Menemukan Masalah Pendidikan di NTT (3)

Oleh Alfred Dana, Mathilde Dhiu dan Agus Sape

SUDAH menjadi pemandangan biasa pada saat pengumuman Ujian Nasional (UN), para siswa yang lulus merayakan keberhasilan dengan corat-coret pakaian seragam, bersukaria di jalan-jalan umum, bahkan menggelar pesta dengan sesama. Sedangkan para siswa yang gagal UN larut dalam kesedihan, menangis, takut pulang rumah, malu bertemu teman-teman dan tetangga dan mengurung diri di kamar berhari-hari. Bahkan di Kabupaten Sumba Timur, ada siswa yang nekat bunuh diri lantaran tidak lulus UN 2009.

Fenomena ini terjadi hampir setiap tahun. Ini terjadi karena semangat yang besar untuk menyelesaikan pendidikan tidak diimbangi dengan upaya nyata dan fasilitas pendidikan yang memadai. Dalam konteks ini, siswa selalu menjadi korban dari ujian.

Prof. Dr. Elias Kopong dalam diskusi terbatas "Menemukan Masalah Pendidikan di NTT", yang digelar Pos Kupang, Kamis (12/3/2009), mengatakan hasil UN yang merosot tidak berarti nilai merosot. Juga tidak berarti mutu merosot. Menurutnya, ada banyak indikator yang terkait dengan mutu. 

Pada tataran desain kurikulum, para siswa sebenarnya bukan objek. Para siswa harus menjadi subyek dalam mekanisme belajar. Inilah yang selalu dilupakan oleh para pelaku pendidikan, padahal para siswa harus mendapatkan pelajaran yang baik untuk selanjutnya diuji. Hasilnya pun akan diterima langsung oleh para siswa ini. Pemahaman terhadap konsep kurikulum yang diterapkan pun harus benar sehingga implementasi kurikulum juga benar.

Desain kurikulum, menurut Prof. Elias Kopong, berarti membahas siapa-siapa saja yang terlibat dalam proses belajar mengajar, mengetahui tujuan yang ingin dicapai. 

Terkait dengan desain kurikulum ini, salah satu komponen yang dilupakan adalah siswa. Menurutnya, siswa mesti mendapat porsi yang pas dalam proses belajar mengajar, artinya siswa bukan sekadar objek, melainkan sebagai subyek proses belajar mengajar. Siswa harus dilibatkan dalam interaksi belajar mengajar dengan guru. 

"Kita selalu menganggap siswa sebagai obyek, padahal tidak. Mereka harus diajak terlibat aktif dalam menentukan ke mana mereka mau pergi. Siswa harus sebagai subyek. Jadi jangan lupa siswa," jelasnya.

Kita mungkin bisa belajar banyak dari SMAK Giovanni. Menurut Chandra Pali, siswa SMA Giovanni memiliki kelompok belajar. Mereka selalu inisiatif berbuat sesuatu untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Ketika guru tidak hadir atau berhalangan, mereka membuat studi kelompok. 

Menurut Chandra, mereka menjadi sangat kreatif karena pihak sekolah juga memberikan standar lulusan yang sangat tinggi. Kalau secara nasional, standar lulusan 5,25 atau tahun ini 5,50, maka di SMA Giovanni para siswa diberi standar 7,50. Terbukti, para siswa SMA Giovanni bisa memenuhi standar tersebut.

Desain kurikulum dianggap sangat penting karena proses hingga hasil dalam belajar adalah milik bersama. Kegagalan siswa dalam UN bukan hanya kegagalan siswa, bukan kegagalan lembaga pendidikan, melainkan kegagalan semua komponen, termasuk siswa.

"Dalam desain ini hasil milik bersama, bukan milik sekolah, komite sekolah, tetapi milik bersama, sehingga ada motivasi dan komitmen untuk melaksanakan kurikulum," jelas Prof Elias Kopong.

Implementasi
Prof Elias juga menekankan kurikulum dalam tataran implementasi. Menurutnya, hanya bicara saja tidak akan menyelesaikan masalah. Yang terpenting, implementasi. Tahap ini merupakan pilar utama terjadinya perubahan. 

Prof. Elias mengatakan, implementasi sangat mempengaruhi mutu lulusan peserta didik, UN sekalipun. Jika ingin membenahi pendidikan, benahi dulu aspek implementasi dan harus dimulai dari kelas. 

"Interaksi dalam kelas menentukan kualitas anak didik, bukan di tempat lain. Orangtua di rumah hanya memantau bagaimana anaknya belajar di rumah, tetapi kegiatan belajar mengajar berlangsung di sekolah. Karena itu, kalau guru mengajar dengan baik, pasti anak-anak jadi baik. Tetapi, kalau guru mengajar setengah-setengah, pasti siswa juga akan setengah-setengah," katanya.

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) Propinsi NTT, Ir. Thobias Uly, M.Si mengatakan, masyarakat NTT tidak perlu terlalu pesimistis dengan prestasi belajar anak-anak NTT. Sebab, dalam Olimpiade Sains 2008, siswa SD asal NTT menempati ranking empat dengan meraih emas untuk pelajaran IPA dan satu perunggu untuk pelajaran Matematika. Siswa SMP berhasil meraih satu perunggu dari Fisika dan satu perunggu dari Biologi untuk kelompok SMA. Jadi secara nasional kelompok SD, SMP dan SMA NTT berada di ranking delapan. 

"Saya kira juga ada hal yang perlu kita banggakan untuk anak kita. Untuk itu, kita semua harus bersinergi dan tidak ada superman untuk menghandel semua permasalahan yang ada. Oleh karena itu, langkah yang patut diambil adalah koordinasi, bagaimana bersinergi dengan seluruh komponen yang ada, baik kalangan pers sendiri maupun mereka yang ada di kabupaten/kota. Termasuk koordinasi dengan LPMP sebagai lembaga penjaminan mutu," jelas Ir. Thobias Uly, M.Si

Tidak Bodoh
Direktur Pendidikan Generasi Unggul, Pdt. Johni Kilapong mengatakan, siapa pun tidak berhak mencap seorang siswa bodoh, apalagi membagi kelompok anak pintar dan anak bodoh.
"Kalau ada murid yang bodoh sesuai imej masyarakat saat ini, itu karena proses pembentukan. Titik poin yang harus kita bangun saat ini adalah bagaimana membentuk budaya dan nilai- nilai yang bisa memicu mereka agar mencapai puncak prestasi. Nah, ujung tombaknya adalah guru, bukan orangtua," jelas Kilapong. 

Menurutnya, untuk mendapatkan hasil yang berbeda, harus dilakukan kerja yang berbeda. "Anda akan mendapatkan hasil yang sama jika kerja Anda sama. Nah, kita terjebak dalam cara yang sama. Harapan kita, berbeda hasilnya. Ini tidak sinkron," jelasnya.

Penerapan disiplin pun harus dijalankan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan. Hal ini sedang dilakukan Supermath Plus. "Memang kesra guru harus naik. Kami di Super Math, guru mengajar dengan begitu antusias. Satu menit terlambat denda seribu rupiah, tiga kali tidak masuk, SP 1, SP 2 dan pecat langsung. Kita tidak bisa main-main dengan dunia pendidikan," kata Johni Kilapong. 

Kilapong mengatakan, imej orang NTT terhadap dirinya sendiri harus diubah. Tidak ada anak pintar dan anak bodoh. Sebab, bila terus begitu, maka NTT tidak akan pernah maju. 
"Karena kalau kita bicara tentang neuronpsikogrami, maka hari ini kita mengalami social depress. Menurut Pak Tom Therik, ketika di luar kita ditekan, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, tanpa menjelaskannya, akhirnya anak berontak. Anak ingin mencoba sesuatu, anak jadi minder, pembentukan ada di rumah dan di sekolah," jelasnya.

Pola mengajar yang menjadikan anak sebagai objek tidak memberi dampak yang baik bagi anak. Hal ini justru sering terjadi di NTT. Guru mengajar dengan cara-cara keras, menggunakan kayu. Guru juga sering mengatakan anak-anak bodoh. "Ini yang membuat anak tidak berkembang," katanya.

Model pembelajaran dengan menekan atau memaksa anak ini diubah di Supermath. Caranya, mengubah kepribadian guru. "Jadi kepribadian guru harus menyenangkan, harus suport, kreatif, fleksibel, hangat." kata Kilapong. 

Menurut Kilapong, kurikulum jangan dipersalahkan, tapi implementasi di lapangan yang harus konsisten dengan perencanaan. "Mari kita komit bangun NTT, jangan lihat biayanya, fasilitasnya. Kalau mau jujur dulu tahun 60-an tidak ada fasilitas, tetapi mereka bisa mengajar dengan antusias. Fasilitas kurang itu masalah eksternal, tetapi jadi masalah internal dalam diri. Motivasi guru dulu baru motivasi siswa," kata Johni Kilapong. 

"Hanya saja, perlu ada program atau trik khusus yang menyentuh hati nurani guru di lapangan," kata Edy Sulla dari LPMP Dinas PPO NTT. (habis)

Pos Kupang edisi Minggu, 29 Maret 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes