Otonomi Perempuan

Oleh Dra. Erny Nappoe, MM

Kabag Pengarusutamaan Anak pada Biro Pemberdayaan Perempuan Setda Propinsi NTT dan Sekretaris Jaringan Perempuan Politik NTT
Meraih Kebebasan Perempuan
PEREMPUAN adalah manusia yang mempunyai potensi untuk tumbuh kembang sebagai manusia. Ia lahir dengan naluri untuk sukses dan terus maju dalam kehidupan yang ditempuhnya. 

Posisi perempuan yang selama ini menjadi nomor dua (women is second sex) akan mengebiri dan menindas perempuan. Kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan kecerdasan diri akan membentur sekat-sekat budaya yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat, kebebasan untuk tumbuh belum tampak diberikan oleh orang tua kepada perempuan, kalaupun ada hanya bersifat semu dan sesaat. Perempuan diperbolehkan sekolah dan kuliah, namun masih dibatasi geraknya untuk ke luar rumah mencari aktivitas. 


Sejarah perempuan sangat menyedihkan, harus dibunuh jiwa kreativitasnya oleh orang-orang yang melindunginya secara berlebihan, akibatnya perempuan serasa lumpuh dan tidak bisa mengakses kemajuan. Di sekolah dan banyak perguruan tinggi, perempuan seringkali muncul menjadi yang terbaik mencapai Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang dicapainya. 

Bahkan dalam berkarya perempuan lebih berprestasi dan mampu berpikir kreatif dan cerdas, berkomitmen dan melayani dengan nurani. Potensi yang positif ini membutuhkan ruang yang bebas dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkarya, bekerja keras untuk memajukan potensi yang dimilikinya.

Secara sosiokultural perempuan dibatasi oleh budaya patriakat yang kokoh dan tidak mudah merobohkannya. Contohnya, alokasi dana untuk perempuan dan laki-laki pada keluarga miskin. Mereka akan mendahulukan sekolah anak laki-laki daripada perempuan, jika uang dimiliki hanya untuk satu orang. Sedangkan dalam keluarga sejahtera fasilitas uang pendidikan dan kesejahteraan lebih besar laki-laki daripada perempuan. 

Perilaku yang kelihatan remeh ini akan berpengaruh pada bentukan yang dicapai oleh perempuan. Sikap ayah dan ibu yang membeda-bedakan akan terbawa pada persepsi bahwa perempuan dibawah laki-laki. Namun demikian usaha menuju terbukanya persaingan global memungkinkan usaha kaum perempuan. Seorang ibu mempunyai peranan penting untuk menyejajarkan putra putrinya, untuk bebas tumbuh dan berkembang, bebas memilih dan menentukan sikap, dalam pendidikan dan pekerjaan. Jika para ibu mempunyai cara pandang dan persepsi yang sama dan seimbang memperlakukan anak perempuan dan laki-laki maka pada generasi mendatang anak-anak akan tumbuh menjadi orang yang mampu bersaing secara fair untuk kepentingan bersama.

Mengubah cara pandang atau pikiran adalah membongkar sekat-sekat ketidakadilan dalam srtuktur pemahaman masyarakat. Pembangunan yang dikelola oleh pihak laki laki saja telah menyebabkan budaya korup yang luar biasa besar. Pembangunan yang gagal memandirikan bangsa dari hutang luar negeri karena tidak melibatkan secara utuh partisipasi perempuan. Jumlah perempuan yang 56 persen dari jumlah penduduk Indonesia masih minim dalam mengambil peran publik. Selama ini perempuan dininabobokan oleh pandangan bahwa perempuan ada dibalik kesuksesan suami, akibatnya perempuan dalam kesadarannya terbentuk bergantung sepenuhnya dibawah ketiak laki-laki tanpa mau mengambil peran penting dalam wilayah publik. 

Akibat pembodohan yang sistimatis, perempuan menjadi tertinggal jauh dari segi pendidikan dan tidak mempunyai kemampuan. Akibatnya perempuan menjadi beban para suami dan keluarga laki-laki, sedangkan bagi perempuan yang berusaha mandiri dengan keterbatasan pendidikan yang rendah masih tertatih tatih, bahkan harus menghadapi kerasnya hidup dalam budaya patriakat.

Penindasan Politik Perempuan
Peran politik kaum perempuan masih sangat kurang. Kendala utamanya adalah karena laki-laki dan sebagian perempuan memandang dan memperlakukan perempuan dari segi budaya patriaki yang mengakar dan mendomonasi dalam kehidupan masyarakat, bahkan dalam lingkungan terkecil nuansa domonasi laki-laki sangat kuat, terlebih di pedesaan. Label dan cap yang diberikan kepada kaum perempuan sangat kental sebagai orang lemah dan terbelenggu ketergantungan yang didoktrin secara turun temurun. Perempuan dipersepsikan sebagai orang kelas dua yang seharusnya dirumah dan dininabobokan oleh konsumerisme, sedangkan hedonisme dalam cengkeraman kapitalisme. Perempuan lemah tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kekasaran permainan kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan karena patron membentuk perempuan sangat tendensius, yakni mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas. Persepsi negatif tersebut dilekatkan pada perempuan sendiri telah terstruktur sedemikian rupa dibenak kaum perempuan dan kaum laki-laki.

Pembongkaran budaya patriakat men-judgment perempuan membuat mitos sangat luar biasa kuatnya. Pemberdayaan perempuan terbentur dinding yang sangat kukuh dari interpretasi perempuan, tinjuaun dari segi politik, agama dan sosial. Perempuan sebenarnya mempunyai otonomi mutlak tentang dirinya yakni sebagai manusia dengan kedudukan setara yang membawa kepemimpinan di muka bumi. Perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara yang mengatur kesesejahteraan manusia. Telah terjadi kesenjangan anatara gagasan keadilan yang mendudukkan perempuan dan laki-laki pada kesetaraan, namun realitas yang terjadi perempuan masih terkungkung oleh tidak adanya kesempatan dan tidak diberikannya ruang yang memadai bagi perempuan untuk mengaktualisasi dirinya.

Wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30 persen caleg di partai politik. Banyak kalangan perempuan menolak dengan alasan membatasi langkah perempuan. Sebagian kalangan perempuan menyambut wacana tersebut dengan langkah maju untuk memberi gerak kepada perempuan dalam langgam politiknya karena selama ini hanya 12 persen perempuan dalam ruang senayan dan DPR Propinsi 9,09 persen, sementara DPR Kabupaten 10,21 persen. 

Sepantasnya dicermati permintaan quota 30 persen untuk perempuan di partai politik memang bernuansa pembatasan peran, namun menilik sejarah perempuan yang duduk di parlemen 12 persen di senayan dan Propinsi NTT 9,09 persen menunjukkkan kemajuan pola berpikir dan gerakan yang progresif. Teriakan untuk menggagas peran perempuan dalam pembangunan tidak semudah membalik telapak tangan, perlu dilakukan secara bertahap dan terus-menerus dalam mengoreksi peran barsama yang telah diusung oleh manusia dalam konteks persamaan derajat dan pemberian ruang bebas bagi aktualisasi manusia. 

Perempuan sebagai manusia mempunyai tugas kemanusiaan (tentu secara wacana). Namun dalam permintaan quota 30 persen sebenarnya merupakan langkah maju yang berani untuk menaikkkan posisi tawar lebih realistis dari manipulasi patriakat. Pemberdayaan perempuan perlu diberikan ruang nyata untuk menebarkan potensi yang berserakan dipinggiran kekuasaan. Ironis memang di satu sisi ingin mengakui persamaan peran antara laki-laki dan perempuan, namun dalam praktisnya ruang itu dikunci rapat bagi perempuan. 


Tuntutan para LSM yakni adanya quota terhadap anggota perlemen bagi kaum perempuan, itu sah-sah saja tetapi harus disertai dengan kemampuan perempuan. Kalau sudah mendapat quota cukup banyak tapi yang duduk disitu tidak bisa mewakili atau tidak bisa menunjukkkan kemampuan mereka, justru bisa membuat bumerang bagi masyarakat.

Peran politik perempuan dalam dunia politk seakan beraneka ragam. Wilayah politik yang mampu dimainkan masih sebatas wacana dalam diskusi dan pelatihan. Dalam pergumulan politik sebenarnya perempuan bisa menembus apa saja dengan kualitas yang dimilikinya. Ia mampu menjadi pemimpin dari tingkat kepala desa sampai presiden dan wilayah publik yang signifikan, namun harapan itu sangat jauh dari kenyataan di lapangan. Perempuan banyak yang ditolak oleh komunitasnya sendiri ketika ingin berperan lebih. Sesama perempuan saling menjegal, tidak siap mendukung ketika sesama perempuan maju bersaing dalam sebuah ranah politik atau publik. Kesempatan bagi perempuan kandas, dan ini dimanfaatkan oleh laki-laki. 

Pertarungan di wilayah perempuan memang penuh intrik antara siapa mempengaruhi siapa. Persoalan pengaruh inilah yang harus digalang solidaritas dari kaum perempuan untuk memberi kepercayaan kepada perempuan yang berkualitas dalam bidangnya. Pembelaan dari sesama kaum perempuan perlu menjadi cetak biru jika ingin menabrak budaya yang mendominasi.

Kesiapan perempuan untuk maju secara berani mengambil inisiatif dalam segala kebijakan menyangkut hidupnya dan masyarakatnya penting untuk diartikulasikan. Penguatan sipil sebagai bangunan yang kokoh, merupakan suatu tatanan negara yang selayaknya menjadi konsentrasi para aktivis perempuan untuk mendampingi kalangan perempuan yang tertinggal karena kita tidak mungkin maju sendiri sementara para perempuan yang lain masih tertinggal pengetahuannya dan terbelenggu oleh mitosnya sendiri yang membelenggu kipranya di bidang politik. Kita masih saksikan banyak perempuan terpuruk karena terbatasnya perolehan mereka di bidang pendidikan. Terbatasanya modal pendidikan, membuat terbatasnya lapangan kerja bagi kaum perempuan dan hal itu menimbulkan rentannya kaum perempuan terhadap kekerasan dan penindasan.

Kemauan politik permpuan sangat strategis menjangkau pembalikan kekuasaan yang didominasi oleh kaum laki-laki, jumlah kaum perempuam mencapai 50 persen dalam pemilu mendatang, akan melandasi gerakan kaum perempuan dan menjadi diktum pembebasan selanjutnya. Cara pandang yang rasional dan mengutamakan nilai-nilai keadilan akan mampu mendorong keterlibatan kaum perempuan lebih luas di dunia publik. Tidak saja perempuan yang menikmati kemajuan ini, namun juga kaum laki-laki akan menjadi lebih bijak dalam mambagi tugas dalam bermitra kerja dengan perempuan dalam memutuskan kebijakan masyarakat luas, maka dalam membagi peran politik antara laki-laki dan perempuan akan menjadi mitra sejajar yang saling mengukuhkan bangunan bangsa yang telah rapuh ini. 

Biarkan perbedaaan itu tetap seperti apa adanya, yang perlu kita upayakan adalah bagaimana perbedaan itu dapat menyatukan kita dalam suatu keharmonisan warna pelangi yang indah. 

***
PERMASALAHAN perempuan di bidang ekonomi tidak terlepas dari kemiskinan. Perempuan dalam kegiatan secara umum terbagi dalam tiga kelompok, yaitu perempuan tidak mampu berusaha, karena beban kemiskinan; perempuan yang tidak berusaha; perempuan pengusaha kecil dan menengah.

Perempuan tidak mampu berusaha karena beban kemiskinan, khusus dalam pemenuhan pendidikan dan kesehatan, harus berusaha dengan segala cara dan berorientasi pada kebutuhan saat ini. Perempuan dalam keluarga miskin sulit untuk berpikir jernih dan terbuka dalam menata kehidupan masa depan. Sedangkan perempuan yang belum bekerja atau tidak bekerja atau tidak berusaha, dihadapkan pada permasalahan sikap, budaya, pengetahuan dan penerapan. Perempuan tidak berusaha karena kurangnya motivasi, walaupun sumber daya yang dimiliki cukup dan mampu. Di lain pihak ada perempuan yang ingin bekerja tapi tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan untuk usaha.

Ada tiga pendekatan kemiskinan, yaitu pendekatan kultural, struktural, dan alamiah, baik secara parsial maupun bersama-sama dapat dipakai untuk menjelaskan penyebab kemiskinan dikalangan kaum perempuan, baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. 

Pertama, secara kultural. Sebagian masyarakat kita masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya tradisional yang beridiologi patriaki, yaitu fenomena ketimpangan struktural berupa keterbatasan kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan, memperoleh akses ekonomi (bekerja untuk memperoleh penghasilan dan bukan sebatas menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga), berorganisasi. 

Kedua, kemiskinan struktural. Berekses pada timbulnya kemiskinan kultural dalam wujud rendahnya pendidikan dan keterampilan pada sebagian besar perempuan terutama di pedesaan. Sementara itu, kemiskinan alamiah menjelaskan adanya sebagian kaum perempuan yang bersikap pasrah terhadap posisi dirinya dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat karena secara sadar menyadari demikanlah kodratnya sebagai perempuan. Fenomena penerimaan ini tidak hanya dijumpai di kawasaan pedesaan tapi juga di perkotaan, termasuk di kalangan perempuan terpelajar.

Pada kelompok perempuan pengusaha berskala mikro, permasalahan utama yang dihadapi, yaitu keterbatasan permodalan untuk segera memutarkan usahanya karena kebutuhan rumah tangga masih termasuk bagian dari kegiatan. Kelompok ini sering menjadi korban kelompok pemberi jasa modal dengan bunga harian yang besar. Sementara itu, kelompok perempuan yang telah berusaha dan masuk kategori usaha kecil dan menengah, permasalahan yang sering dihadapi, adalah pemasaran, peningkatan produtivitas, manajeman usaha dan akses perbankan. Sedangkan bagi perempuan usaha menengah biasanya telah memperhatikan kepada masalah pemasaran dan peningkatan kualitas produk

Akses Perempuan Terhadap 
Informasi Pasar dan Teknologi
Dari hasil pengamatan dan peneiltian, perempuan yang melakukan usaha atau bisnis makro dan usaha kecil sering kali kurang mendapatkan akses pasar, yang meliputi keinginan, kebutuhan dan kesukaan konsumen yang kemudian biasanya berhububgan dengan aspek kualitas mutu prodok yang dihasilkan dan dipengaruhi dengan teknologi yang digunakan.

Adriani Sumampouw Sumantri dan kawan-kawan (2000) melakukan pendampingan dan pengamatan terhadap kelompok perempuan UMK menyampaikan kelemahan kelompok perempuan ini. Hasil pemetaaan ADB (2001) terhadap kelompok perempuan pengusaha menunjukkan hasil yang sedikit berbeda, mungkin karena tingkat pendidikan kelompok yang diteliti lebih tinggi. ADB menenumukan bahwa perempuan pengusaha tidak mempersalahkan kualitas produknya, tapi informasi pasar juga masih sering tertinggal. 

Senada dengan pengamatan Adriani dkk dan ADB, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan menengah (2000) yang mengadakan pemetaan UKM perempuan di 18 propinsi juga memberikan gambaran yang sama bahwa informasi pasar dan teknologi menjadi kendala kelompok ini untuk maju dan bersaing dengan pengusaha lainnya. Dengan demikian, perlu adanya peningkatan kualitas dan perbaikan teknologi atas produk-produk usaha mikro, kecil dan menengah. Karena dengan adanya arus globalisasi dan kebebasan pasar, maka negara yang telah maju dan siap menghadapi arus globalisasi telah memanfaatkan hak intelektual sebagai komoditas. Hal ini harus diantisipasi, mengingat produk-produk usaha kecil dan menegah biasanya merupakan produk tradisional, namun seringkali unik dan spesifik sehingga perlu dilindungi dari praktek-praktek pencurian hak intelektual.

Akses Terhadap Sumber 
Permodalan dan Pembiayaan
Adriani dkk (2000) menggambarkan kelemahan UMK dalam hal permodalan, antara lain, kesulitan untuk memperoleh kredit melalui badan resmi dengan sistem formal disebabkan persyaratan-persyaratan yang sering terlalu berbelit dan sulit terpenuhi. Namun di satu pihak ada kelompok perempuan yang mengatakan tidak mempersalahkan hal tersebut asalkan ada informasi yang benar. Namun di satu pihak ada perempuan pengusaha yang tidak mau melakukan pinjaman walaupun sebenarnya pengusaha sangat membutuhkan tambahan modal. Hasil Studi penelitian SMERU yang berkaitan dengan kinerja Upaya penguatan Usaha Mikro Kecil di tingkat pusat periode 1997-2003) berhasil mengidentifikasi permasalahan, antara lain, pertama, kurangnya sosialisasi, terutama upaya yang dilakukan pemerintah (pelaksanaan program yang terburu-buru bahkan tanpa sosialisasi). 

