Ketua Jaringan Perempuan dan Politik NTT, Kepala Pusat Penelitian Perempuan Undana
PERBINCANGAN tentang peran dan posisi perempuan di lembaga legislatif menjadi menarik dan meluas, di mana-mana dipercakapkan ibarat buzz word. Percakapan tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi juga kualitas. Ada dua kelompok masyarakat. Yang pertama saya sebut kelompok kualitas, menekankan kualitas ADPR/D, dan kelompok kedua adalah kelompok kuantitas, yang menekankan kuantitas ADPR/D.
Kelompok kualitas berpendapat bahwa jumlah perempuan di DPR/DPRD yang kecil tidak menjadi persoalan bila secara kualitas menjadi dominan dalam proses penyusunan kebijakan dan keputusan politik. Dewan memang lembaga politis, namun dalam operasionalnya tidak saja bertumpu pada faktor politis tetapi diperlukan kemampuan pikir secara individual dan kelompok agar dapat menunjukan kinnerja yang berwibawa.
Kehadiran perempuan DPR/D merupakan kehadiran substantif dalam arti secara berkualitas mampu mengartikulasi isu strategis-faktual dan memperjuangkan kebijakan yang terbaik bagi konstituennya yang tersubordinat.
Realitas, banyak perempuan anggota DPR/D hadir secara simbolis yakni sekadar kehadiran fisik, menjadi mitra yang BISU, duduk manis menjadi Mawar Dewan, bahkan ada yang melabelkannya sebagai Penggembira Dewan. Mereka hadir dengan tampilan seperti peragawati, masuk keluar ruang rapat kurang fokus dan tidak berbicara. Singkatnya, bukan sebagai perempuan politikus yang harus 'bersuara'. Oleh karena itu, yang terpenting serta utama bukan jumlahnya, tetapi kualitas mereka yang duduk di gedung rakyat tersebut.
Wacana berikutnya dari kelompok kuantitas mengarah pada dukungan konstituen sehingga dia terpilih tidak terlalu penting intelektual powernya. Alasan berikut dari kelompok kuantitas adalah pada proses pengambilan keputusan dan kebijakan negara/daerah. Apabila keputusan tidak dapat diambil melalui musyawarah, maka alternatif yang diambil adalah voting.
Melalui voting, jumlah atau kuantitas menjadi penting untuk memenangkan keputusan akhir. Jumlah perempuan ADPR/D minim menyebabkan isu-isu penting yang terkait dengan perempuan termasuk anak terabaikan atau tidak masuk menjadi kebijakan/keputusan negara/daerah.
Kedua pendapat tersebut berlandas pada argument-argument yang dapat diterima, sehingga salah satu cara yakni melakukan refleksi untuk kemudian mengkombinasikan kedua tuntutan tersebut agar ada keseimbangan antara dukungan konstituen dan kemampuan personal. Setiap warga negara mendambakan parlemen sebagai Mirror Image (Citra kaca) berwajah demokrasi dengan antara lain mencerminkan keterwakilan perempuan yang signifikan dan didukung oleh inner power yang tinggi. Di sinilah tugas kita bersama untuk secara cerdas memilih caleg yang terandalkan.
Kami dari Jaringan Perempuan dan Politik (JPP) pada akhir tahun 2008 menyusun data base perempuan potensial NTT, ketika mencermati profil para caleg pada pemilu 2009-2013 cukup banyak yang berkualitas. Dari segi pendidikan formal-non formal tidak perlu diragukan, bahkan dari segi pengalaman baik dalam parpol, organisasi kader, organisasi sosial-keagamaan- profesi sangat mendukung. Demikian pula perilaku yang diragakan para caleg dalam kehidupan bermasyarakat sangat baik.
Namun diakui pula ada perempuan caleg yang tentunya sama dengan laki-laki caleg dimana inner power-nya kurang pas karena dipaksa atau direkayasa. Pada kesempatan ini kami mengharapkan para caleg terus meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar dapat tampil secara optimal. Tidak usah pesimis karena tidak ada sekolah khusus untuk menjadi ADPR/D dan DPD. Manfaatkan semua kesempatan dan berproses menuju peningkatan diri, apalagi bila memiliki visi - misi serta agenda yang disinergikan secara jelas, pasti ada perubahan.
Agenda yang disiapkan oleh perempuan caleg hendaklah berisi isu-isu penting dan strategis untuk dijual pada saat kampanye dan terus diperjuangkan pada saat menjadi anggota dewan. Pemahaman perempuan caleg terhadap isu-isu perempuan serta kepedulian politikus perempuan akan isu-isu perempuan dan selanjutnya mampu mengambil keputusan bagi pemecahan masalah akan membuat Anda mendapat penilaian tinggi dari masyarakat konstituen Anda.
Isu-Isu Strategis
Secara normatif pemerintah tidak membedakan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Realita jumlah perempuan NTT 2.235.000 lebih besar dibandingkan dengan jumlah laki-laki NTT yang berjumlah 2.213.00 (2007). Jumlah perempuan yang besar merupakan driving force pembangunan yang harus didayagunakan secara efektif, namun kenyataan perempuan belum dapat berperan secara optimal bersama laki-laki sehingga menjadi beban pembangunan. Data menunjukkan perempuan tertinggal dari laki-laki, baik dari akses maupun peluang untuk berpartisipasi. Hal tersebut mengharuskan kita mencari upaya yang sistemik guna mengubah kondisi yang timpang menuju relasi yang setara agar bersama laki-laki dapat mengisi kehidupan secara adil dan setara menuju NTT yang sejahtera. Kondisi faktual perempuan NTT sekaligus mengekspresikan isu strategis dan isu faktual sbb:
Di bidang pendidikan, perempuan putus sekolah di NTT lebih besar dari laki-laki (2007). Ketidaksetaraan gender juga dapat dikenali dari APS, APK, APM dan makin tinggi jenjang pendidikan makin besar gap antara perempuan dan laki-laki. Perempuan Buta Aksara lebih besar (13,33 persen) dibandingkan dengan laki-laki (9.53 persen).
DI bidang kesehatan, tingginya angka kematian ibu (AKI) terutama di daerah pedesaan. AKI NTT sebesar 554/100.000 kelahiran (2007). Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor berkaitan satu sama lain, mulai dari masalah diskriminasi gender yang mengakar pada budaya, kemiskinan dan juga lemahnya koordinasi antar sektor.
Di samping mitos-mitos seputar peran perempuan pada umumnya dan peran perempuan hamil, melahirkan, mencengkram mereka berkutat dan taat pada mitos-mitos tersebut. Demikian pula AKB NTT 62/1000 KH (2007) tetap tinggi dibandingkan dengan propinvi lainnya di Indonesia.
Di bidang tenaga kerja, trend pengangguran terbuka di NTT selama tahun 2005-2007 menunjukkan bahwa perempuan masih lebih banyak menganggur bila dibandingkan dengan laki-laki. Pada tahun 2007 pengangguran terbuka perempuan sebanyak 5.45 persen dan laki-laki sebanyak 2.33 persen. Demikian pula pencari kerja perempuan sesuai kualifikasi pendidikan yang terdaftar dilingkungan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT sampai dengan bulan Maret 2008 memperlihatkan rendahnya tingkat pendidikan perempuan dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, sehingga berdampak pada akses mereka terhadap jenis pekerjaan. Akibatnya, perempuan pada akhirnya lebih banyak masuk di sektor informal yang kurang mendapat perlindungan hukum.
Sektor informal yang paling banyak digeluti perempuan adalah menjadi pembantu rumah tangga (PRT), Tenaga kerja wanita (TKW) dan penjual kecil di pasar tradisional. Sebagai gambaran hasil penelitian PPW Undana 2006 di kota Kupang, karakteristik perempuan PRT di lihat dari segi usia yang sangat menonjol pada usia 15 tahun sampai 34 tahun, dari segi pendidikan didominasi oleh mereka yang tidak tamat SD dan tamat SD. Sebagian besar 80,83 persen perempuan PRT bekerja dengan status belum kawin.Kondisi demikian menunjukkan bahwa di tempat di mana PRT bekerja lebih mengutamakan mereka yang belum kawin karena dianggap lebih bebas, tidak ada cuti hamil sehingga tidak membagi perhatian dan waktu bagi keluarga.
Demikian pula jam kerjanya 50 persen PRT bekerja 9 jam ke atas. Hal ini karena pekerjaan domestik tidaklah terikat oleh waktu dalam mengerjakannya dan tugas perempuan adalah untuk melancarkan aktivitas anggota keluarga lainnya.
Sementara itu, perempuan PRT pada tahun 2006 memperoleh gaji dengan sebaran RP 75.000 sampai RP 150.000 rupiah. Yang menarik menurut perempuan PRT bentuk-bentuk kekerasan yang dialami, antara lain dipukul, dimarahi/ditegur, dimaki, gajinya ditahan, dan gajinya dipotong/ganti rugi. Secara eksplisit menunjukkan bahwa tidak ada standar gaji dan jam kerja serta hubungan kerja perempuan PRT dengan majikannya tidak jelas dan tidak di jangkau oleh UU Ketenagakerjaan.
Selain pilihan menjadi PRT di dalam negeri, banyak pula perempuan NTT yang memilih untuk bekerja di luar negeri menjadi TKW sehingga tidak heran NTT termasuk salah satu propinsi pengirim TKW. Sebagai gambaran Januari sampai Maret 2006 ada 122 laki-laki dan 1795 perempuan yang dikirim ke LN sebagai TKI dan TKW (Dinas Nakertrans). Pada Januari 2009 Pos Kupang memuat berita tentang TKI dan TKW yang akan ke Papua ditahan oleh Polisi, dan pada tanggal 2 Maret 2009 Pos Kupang kembali memuat berita tentang 21 TKI dan TKW asal Belu dan TTS gagal ke Malaysia. Data tersebut merupakan data yang terekam, dipastikan masih banyak TKI dan TKW ilegal yang tidak terdata secara pasti. Seringkali kita baca di media cetak, dengar dan nonton di TV penderitaan yang dialami TKW tanpa perlindungan hukum.
Pilihan lain di sektor informal adalah menjadi penjual di pasar tradisional Kota Kupang. Berdasarkan hasil penelitian PPW Undana (2006), sebagian besar perempuan yang menjadi penjual berusia di bahwa 17 tahun ke 60 tahun. Dari sampel yang diambil, ada perempuan mulai menjadi penjual sejak berumur 10 tahun dan usia tertua 72 tahun. Rentang pendidikan mereka bergerak dari tidak sekolah sampai tidak tamat SLTA.
Lama berjualan terbesar, berjualan 8 jam sehari diikuti 6-8 jam sehari, selanjutnya antara 3-5 jam sehari, dan terakhir 1-2 jam sehari. Presentase terbesar yang paling banyak berjualan adalah antara 6-7 hari seminggu diatas 8 jam sehari. Mereka mengungkapkan ada beberapa kendala yang dihadapi antara lain, mencari tempat jualan (bagi yang tidak mempunyai tempat tetap), transportasi, kurangnya modal usaha, naik turunnya harga-harga bahan pokok sehingga mempengaruhi penentuan harga barang jualannya, dan di kejar oleh rentenir.
Pemandangan setiap hari di Pasar Inpres Naikoten, banyak perempuan penjual yang tidak mempunyai tempat harus berpindah-pindah menahan panas dan hujan, terkadang diusir oleh petugas pasar.
Selanjutnya, meskipun Indonesia telah mempunyai UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), namun kasus KDRT tetap terjadi. Data menunjukkan kasus KDRT terhadap perempuan di Kota Kupang selama periode 2003-2005 sebanyak 1.307 kasus. Pada tahun 2006 terdapat 289 kasus, tahun 2007 terdapat 206 kasus dan tahun 2008 terdapat 363 kasus (Polda NTT).
Demikian pula KDRT terhadap anak, terdata 2006 ada 178 kasus, tahun 2007 ada 89 kasus dan tahun 2008 terdapat 98 kasus (Polda NTT). Data tersebut di atas menunjukkan bahwa perempuan dan anak masih menjadi objek kekerasan dan wilayah hukum belum benar-benar memberikan perlindungan terhadap perempuan.
Terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak, disajikan pula masalah trafficking terutama terhadap perempuan dan anak di Provinsi NTT. Kasus trafficking terhadap perempuan dan anak dari tahun ke tahun terus naik. Pada tahun 2004, jumlah kasus trafficking sejumlah 72 kasus. Pada tahun 2005 naik menjadi 63 kasus. Pada tahun 2006 terdapat 12 kasus dan pada tahun 2007 kasus trafficking bertambah menjadi 566 kasus.Apabila di jumlah dengan kasus penggagalan pengiriman anak dan perempuan sejak tahun 2004 sampai Agustus 2007 berjumlah 713 orang (Biro PP Setda NTT). Mereka mengalami pemindahan paksa baik di dalam negeri maupun diluar negeri untuk tujuan eksploitatif, kemudian disiksa, tidak dibayar, dijadikan pekerja seks atau dipaksa kawin kontrak.
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan betapa pentingnya pemahaman tentang isu-isu perempuan dan berperspektif perempuan termasuk anak.Uraian tersebut di atas juga mengandung pesan bahwa tidak ada yang dapat mengartikulsi kepentingan ûkebutuhan perempuan dan anak dengan kualitas tinggi selain perempuan itu sendiri. Diharapkan perempuan caleg harus mengintegrasikan perspektif perempuan dalam mengartikulasikan isu-isu yang strategis baik pada saat kampanye dan tentunya terus dijadikan agenda ketika menjadi Aleg. Selamat berjuang. Everything is possible. *