Oleh Dion DB Putra
TENTANG kondisi rumah sakit pemerintah saat ini, Dr. Hyron Fernandez dari Forum Academia NTT (FAN) melukiskan dengan sangat elok dalam Kopdar FAN, 21 Februari 2009. Rumah sakit ibarat kapal pengangkut limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Menurut Hyron, rumah sakit pemerintah melayani konsumen (masyarakat) dengan karakter B3, Berangasan, Bayar kurang tetapi Berani nuntut. Penumpang kapal itu adalah mereka yang mudah naik darah, gemar berkelahi, ganas serta kasar. Kendati bayar kurang, mereka berani menuntut pelayanan terbaik.
Kapal bernama rumah sakit pemerintah juga memiliki crew (karyawan) yang berangasan, saling menyerang dan merasa paling pintar. Jadi, betapa beratnya tugas direktur selaku nakhoda. Apalagi dia harus piawai menghadapi kesulitan bahan bakar, arus, gelombang, ranjau serta bom waktu yang dapat meledakkan kapal dalam pelayaran menuju dermaga tujuan.
Bom waktu, kata Hyron, berupa kesejahteraan, kesenjangan dan inkoordinasi. Bukan cuma sekali karyawan RSU pemerintah di NTT menggelar demonstrasi terkait kesejahteraan. Kenyataan ini tentu terjadi di RSUD Kupang. Bila tidak direspons dengan serius, bom waktu itu bisa meledak kapan saja dan korbannya adalah pelayanan terhadap pasien.
Kapal itu menghadapi arus yaitu globalisasi, reformasi dan krisis. Arus itu tidak mungkin dihindari. Selain arus kencang, kapal rumah sakit yang mengangkut B3 itu menghadapi tiga gelombang besar, yakni Tuntutan Mutu Pelayanan, Tuntutan Moralitas Provider dan Tuntutan Fasilitas. Sementara bahan bakar yang dibutuhkan kapal mahal harganya dan selalu kurang.
Kapal rumah sakit harus hati-hati berkelit agar terhindar dari ranjau. Ranjau yang siap menelannya hadir lewat peraturan, kontrol dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, implementasi UU Perlindungan Konsumen, UU Praktik Kedokteran dan keberadaan para pesaing.
Mengenai peraturan, Hyron menyebut kurang lebih 40 aturan yang membelenggu RS pemerintah di Indonesia. Pengelola rumah sakit mengalami kebingungan apakah sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan atau sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang tidak perlu birokratis. Otonomi RS sangat sedikit.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah (otda) sejak tahun 2001, pengelolaan RS diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Kerja Daerah, RSUD adalah Lembaga Teknis Daerah. Maka penempatan sumber daya manusia (SDM) rumah sakit ditentukan kepala wilayah (gubernur, bupati/walikota). Syukur kalau penempatan SDM sesuai prinsip manajemen, the right person on the right place. Tidak sedikit kasus seseorang ditempatkan pada posisi yang keliru alias tidak kompeten. Meski demikian, direktur tak berdaya menolak. Mana mungkin direktur yang diangkat gubernur atau bupati berani melawan?
Kewenangan RS terhadap anggaran juga terbatas. Keputusan tidak selalu berada di tangan direktur atau wakil direktur. Anggaran punya mekanisme sendiri dan harus dipatuhi. Tragis betul manajemen RS pemerintah. Dia disuruh lari (untuk memberi pelayanan terbaik), tetapi kaki dan tangan diikat oleh beragam aturan dan mekanisme birokrasi yang berbelit.
Kalau demikian kenyataannya, ke mana arah kapal RSUD Kupang? Bagaimana sebaiknya membawa kapal itu ke pelabuhan tujuan? Direktur RSUD Prof. Dr. WZ Johannes Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG ternyata sudah punya resep pembenahan untuk memperbaiki mutu pelayanan.
"Ada beberapa Critical Success Factors (CSF) yang menjadi perhatian dan komitmen yaitu RS dikelola secara PPK-BLU, penataan tata kelola, SDM yang profesional, produktif dan berkomitmen, mampu melakukan networking, mampu melakukan program menjaga mutu dan ada political will serta dukungan pemerintah pusat dan daerah," kata Alphons.
Apa itu BLU atau Badan Layanan Umum? Menurut Alphons, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang jasa dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan keuntungan dan dalam kegiatannya berdasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. "Ciri utama tetap pemerintah, fungsi publik tetap melindungi si miskin melalui subsidi, RS mempunyai kewenangan penuh untuk menangkap potensi pasar, otonom untuk mekanisme pemberian insentif bagi para dokter spesialis dan investasi tidak hanya tergantung pada pemerintah," katanya.
Ketentuan tentang BLU tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. "Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa." (Pasal 68 ayat 1). "Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan" (Pasal 68 ayat 2). Aturan terkait adalah PP 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU.
Dokter Hyron Fernandez sependapat dengan pandangan Alphons. Menurut dia, pencapaian visi RSUD Kupang bisa digapai jika didukung perubahan mindset dan perubahan kebijakan RS Daerah menjadi BLU. Rekayasa budaya organisasi diperlukan guna mengubah mindset sikap mental yang mapan. Mindset bisnis dan pemasaran pun mutlak disegarkan lagi mengacu pada paradigma kepuasan pelanggan, paradigma SDM dan peningkatan mutu.
Ubah mindset itu menyentuh pertanyaan ini, apakah direktur RS pemerintah di NTT mesti selalu dan selamanya seorang dokter? Dalam diskusi 21 Februari lalu, anggota FAN, dr. Debby Veronika membagi pengalamannya melihat manajemen RS di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Di sana, direktur RS bukan seorang dokter, tetapi manajer profesional. Dokter tetap pada profesinya. Dokter tidak patut dipusingkan menjadi nakhoda kapal bermuatan B3.
Menurut Dokter Alphons dan Hyron, dengan menjadi BLU, pengelolaan RS pemerintah akan berubah dari sistem yang birokratis dan inefisien menjadi lembaga yang mandiri, fleksibel, cepat mengambil keputusan, mutu pelayanan sesuai harapan klien, kepuasan pasien menjadi fokus perhatian SDM setiap unit pelayanan, terjangkau oleh setiap orang, efisien dan mampu bersaing.
Dalam hal pengembangan SDM, RS pemerintah menerapkan penilaian berbasis kinerja atau Key Perfomance Indicators (KPI). "Remunerasi akan dikaitkan dengan kinerja," kata Alphons Anapaku. Sesungguhnya Depkes telah mengembangkan KPI sejak 2004. Pelaksanaan di NTT? Kelihatan masih samar-samar.
Tekad menjadikan RSUD Kupang sebagai BLU bukan isu baru. Dalam artikel berjudul Badan Layanan Umum dan Masa Depan RSU Kupang (Pos Kupang, 29 Januari 2009 halaman 14), Hyron Fernandez menulis, bertolak dari semangat meningkatkan kualitas pelayanan, sejak bulan Desember 2006 manajemen RSU Dr. WZ Johannes dengan kerja keras semua unsur internal rumah sakit dan dana untuk dukungan teknis dari GTZ Siskes NTT dan dana APBN serta APBD Propinsi mendekati Rp 1 miliar, telah dilakukan persiapan semua syarat teknis maupun administratif menjadi BLU. Termasuk kaji banding ke sejumlah RS yang telah melaksanakan BLU, baik di Bali maupun di Jawa, baik oleh internal RS maupun pemangku kepentingan di luar RS, termasuk legislatif.
Semua dokumen telah siap dan diserahkan kepada Pemda Propinsi sebagai pemilik (RSU Kupang) sejak semester kedua tahun 2007. Berbagai advokasi telah pula dilakukan, baik oleh konsultan dalam persiapan berbagai dokumen maupun dengan mendatangkan unsur manajemen RSU pemerintah dari tempat lain yang telah melaksanakan PPK-BLU RS. Birokrasi kita seolah tetap bergeming.
Jadi tahu siapa yang tidak peduli. Proposal BLU itu sudah dua tahun usianya. Entah mengendap di mana sekarang. Bola panas ada di tangan pengambil kebijakan tertinggi di daerah ini, bukan di tangan seorang direktur.
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya selalu mengingatkan kita lewat kata-katanya yang bijak. Untuk NTT yang lebih baik dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas. Tidak bisa tidak! Lalu bagaimana dengan nasib RSUD Kupang? (habis)
Laporan serial Pos Kupang edisi 3,4 dan 5 Maret 2009 halaman 1