disebut-sebut sebagai daerah potensial bagi pengembangan tanaman sumber energi alternatif.
Khusus item ini, tersebutlah sederet potensi lokal yang telah diidentifikasi dapat diolah menjadi energi alternatif. Ada Jatropha dan lontar, ada juga sorgum yang oleh sebagian masyarakat disebut sebagai jagung rote, dan masih banyak lagi.
Bupati terpilih Kabupaten Kupang, Ayub Titu Eki tak bisa memungkiri bahwa daerah ini mengandung banyak potensi. Tapi apa artinya potensi itu kalau tidak diolah, tidak dikelola secara baik.
Apa artinya membesar-besarkan nama potensi yang ada, seperti Jatropha dan juga lontar atau potensi lainnya, kalau hanya manis di mulut. Tak ada guna. Tak ada manfaat. Yang penting sekarang, bagaimana memanfaatkan potensi itu bagi masyarakat dan daerah.
Titu Eki benar. Bahwa yang paling utama dari sebuah potensi adalah pemanfaatannya. Artinya, kalau potensi itu diolah, dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, tentu akan membawa manfaat ganda bagi masyarakat.
Tapi jika sebaliknya, maka percuma kita mengampanyekan besar-besaran potensi yang ada. Toh itu hanya lip service. Apalagi seperti yang terjadi selama ini, jika ada investor yang hendak berinvestasi di NTT, persoalan pertama yang dikemukakan adalah berbelitnya birokrasi dan pelbagai tindak ikutannya.
Contoh-contoh kasus tentang itu tak perlu dibeberkan secara detail. Tapi berangkat dari realitas yang terjadi selama ini, ada banyak investor yang memilih hengkang sebelum menanamkan modalnya di daerah ini.
Bahwa pemerintah perlu hati-hati, itu memang ada benar adanya. Tapi jangan karena fakor itu, lalu ada semacam spirit untuk merumitkan persoalan, membelitkan birokrasi terhadap peluang investasi.
Bila ada praktik semacam itu, seyogyanya dihentikan saat ini juga. Karena cara tersebut akan memburamkan potensi NTT. Potensi di daerah ini tak bisa dieksplorasi, tak bisa dieksploitasi karena praktik-praktik yang kontra produktif.
Pada bagian lain, Titu Eki mengemukakan, untuk memajukan daerah ini, termasuk dalam 'gelora' mencari energi alternatif, tak ada pilihan lain kecuali aksi. Aksi dari, oleh dan untuk masyarakat. Aksi itu antara lain menanam tanaman yang teridentifikasi sebagai sumber energi alternatif.
Ia tak mau yang muluk-muluk. Juga tak ingin dalam skala besar sekaligus. Ia ingin memulainya dari hal-hal kecil. Bahkan mungkin merintisnya dari sebuah area kecil, tentunya dengan menggandeng masyarakat.
Komentar Titu Eki tersebut mengundang aplaus para peserta diskusi. Semua yang hadir memberikan apresiasi. Para peserta gembira karena ungkapan itu menyahuti kritikan plus tantangan yang dilontarkan Ory Octavianus dari LO Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LO BPPT) Indonesia Timur.
Pada diskusi terbatas itu, Ory mengemukakan, selama ini pemerintah daerah tidak serius membudidayakan Jatropha. Padahal Jatropha NTT mempunyai rendemen terbaik di dunia. "Untuk saat ini, Jatropha terbaik itu dari Kabupaten Belu dan Wewewa (Kabupaten Sumba Barat Daya)," ujar Ory singkat.
Ory juga menyebutkan, untuk menjadikan Jatropha sebagai tanaman industri, pengembangannya harus serius. Lahannya harus luas, jarak tanamnya harus diatur, manajemen penanamannya pun mutlak diperhatikan.
Kalau sudah seperti itu, barulah pemerintah mengundang investor untuk berinvestasi. Ketika investor tiba, misalnya, yang diperlihatkan pemerintah bukan luasnya hamparan lahan tidur yang belum digarap, tapi fakta di mana tanaman itu tumbuh subur dan punya prospek.
Menanggapi pernyataan Ory, Titu Eki tak serta merta mengungkapkan secara terang, lokasi yang cocok untuk budidaya tanaman sumber energi alternatif itu. Namun ia punya komitmen, akan menjadikan salah satu daerah di Kabupaten Kupang sebagai lokasi percontohan pengembangan Jatropha atau tanaman lainnya di NTT. Komitmen itu akan ia tunjukkan ketika kelak telah menakhodai Kabupaten Kupang.
Kita tentunya berharap agar impian bupati terpilih Kabupaten Kupang itu nantinya terwujud. Karena sejauh ini, NTT tak punya lokasi percontohan untuk tanaman penghasil biofuel, pengganti bahan bakar minyak itu.
Sekitar tahun 2007, ada proyek pembudidayaan Jatropha yang ditangani Dinas Perkebunan NTT. Proyek itu kini tak memberikan hasil optimal. Indikasi itu terkuak ketika Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) NTT kesulitan mendapatkan biji jarak dari petani untuk diproduksi menjadi minyak jarak.
Proses menghasilkan minyak jarak itu langsung pada pabrik yang dibangun instansi tersebut di Bolok, Kabupaten Kupang. Namun hingga kini, pabrik itu tak berfungsi. Padahal, mesinnya, gudangnya. dan fasilitas pendukung lainnya, sudah rampung.
Hal kontras ini tentu mengundang tanya. Disatu sisi pemerintah mengembangkan Jatropha dengan dana miliaran rupiah, tapi disisi lain, tanaman itu tidak memberikan hasil maksimal.
Di satu pihak tanaman itu belum berproduksi secara baik, dipihak lain, pemerintah dari instansi teknis, buru-buru membangun pabrik untuk memproses biji jarak menjadi minyak. Tersirat jelas, betapa ada yang sesuatu di balik sikap proaktif pemerintah itu.
Pemerintah sepertinya menjadikan tanaman ini sebagai proyek untuk kepentingan tertentu. Buktinya, meski dana miliaran rupiah telah dihabiskan, proyek itu sendiri tidak memberikan hasil yang menggembirakan.Sampai sekarang pemerintah sepertinya apatis terhadap tanaman Jatropha itu.
Fakta ini memperlihatkan betapa pemerintah belum serius menyiapkan masyarakat sebagai ujung tombak dalam menyukseskan program pemerintah pusat, mengembangkan tanaman yang dapat menjadi pengganti bahan bakar minyak. Padahal, ini sangat penting di masa-masa mendatang.
Untuk itu, sudah saatnya kita membaharui tekad, memperbarui komitmen untuk melakukan hal-hal yang konkret. Sudah saatnya kita beraksi dengan menanam tanaman pengganti bahan bakar minyak. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? (habis)
Dipublikasikan Pos Kupang edisi 28 Februari, 1 dan 2 Maret 2009 halaman 1.
Disarikan dari Diskusi Terbatas tentang Kelangkaan Minyak Tanah Kerja Sama Pos Kupang, PIKUL dan Bengkel APPeK.