Kedua, upaya tidak berlanjut dan kapasitasnya terbatas (banyak upaya yang hanya bersifat simbolis sangat terbatas baik jumlah maupun jangkauan sasaran serta tidak berkesinambungan).

Ketiga, penunjukan lembaga pelaksana yang kurang tepat. Banyak program yang keberhasilannya sangat ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas lembaga dan SDM yang mengelolanya. Keempat, lemahnya pengawasan dari masyarakat hal ini menyebabkan banyak upaya terhanti dan tersendat setelah ditinggalkan pendamping atau fasilitator. Kelima, otonomi daerah. Hal ini menyebabkan sulitnya instansi pusat dalam mengontrol dan memantau pelaksanaan upaya karena terputusnya hubungan struktural antara pemerintah pusat dengan pemerintah propinsi maupun kabupaten.

Peningkatan Kapasitas 
Sumber Daya Manusia
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya pengusaha mikro kecil dan menengah menjadi slah satu sebab kurangnya peran perempuan dalam pembangunan. Muniarti dkk (2001) mengatakan bahwa faktor budaya menjadi salah satu kendala rendahnya tingkat pendidikan formal perempuan, tapi di sisi lain perempuan juga mendapatkan lebih bayak pendidikan di luar sekolah dari keluarga dan masyarakat. 

Dari hasil survai yang berwawsan gender oleh tim bantuan teknik Pengembangan UKM menemukan bahwa manejer perempuan yang berpendidikan baik sangat optimis terhadap masa depannya, Mereka mampu menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya, tingkat pendidikan menjadi faktor penentu dalam mengakses informasi dan pelayanan usaha, pemgembangan jejaring kerja informasi dan teknologi bagi perempuan pengusaha sangat diperlukan dalam rangka penguasaan pasar.

Penataan Kelembagaan dan Jejaring Kerja
Kooordinasi pengembangan informasi dan jejaring kerja di antara kelompok-kelompok perempuan atau organisasi yang dibentuk oleh pemerintah melalui kegiatan sektoral, maupun kelompok-kelompok perempuan yang tumbuh dari bawah belum memadai. Adanya berbagai kelembagaan yang dikelola perempuan seperti Badan Koordinasi Organisasi Perempuan (BKOW) tampak lebih berfungsi sebagai lembaga kemasyarakatan dan bukan untuk keperluan kegiatan ekonomi. Sedangkan IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) yang benar-benar merupakan organisasi yang berkecimpung langsung dalam kegiatan ekonomi belum sepenuhnya dapat melakukan koordinasi dengan anggotanya. Untuk itu, perlu dibentuk jaringan sosial antarkelompok organisasi perempuan yang dapat berfungsi tidak hanya sebagai paguyuban, tetapi juga sebagai sumber informasi yang sesuai dan sumber yang saling mendukung dan sumber untuk bekerja sama aatau usaha secara kolektif. Jaringan ini menjadi relasi saling menguntungkan, saling ketergantungan dan saling membutuhkan.

Sensitivitas Gender Dikalangan Masyarakat
Hal mendasar yang harus digalakkan adalah upaya pengarusutamaan gender diseluruh lapisan masyarakat, kelompok dan golongan. Kesadaran gender atau gender awareness tidak dapat sekaligus dimengerti dan sekligus dilaksanakan oleh mayarakat. Penyadaran gender perlu waktu dan perubahan pola pikir dan pola tindak sehingga diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk mengubah kultur atau kebiasaan masyarakat. 

Sensitivitas gender, kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuahan praktis perempuan berhubungan juga dengan aspek sosial dan lingkungan. Kondisi sosial perempuan harus juga dilihat dari segi kesehatan, perlindungan terhadap kekerasan, lingkungan yang mempengaruhi kehidupan perempuan, yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kinerja usaha perempuan. *

Pos Kupang 28 dan 30 Maret 2009 halaman 7
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes