Tabha dan Sambal Kepiting Beiposo

SAHABATKU di Kota Bajawa, Kabupaten Ngada bernama Jefry Menge berkisah tentang kampungnya, Minggu (11/1/2009 siang. Beiposo. Begitulah nama kampungnya. Kampung ini berada di pinggiran Kota Bajawa, di kawasan perbukitan cagar alam (CA) Watuata. Beiposo masuk dalam wilayah Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. 

Banyak persoalan mulai dari jalan yang berlobang, kekurangan sarana air bersih (SAB) dan masalah pertanian masih melanda warga di kampung ini. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang menarik diceritakan sobat saya itu. Ia bercerita tentang Beiposo di masa dulu dan sekarang yang masih memegang teguh tradisi adat-istiadat. 

Kali ini sobatku mengenang di masa kecilnya. Ketika itu ia sering disuguhi makanan non beras oleh orangtuanya karena ketiadaan uang untuk membeli beras.

Tabha. Begitulah nama makanan itu. Sampai sekarang pun saya belum pernah mencicipi makanan tradisional ala Beiposo itu. Tabha sering dihidangkan usai melakukan kegiatan kemasyarakatan dalam bahasa daerah setempat Rao Zo, seperti kerja bakti, bersih kebun, tanam jagung dan panen jagung. Bahan untuk tabha pun telah tersedia di kebun warga. 

Tabha adalah makanan lokal yang terdiri dari ubi jalar (Dhao), labu jepang yang sudah tua (Labu) dicampur dengan jagung (Sae) dan kacang merah (Renibo). Bahan ini lalu dimasak secara bersamaan menggunakan periuk yang dimasak dengan api tungku. 

Proses pengolahannya, ubi direbus bersama labu yang telah dibelah menjadi dua bersama dengan jagung yang sudah ditumbuk seadanya. Tak lupa dicampur bersama kacang merah. Makanan ini akan terasa nikmati kalau disajikan bersama dengan sambal. Bahan pembuatan sambal yakni tomat (baralay), lombok (koro) yang dicampur dengan kepiting kali (korokojo). 

Tabha yang dinikmati bersama sambal terasa belum lengkap bila tidak dihidangkan dengan moke putih (tua bhara), minum tradisional yang diambil dari pohon nira. 

Jefry mengatakan, tradisi makanan tabha masih ada di kampugnya. Tabha juga merupakan tradisi yang diwariskan para leluhur secara turun-temurun sampai kepada anak cucu yang masih ada di kampung.

Wrga Beiposo memiliki mata pencaharian sebagai petani ladang. Kebun warga berada di lereng bukit Cagar Alam (CA) Watuata. Warga Beiposo masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat. Kegiatan dan rencana apa pun tentang kehidupan dan masa depan selalu diawali dan diakhiri dengan acara adat guna menghormati leluhur. Kita bisa lihat saat kerja kebun, panen jagung dan kegiatan masyarakat lainnya. Mosalaki selalu berperan aktif dalam proses tersebut. Semua ini bertujuan menghindari adanya malapetaka dan bahaya serta masyarakat mendapat keberhasilan dalam setiap usahanya. 

Pola permukiman di Beiposo merupakan perpaduan antara pola pemukiman memanjang dan terpusat. Bentuk rumah merupakan kombinasi modern dan tradisional. Rumah modern beratap seng dan dinding tembok. Rumah tradisional berdinding bambu (Naja) dan beratap bambu yang dibelah (Lenga). Semangat kekeluargaan dan gotong-royong masih berakar kuat. 

Orang Beiposo tidak mau apa yang ia kerjakan tanpa kehadiran sanak keluarga dan orang lain. (Aris Ninu)

Pos Kupang edisi Sabtu, 21 Maret 2009 halaman 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes