Perceraian di Sulut Mencengangkan

KERETAKAN rumah tangga yang berujung perceraian di Sulawesi Utara (Sulut) mencengangkan. Rata-rata terjadi satu kasus perceraian setiap hari sepanjang tahun. 
Faktor pemicunya beragam namun  paling dominan justru ketidaksetiaan. Suami memiliki Wanita Idaman Lain (WIL) dan sang istri menyimpan Pria Idaman Lain (PIL). Anak adalah korban paling menderita akibat perpisahan orangtua mereka.

Data yang diperoleh Tribun  dari Pengadilan Negeri (PN) Manado dan Pengadilan Agama (PA) Kotamobagu bisa memberi gambaran tentang tingginya frekwensi perceraian di Sulut. Dalam tiga bulan pertama tahun 2012 (Januari-Maret) total 94 kasus gugatan cerai pasangan suami istri (pasutri)  di PN Manado. Bulan Januari 30 kasus, Februari 35 dan Maret 29 kasus.  Pada tahun 2012  PN Manado mencatat 291 kasus perceraian,  terbanyak pada bulan Oktober dengan 37 pasutri bercerai.

Angka perceraian di Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya pun mencatat rekor tertinggi dibanding daerah lain di Sulut. Setiap tahun, trend perceraian di empat kabupaten dan satu kota di Bolmong naik antara 20 hingga 25 persen. Catatan Pengadilan Agama (PA) Kotamobagu, hingga Maret 2012 ini saja sudah 217 kasus  gugat cerai. Bandingkan dengan jumlah perkara tahun 2011 yang mencapai 661 kasus. Dari jumlah tersebut, 664 di antaranya sudah putus.

Data yang dihimpun wartawan Tribun Manado dari berbagai daerah di Sulut menunjukkan trend perceraian terus meningkat tiga tahun terakhir. Selain Manado dan Bolmong,  kecenderungan itu terjadi di Minahasa, Bitung dan wilayah lain.

"Memang mengalami kenaikan selama tiga tahun terakhir. Presentasi kenaikan berkisar delapan persen per tahun," kata Humas PN Tondano, Uli Purnama SH MH, Rabu (11/4). Uli menyebutkan,  tahun 2009 tercatat 134 kasus perceraian yang ditangani PN Tondano. Tahun 2010 meningkat jadi 140 kasus dan tahun 2011  146 kasus. Uli menjelaskan berdasarkan fakta sidang,  perceraian umumnya disebabkan ketidakcocokan, selingkuh dan KDRT.

Trend peningkatan kasus perceraian pun terjadi di Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya. "Bulan ini (April), sudah masuk sembilan permohonan cerai gugat di pengadilan ini," ujar Humas PA Kotamobagu, Wafi SHI yang didampingi Panitera Muda, Yusuf Danny Pontoh di kantornya, Rabu (11/4/2012).

Pada tahun 2010, PA Kotamobagu mencatat 540 kasus perceraian. Padahal, lanjut Wafi, tahun 2008 perceraian yang terjadi sebanyak 300-an. Kemudian tahun 2009 naik jadi 400-an kasus, Danny menambahkan, gugatan dari istri mendominasi kasus perceraian di Bolmong. "Persentasenya saya belum tahu. Tapi yang pasti gugat cerai lebih banyak daripada cerai talak," jelas dia. Dia mencontohkan data tahun 2010. Dari 540 kasus perceraian, tak kurang dari  397 istri yang meminta cerai. Kota Kotamobagu tertinggi angka perceraian dibandingkan daerah lain di Bolmong Raya. "Kami tidak mengelompokkan berdasarkan daerah, tapi catatan kami perceraian lumayan banyak di Kotamobagu," tambah Danny.

Di Kota Bitung, angka perceraian terus merangkak naik berdasarkan data dari PA Bitung, Selasa (10/4). Menurut Wardah Hamzah S.H sejak tahun 2009 hingga Maret 2012  ratusan kasus perceraian yang masuk di PA Bitung. "Tahun 2009 54 kasus, putusan 48, sisa 6 yang belum diputuskan. Tahun 2010 kami terima kasus 96, putusan 85, sisa 11, tahun 2011 133 kasus, 115 putusan dan 18 sisa kasus. Tahun 2012 per 10 April menerima gugatan 49 kasus parceraian, putus per Maret 31, sisa 18 sementara berjalan," kata Wardah.

Di PN Bitung, untuk kasus perceraian hanya dua yang berhasil dimediasi hingga tidak berujung perceraian. "Tahun 2012, dan 2011 ada satu kasus yang berhasil dimediasi untuk berdamai," kata Kabag Humas PN Bitung Ernes Ulean SH MH. Jmlah kasus dari tahun 2011 hingga 2012 masih di level puluhan tidak seperti di Pengadilan Agama Bitung. "Ada 84 kasus cerai dari 109 gugutan di tahun 2011, dan tahun 2012 ada  22 kasus cerai dari 32 gugatan di PN Bitung," tambahnya..

Kondisi berbeda di Minahasa Selatan. Kasus perceraian yang tercatat di PA setempat tergolong  rendah. Sejak PA Amurang diresmikan November 2011, perkara yang ditangani baru  8  kasus."Dua perkara yang masuk selang bulan November dan Desember 2011, dan enam perkara yang masuk hingga Maret 2012," jelas Faisal Sastra Rivai, hakim PA Amurang, Selasa (10/4).  (amg/luc/suk/crz/obi)

Seperti  Fast Food

FENOMENA perceraian di Sulawesi Utara yang terus meningkat ditanggapi  Kepala Kanwil Kemenag  Sulut Drs H Syahban Mauluddin MPdI melalui Kasubag Humasnya Chyntia Sepang Spak. "Sekarang ini sepertinya pernikahan diibaratkan seperti orang makan fast food (makanan cepat saji) yang sekadar untuk menghilangkan rasa lapar," kata Sepang, Kamis (14/2/2012).

Dikatakannya, saat orang mengambil keputusan untuk menikah sepertinya begitu tergesa-gesa dan terkesan hanya untuk memperjelas status saja. Ketika mereka hidup berkeluarga dan menghadapi berbagai persoalan, maka cara tercepat untuk menyelesaikan permasalahan adalah dengan bercerai. "Di era sekarang ini cerai terkesan gampang dilakukan," tutur Sepang.

Menurut Sepang, perceraian juga banyak terjadi karena pengaruh media. Satu di antaranya adalah media sosial yang sedang trend. Kata dia, melalui media sosial, semua orang bisa dengan mudah berhubungan. "Pengaruh media lainnya adalah orang beranggapan bahwa perceraian itu merupakan trend. Apalagi kalau mereka melihat para idola mereka yang juga banyak kawin-cerai dengan mudah. Begitu tidak suka, langsung memutuskan cerai," ujar Sepang.

Sepang mengatakan, yang lebih mendasar lagi mengapa tingkat perceraian itu tinggi karena kurangnya penghayatan akan kehidupan beriman. "Di semua agama tidak dibenarkan adanya perceraian. Saya berharap agar kita semua tidak menganggap pernikahan itu sekadar untuk status saja," tandasnya

Berdasarkan data yang dihimpun Tribun dari sejumlah PN dan PA di Sulut, faktor pemicu perceraian cukup beragam. Beberapa bisa disebut yakni faktor  ketidaksetiaan (selingkuh),  kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),  tersumbatnya komunikasi antara pasutri saat menghadapi prahara keluarga, tekanan ekonomi, pernikahan dini serta perubahan budaya dan gaya hidup. (aro/jhp)

News Analysis
Elis Ratnawati, Psikolog RS Ratumbuysang

Komitmen Awal

SAYA melihat fenomena di Manado (Sulut) bukan perceraian tapi ingin cerai. Faktor pemicu yang sering terjadi adalah perselingkuhan. Selingkuh itu karena berbagai kondisi. Pertama, bisa karena jarak suami istri jauh. Besar kemungkinan terjadi perselingkuhan, karena manusia memiliki kebutuhan biologis dan psikologis.
Kebutuhan tersebut menjadi pemicu. Kalau tak ada komitmen bagaimana bisa mengatasi permasalahan itu?

Kedua, perceraian karena masalah ekonomi, kebutuhan yang harusnya bisa dipenuhi namun tak bisa dipenuhi berpengaruh ke istrinya. Ini pentingnya komitmen bagaimana mengatasi hal itu misalnya sama-sama kerja atau ada solusi lain. Ketiga, perselisihan di antara pasangan bisa karena keterpaksaan dalam menikah. Sekarang memang bukan zaman Siti Nurbaya tapi kadang terjadi perjodohan. Perkawinan kan bukan hanya menikahkan dua orang tapi juga menyatukan dua keluarga. Tak jarang pernikahan dilandasi persetujuan keluarga terlebih dulu, baru pasangan menyusul. Gampanglah rasa cinta nanti bisa menyusul yang penting keluarga cocok. Kalau kemudian pasangan tak saling cinta dan berkomitmen, potensial terjadi masalah yang berujung perceraian.

Konflik-konflik seperti itu menjadi bibit pertengkaran. Lalu terungkap,  "Kamu tuh dijodohkan, padahal saya sudah pacaran". Keterlibatan orang tua mempengaruhi pernikahan. Selanjutnya ketidaktahuan pribadi pasangan sebelum menikah juga jadi masalah. Setelah menikah ternyata ketahuan belangnya, suka memukul atau KDRT.

Adanya ketidaknyamanan dalam perkawinan dan muncul tekanan-tekanan tersendiri lebih ke wanitanya ada tekanan emosi atas sikap atau perilaku suami.
Maka perlu komitmen awal sehingga perceraian tak terjadi. Bisa dengan saling mengekspresikan hal-hal yang sifatnya pribadi. Jujur kadang menyakitkan namun itu sangat penting. Masing-masing harus mengetahui kepribadian pasangannya.
Sebelum menikah ada pengenalan diri, itu pentingnya masa pacaran. Pacaran itu sesuatu yang harus dijalankan, tapi bukan berarti melakukan hal-hal yang dilarang norma agama seperti mengarah ke pergaulan bebas. Tapi mengenal pribadi, tahu siapa orang yang  dinikahi, perlu dikomunikasikan semua hal yang mengganjal.  Di Manado saya melihat banyak anak kena dampak perceraian. Orangtua mereka egois. Ingat diri.

Kalau dari kasus-kasus yang saya temui, biasanya terjadi kerenggangan karena ada
kesibukan pasangan. Saking sibuknya pasangan tak berkomunikasi, lalu kurang perhatian pada anak. Bisa pula saking sibuknya akhirnya kebutuhan biologis tak terpenuhi. Kemudian lirik kiri,  oh boleh ini. Di sisi lain orang melihat rumput tetangga lebih hijau. Saat itu sulit menerima keadaan pasangannya, kelebihannya dilupakan, kejelekan diungkit dan diungkap sehingga memicu pertengkaran.

Pengendalian emosi kurang, tak dipikirkan dulu ungkapan kata cerai. Kata cerai itu  cara final ketika tak ada penyelesaian. Sebenarnya harus dibangun komunikasi. Kuncinya masalah  tak dibawa tidur, sebaiknya sebelum tidur masalah sudah selesai. Penyelesaian lebih terarah, dipelajari kembali dan jangan sampai terulang.
Kuat tidaknya ekonomi tidak akan memengaruhi keharmonisan rumah tangga asal ada komitmen, saling mengenal dan terbuka. Kekurangan harus diterima, dan ada keterlibatan emosi. Kontak batin sangat penting, ada kebersamaan, saling percaya dan saling memiliki. Mereka harus mengenal keluarga masing-masing. Diterpa masalah ekonomi tak akan bercerai bila ada komitmen. Ketika ada masalah selama masih mampu diatasi oleh  pasangan,  tak perlu ke psikolog. Bila tak ada komunikasi baru butuh psikolog perkawinan. (rob)


Sumber: Tribun Manado 13 April 2012 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes