Lima Kardus dari Kenari Satu

ilustrasi
HARI itu Senin 4 Juli 2011 kubawa pulang ke pondok sempit sederhana di Kolhua lima kardus berisi buku, kliping koran, foto-foto  dan bahan cetakan yang masih berguna. Sontak tersadar itulah kekayaanku selama 19 tahun di Harian Umum Pos Kupang. Kekayaan tak ternilai dengan uang karena sebagian besar dia telah membentuk sosokku sebagai Dion DB Putra. Dalam keterbatasanku sebagai manusia saya  ikut menyumbang untuk lembaga ini dari titik nol 1 Desember 1992.

Kubawa pulang ke rumah buku-buku, kliping koran, foto dan bahan cetakan itu yang memang milik pribadiku. Di ruang kerjaku yang segera dikosongkan untuk pejabat redaksi yang baru jauh lebih banyak buku, kliping koran, piala, bahan cetakan dan lain-lain. Itu aset Pos Kupang, milik perusahaan. Aku hafal dan tahu persis, mana yang milik pribadi dan mana milik institusi.

Dengan menyewa mobil bak terbuka (pick up)  yang biasa mangkal di depan kawasan Pasar Inpres Naikoten I, kubawa lima kardus itu ke perumahan BTN Kolhua. Biaya sewanya Rp 25 ribu.  Hari yang sama rekanku Tony Kleden pun mengepak buku-buku dan barang pribadinya untuk dibawa pulang ke rumahnya di kawasan Liliba, Kupang.

Dalam beberapa hal saya dan Tony punya hobi yang sama. Suka koleksi buku dan kami berhasil menghadirkan sejumlah judul buku demi menaikkan branding Pos Kupang dalam kurun waktu 2005-2011.  Kami berdua harus kosongkan ruang kerja karena demosi dan mendapat tugas baru di luar Kota  Kupang. Saya ditugaskan hanya  bekerja untuk Harian FloresStar di Maumere, Tony jadi reporter Pos Kupang di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).

Jarum jam di ruang redaksi menunjukkan angka pukul 15.45 Wita tatkala rekan- rekanku Dulah, Fidel, Robert dan Mad membantuku membawa keluar lima kardus itu menuju halaman parkir Pos Kupang.

Ada yang menatapku sedih. Novri, Ira, Metyl  dan Feny kulihat menitikkan air mata. Saya minta mereka tidak usah menangis. Toh saya masih di lingkungan Pos Kupang. Tidak ke mana-mana.  Tapi tak sedikit yang tersenyum melihat momen hari itu , entah apa di dalam benak mereka, kawan-kawanku juga.

Beberapa rekan menawarkanku bawa pulang lima kardus itu dengan mobil dinas Pemimpin Redaksi  Pos Kupang. Kutolak halus. Dion bukan lagi pemimpin redaksi yang berhak menggunakan fasilitas itu. Sejak 1 Juli 2011 Dion wartawan biasa dan Dion tahu diri. Bahkan selama jadi pemimpin redaksi, mobil dinas itu tidak pernah diparkir di depan rumahku. Gara-gara itu saya pernah disebut orang aneh, bahkan disebut orang paling bodoh!

Di dalam satu kardus kusisipkan satu edisi koran Pos Kupang terbitan 1 Juli 2011. Itulah  edisi terakhir koran yang saya hasilkan bersama teman-temanku Redaktur Pelaksana, Dami Ola, Tony Kleden, Hyeron  Modo. Per 1 Juli 2011, saya, Tony dan Dami bukan lagi yang menentukan di newsroom Pos Kupang.  Ruang itu kini ada di tangan teman-teman kami, Benny Dasman, Agus Sape, Marsel Ali dan Hyeron Modo. Edisi terakhir ini akan kusimpan baik-baik dan suatu saat akan kutunjukkan kepada anak-anakku  bahwa ayahmu ini pernah menjadi pemimpin redaksi Pos Kupang sejak 2005-2011. (Hehehe... sombong sedikit di dalam rumah).

