ADALAH Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Pos Kupang, Dion DB Putra, yang mengungkapkan persoalan ini. Dari tahun ke tahun, NTT selalu dihadapkan pada tiga krisis. Krisis pangan, krisis air dan krisis energi.
Tiga krisis ini selalu mendera masyarakat, membelenggunya dari dulu sampai sekarang. Bahkan mungkin selama-lamanya, kalau para pemangku kepentingan di daerah ini, asyik dengan dirinya sendiri.
Pemerintah, misalnya, hingga kini belum mampu mengatasi
krisis pangan. Kabar gizi buruk merupakan contoh yang tak terbantahkan. Ibarat patah satu tumbuh seribu, itulah realitas yang terjadi selama ini. Setelah satu kasus gizi buruk ditangani, muncul lagi kasus yang lainnya.
Demikian juga dengan krisis air bersih. Dari dulu sampai sekarang, persoalannya tak kenal ujung. Terulang dan terus terulang. Di Kota Kupang, misalnya, masih banyak warga yang susah mendapatkan air bersih. Ada yang tak kebagian air bertahun-tahun lamanya. Adakah yang salah?
Yang jelas, hingga detik ini tak sedikit warga Kota Kupang dan kota-kota lainnya di Flobamora ini masih sulit mendapatkan air bersih, khususnya yang dilayani perusahaan daerah air minum (PDAM) milik pemerintah.
Tentu saja, krisis ini akan berdampak pada aspek lain, kalau tidak ditangani secara baik. Ditangani dari hulu sampai ke hilir. Percuma juga pemerintah menugaskan PDAM mengelola air bersih kalau sumber mata airnya, sumber lingkungan penyedia air tanah, tidak dipelihara dengan baik.
Begitu pula dengan krisis energi. Bila saat ini masyarakat senantiasa bergantung penuh pada minyak tanah, maka tatkala secuil kasus menghambat distribusi bahan bakar tersebut, so pasti ada keresahan dalam masyarakat.
Masyarakat pasti cemas dan panik. Karena itu, wajar kalau saat ini antrean warga membeli minyak tanah, masih terlihat di mana-mana. Masyarakat seolah memburu minyak tanah, padahal Pertamina selalu menyalurkan setiap hari.
Kalau keadaan ini terus terjadi, maka ke depan daerah dan negara ini akan menghadapi masalah yang lebih besar lagi. Masalah itu timbul ketika persediaan minyak bumi habis.
Pernyataan Dion Putra ini diamini Manajer Area Retail Pertamina Kupang, Ruslan W Marbun. Marbun mengatakan, prediksi persediaan bahan bakar minyak memang akan habis pada masa-masa mendatang.
Ancaman itu, katanya, bukan untuk menakut-nakuti. Ini masalah besar yang cepat atau lambat akan kita hadapi. Solusinya, perlu langkah antisipatif dari sekarang. Langkah antisipatif itu antara lain mengembangkan potensi lokal, seperti yang dikampanyekan pemerintah pusat akhir-akhir ini.
Kampanye itu ialah pemerintah bersama masyarakat harus bahu- membahu mengembangkan tanaman yang menjadi sumber energi alternatif, di antaranya jarak pagar atau Jatropha.
Bak gayung bersambut. Ory Octavianus, salah satu putra NTT yang kini berkarya di LO Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LO BPPT) Indonesia Timur pun bersaksi. Dia mengatakan, NTT merupakan penghasil minyak jarak terbaik di dunia.
Hanya saja, kritiknya, pemerintah daerah ini tidak serius mengembangkannya. Baru bicara soal Jatropha, misalnya, semua orang mengaku sudah tahu. Bahkan menyebut bahwa dari kecil sudah akrab dengan tanaman tersebut. Padahal, Jatropha untuk energi alternatif bukan asal tanam. Tanaman itu butuh perlakuan khusus, butuh perlakuan istimewa.
Ada syarat-syarat tertentu agar Jatropha layak menjadi sumber energi pengganti bahan bakar minyak. Pertama, setiap pohon jarak hanya boleh memiliki 18 cabang. Setiap cabang hanya 18 buah dan dalam setiap buah, hanya ada 3 biji.
Ini syarat teknis yang harus diketahui masyarakat. Dengan begitu, pembudidayaan tanaman itu minimal membawa hasil nyata. Bukan sebaliknya masyarakat disuruh tanam tanpa ada pendampingan, tanpa ada sosialisasi lanjutan tentang spesifikasi tanaman itu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, tuturnya, Jjatropha NTT merupakan yang paling baik di dunia. Terbaik dari sisi rendemennya. Ini tentu didukung beberapa faktor, diantaranya iklim dan lahan.
Di daerah ini, kata Ory, lahan tidur membentang luas. Membentang tanpa ada yang peduli. Andaikata hamparan lahan tersebut dimanfaatkan dengan menanami Jatropha secara serius, membudidayakannya dengan orientasi jauh ke depan, maka suatu saat nanti NTT bisa saja terkenal sebagai negeri Jatropha.
Mungkinkah? Apakah pintu hati kita terketuk oleh tantangan ini? Jawabannya berpulang pada kita sendiri. Tapi bila kita sehati sesuara membudidayakan Jatropha mulai saat ini, mulai detik ini, mengembangkannya sesuai dengan syarat-syarat teknis seperti yang diungkapkan Ory, maka mimpi akan lahir NTT sebagai negeri jatropha bisa terwujud.
Ory juga menyebutkan, selain Jatropha, pohon lontar adalah salah satu tanaman sumber energi alternatif. Lontar kalau disadap dan hasil sadapannya diolah dengan baik, itu dapat menjadi sumber energi bagi masyarakat.
Ory tak hanya bicara. Ia pun melakukan uji coba menyalakan kompor dengan sopi (arak) sebagai bahan bakar. Pertama ia memasukkan royal jely dalam kompor lalu menuangkan sopi dari botol plastik di tangannya. Sejurus kemudian ia menyalakan korek api, menyulut kompor itu. Alhasil, kompor pun menyala kebiru-biruan.
Semua peserta diskusi tercengang. Betapa sopi yang selama ini menjadikan orang mabuk, ternyata bisa sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah. Itu fakta yang telah dipertontonkan Ory.
Ini menunjukkan bahwa lontar yang tumbuh di hampir semua daerah di NTT merupakan salah satu potensi yang sangat bermanfaat bila dikembangkan secara serius. Lontar itu tidak hanya sebagai penghasil nira, penghasil gula air, penghasil gula lempeng, tetapi juga sebagai sumber energi alternatif.
Tinggal sekarang bagaimana pemerintah dengan segala kewenangan mengubah NTT menjadi daerah penghasil bahan bakar bioethanol bagi negeri ini. Kalau bukan tanaman Jatropha, maka pemerintah bisa memilih lontar. Kalau pun kedua-duanya dikembangkan, tentu itu baik adanya.
Sulitkah? Lagi-lagi, jawabannya berpulang pada kita semua, pemerintah dan semua stakeholders di daerah ini. Bila pemerintah tampil sebagai motor penggerak, tentu akan sangat baik.
Tapi, jikalau pemerintah hanya sebatas mengimbau lewat kata- kata, lewat pidato yang puitis, maka bisa diprediksi bahwa NTT yang tertinggal, terbelakang, termiskin dan sederet predikat minor lainnya selama ini akan tetap bertahan. NTT tak akan berubah.
Karena itu, kita butuh aksi, bukan semata kata-kata. Kita butuh pemerintah yang mampu menggerakkan seluruh potensi, baik yang ada dan dimiliki masyarakat maupun yang ada di alam ini.Tanpa itu, sepotensial apa pun NTT ini, itu hanya kebanggaan semu. Sebab, kita tak mampu memanfaatkannya secara baik. Memanfaatkannya untuk kemaslahatan masyarakat daerah ini. Mudah-mudahan ini hanya kekhawatiran belaka. (bersambung)