ilustrasi |
Sekretaris Yayasan Komunitas Borgo Johnny Matheos pekuburan untuk orang Borgo memang telah penuh. Apalagi pekuburan tersebut telah telah ada sejak sekitar tahun 1700. "Memang lahan tersebut sudah penuh dengan makam-makam, dan tidak dapat lagi disemayamkan jasad lainnya. Namun kenyataanya meskipun sudah bertumpuk di satu lubang, anehnya, jika lubang tersebut digali kembali tidak ada tulang-belulang yang ditemukan. Padahal telah ditumpuk lebih dari dua jenazah. Jadi, jika dikatakan telah penuh, memang penuh. Namun jika dibilang masih kosong juga kami tidak membantahnya," ujar Matheos kepada Tribun Manado, Rabu (25/4/2012).
Di pemakaman tersebut saat ini masih dipegang teguh aturan adat yang mengatakan hanya keturunan Borgo yang dapat dikubur di tempat tersebut, sedangkan orang lain tidak boleh. "Meskipun mereka berada di Jakarta atau daerah lainnnya jika memang keturunan Borgo mereka dapat di makamkan di tempat tersebut. Jadi tidak sembarangan masyarakat yang dikuburkan di tempat tersebut," ujarnya.
Selain itu, nilai spritual dan persatuan warga adat Borgo tercermin pada makam tersebut. Makam yang terletak di wilayah Kecamatan Wenang ini terdiri dari dua bagaian, yaitu lokasi untuk pekuburan Islam dan Kristen. Dalam dua lokasi tersebut baru dilakukan pembagian menurut keluarga. Meskipun terbagi dua bagian, namun makam Borgo satu kesatuan yang tak terpisahkan.
"Sebagai contoh Makam Raja Ali berada di tempat pemakaman Kristen, sedangkan makam Kanjeng Ratu Sri Kedaton Salumpaga Toli-Toli yang saat ini menjadi tempat tujuan wisata berada di makam Islam," kata Matheos. Nilai historis dari pemakaman tersebut sangat tinggi, karena di dalamnya terdapat 13 waruga. Sampai saat ini masyarakat Borgo menolaka direlokasi, karena tempat tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Siapkan Tiga Lokasi
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Manado Julises Oehlers mengatakan Pemerintah Kota (Pemko) Manado akan menyediakan tiga lokasi untuk tempat pemakamam umum yaitu di bagian utara, tengah dan selatan kota. Saat ini tanah yang telah dibebaskan adalah di daerah Kairagi.
"Hal tersebut telah menjadi kewajiban bagi Pemko Manado untuk menyediakannya, namun di Manado berkembang budaya lama masyarakat yang menguburkan yang meninggal di lokasi yang yang telah disiapkan sendiri," ujarnya, Rabu (25/4/2012).
Oehlers mencontohkan seperti warga Islam menguburkannya di pemakaman Islam, warga Kristen juga menguburkan keluarganya di Pemakaman Kristen serta beberapa pemakaman adat lainnya. Dan, mereka umumnya enggan direlokasi. "Sebab warga biasanya membeli lahan pekuburan melalui dana sosial yang dikumpulkannya," katanya. Saat lahan di Kairagi seluas 5 hektare yang awalnya dibeli Pemko Manado untuk TPU sedang dipagari karena sebelumnya lahan tersebut masih berupa patokan saja. (erv)
Kubur di Rumah
LAHAN pekuburan belum menjadi masalah krusial di Kota Tomohon. Warga masyarakat mudah memakamkan jenazah keluarga atau kerabatnya di lahan pekuburan yang ada di tiap kelurahan. "Lahan pekuburan di Tomohon tak ada masalah. Di Kelurahan, masyarakat menyediakannya dengan swadaya murni, jadi tidak sulit ketika ada orang yang meninggal," kata Kepala Dinas Tata Ruang, Pertamanan dan Kebersihan Kota Tomohon Theo Paat, Selasa (24/4).
Menurut Theo, lahan pekuburan hasil swadaya masyarakat menyebabkan tata letaknya tak beraturan dan menciptakan pemandangan kurang menarik. Dia memberi contoh di Tomohon ada pekuburan yang berada di dekat pusat kota, bahkan di antara pemukiman warga.
"Di tiap kelurahan ada 1 hektar lahan pekuburan, jadi total di 44 kelurahan ada 44 hektar. Ke depan akan ditata agar Tomohon tak jadi Kota Kubur," tegasnya. Pemerintah akan menyiapkan lahan pemakaman umum agar ditata sesuai rencana tata ruang. "Nanti lokasi tersebut bisa dijadikan daerah tujuan wisata," tukas Theo.
Di Kabupaten Minahasa Utara (Minut) lain lagi kondisinya. Sejak daerah otonom itu berdiri delapan tahun silam. belum ada aturan baku tentang lokasi pekuburan. Hal itu diungkapkan Anggota DPRD Minut Piet Luntungan, Selasa (24/4). Menurut dia, pekuburan mengacu pada aturan adat setempat. "Mau setiap desa ada satu lokasi kuburan atau masing-masing etnis, tergantung adat di situ," ungkapnya.
Om Piet, sapaan akrab Luntungan menjelaskan, ada macam-macam adat di Minut. "Ambil contoh adat orang Minahasa itu ada tempat pekuburan umum dan keluarga. Etnis lain kubur dalam rumah atau di halaman. Ya karena belum ada aturan, yang berlaku adalah tradisi adat, terserah mau di kubur di mana. Asalkan jangan menggangu ketertiban umum," tutur Luntungan.
Ia menyatakan, Kabupaten Minut belum memiliki master plan rencana tata ruang wilayah (RTRW). RTRW mengatur yang umum saja, sedangkan spesifikasi diatur detail yang disebut master plan. "Sampai sekarang master plan belum ada. Kita (DPRD) sudah perjuangkan untuk dibiayai, tapi pemerintah tidak biayai," ujarnya.
Sementara di Kota Bitung ada dua tempat pekuburan umum. "Jumlah lokasi pekuburan resmi milik pemerintah ada dua, masing-masing di Kelurahan Kakenturan seluas 1,3 hektar dan di Kelurahan Winenet seluas 1 hektar," kata Kepala Dinas Tata Ruang Bitung Alex Watimena, Selasa (24/4).
Diakuinya, selain dikelola pemerintah, ada juga pekuburan yang dikelola keluarga, yayasan, dan masyarakat. "Seperti di Kelurahan Girian Weru 1, pekuburan keluarga Walone di Mandidir, pekuburan milik yayasan di kelurahan Pinangunian. Untuk pekuburan di pulau Lembeh dikelola secara swadaya oleh masyarakat, pengadaannya sudah sejak turun-turun," tuturnya.
Lebih lanjut dikatakan Alex, di Bitung belum ada perda yang mengatur tentang pekuburan. Namun, lahan pekuburan masih memadai. "Hingga saat ini belum ada komplain dari warga," tandasnya. Menurut amatan Tribun Manado di Bitung ada sepuluh lokasi pekuburan. Beberapa di antaranya sudah penuh sesak. Ilalang tampak menghiasi sebagaian besar lokasi pekuburan di Kelurahan Bitung Timur. Ada pula pekuburan di pantai, yakni di Kelurahan Pintu Kota Besar. (war/ryo/crz)
Sumber: Tribun Manado 26 April 2012 hal 1