 Dalam rentang waktu itu selain Pos Kupang, hadir juga Mingguan Spirit NTT (sejak 8 Mei 2006) dan Harian FloresStarr. Saya tidak tahu nasib Spirit dan FloresStar ke depan. Cuma ada dua kemungkinan, hidup terus atau berhenti.  Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Saya berharap di tangan pemimpin baru Pos Kupang jauh lebih baik, lebih maju dan lebih mensejahterakan karyawan-karyawati PT Timor Media Grafika.

Saya lumayan kenyang belajar tentang teori manajemen dan kepemimpinan di kampusku Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Nusa Cendana, lembaga- lembaga pelatihan nasional dan internasional bahkan sampai di Jerman 2010. Saya kenyang mempraktikkan manajemen dan kepemimpinan itu dalam keseharian. Maka saya memang sempat terkejut ketika didemosi pada 1 Juli 2011 tanpa penjelasan sesuai Key Perfomance Indicators (KPI) yang lembaga Pos Kupang (Kompas Gramedia Group)  anut sejak 2007.  Tapi benakku segera bergumam, ini semua akhirnya akan diuji oleh waktu.

Saya berusaha profesional sajalah. Sejatinya diriku adalah wartawan. Dunia kewartawanan tidak mengenal eselonering seperti di birokrasi. Saya konsekwen dengan apa yang kerap saya katakan di lingkungan Pos Kupang bahwa tak ada orang yang tak tergantikan di suatu lembaga. Siapa pun bisa digantikan jika waktunya sudah tiba.

Terlepas dari cara pergantian ini yang masih bisa diperdebatkan, mungkin memang sekaranglah waktunya buat saya, Tony, Dami dan teman-teman yang lain seperti Ferry, Even dan Etty (ketiga terakhir manajer di divisi bisnis Pos Kupang) untuk meninggalkan pos lama. Kami harus memulai sesuatu yang baru. Sudah waktunya kesempatan ini diberikan kepada rekan yang lain, yang mudah-mudahan membawa "perubahan" sebabagaimana tema sentral yang dikatakan pimpinan Pos Kupang saat melakukan mutasi dan demosi per 1 Juli 2011.

Ketika menulis secuil kenangan ini di Maumere yang terik, di ruang kamar kosku yang sempit dengan nyamuk kadang hilir mudik mencari darah di tubuhku, saya tetap bersyukur. Syukur tiada akhir karena diberi pelajaran penting tentang hidup.

Setelah 19 tahun bergelut dengan jadwal deadline yang ketat sebagai pengelola di Mabes Pos Kupang, setelah 15 tahun berkutat dengan cari angle untuk headline utama dalam kapasitasku mulai dari level wakil redaktus, redaktur desk, sekretaris redaksi,  wakil redaktur pelaksana, redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi dan pemimpin redaksi Pos Kupang, di Maumere yang panas terpanggang namun ikan segarnya enak luar biasa ini, Dion kembali belajar tentang hal-hal baru di dunia kewartawanan. Kerjaku tidak seberapa berat di Harian FloresStar.

Tidak akan ada lagi momen dimana saya harus peras isi otak bersama teman-teman mencari angle untuk jualan esok hari. Tugasku kini sangat simpel. Menulis berita, bantu edit berita beberapa rekan di biro Maumere  lalu kirim ke ruang redaksi di Kupang. Teman-temanku di sanalah yang menentukan, berita dipublikasikan atau tidak. Saya bukan lagi penentu kebijakan redaksional. Kuingat peribahasa ini setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri!

Malam-malam panjang di Kenari Satu Kupang bagiku untuk sementara sudah berakhir sejak 30 Juni 2011. Sekarang saatnya bagiku untuk retreat. Menarik diri sejenak dari rutinitas meskipun berat nian harus berpisah dengan istri dan anak- anakku yang masih butuh kehadiran sosok ayah di samping mereka.

Tanggal 1 Desember 1992, saya datang ke Jalan Jenderal  Soeharto Nomor 53 Kupang (kantor pertama Pos Kupang) dengan semangat bekerja total. Berusaha memberi yang terbaik dengan tangan dan kakiku yang dibatasi  keterbatasan manusiawi.  Totalitasku tak berubah sampai detik ini. Saya mencintai Pos Kupang, Dion DB Putra masih jatuh cinta pada profesi jurnalis. Entah sampai kapan....

Maumere, 7 Oktober 2011.
Genap tiga bulan di "Kota Tsunami"
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes